Mohon tunggu...
Dzulham Fadillah
Dzulham Fadillah Mohon Tunggu... Atlet - Mahasiswa

Bismilah

Selanjutnya

Tutup

Money

Sedikit Kita Bahas tentang Wadiah dalam Bank Syariah

25 Agustus 2019   12:40 Diperbarui: 25 Agustus 2019   12:55 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau memberikan, juga diartikan i'tha'u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi'ah sering disebut sebagai ma wudi'a  'inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu minhu dzalika al-malliyakuna wadi'ah 'indi yang berarti aku menerima harta tersebut darinya. Sedangkan AlQur'an memberikan arti wadi'ah sebagai amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali.

Al-Wadi'ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari aspek teknis, wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki.

Secara komulatif, wadi'ah memiliki dua pengertian , yang pertama pernyataan dari seseorang yang telah memberikan kuasa atau mewakilkan kepada pihak lain untuk memelihara atau menjaga hartanya; kedua, sesuatu harta yang dititipkan seseorang kepada pihak lain dipelihara atau dijaganya.

Dari pengertian ini maka dapat dipahami bahwa apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya.

Rukun Wadi'ah

Menurut Hanafiah, rukun wadi'ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadi'ah itu ada empat :

Barang yang dititipkan (wadiah)

  • Orang yang menitipkan (mudi' atau muwaddi')
  • Orang yang menerima titipan (muda' atau mustawda')
  • Ijab qabul (sighat)

Syarat-Syarat Wadi'ah

Syarat-syarat wadi'ah berkaitan dengan rukun-rukun yang telah  disebutkan di atas, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkandan syarat orang yang dititipi.

  • Syarat-Syarat Untuk Benda Yang Dititipkan Syaratsyarat benda yang dititipkan sebagai berikut :
  • Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi'ah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.
  • Syafi'iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi'ah tidak sah.
  • Syarat- Syarat Sighat

Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: "Saya titipkan barang ini kepada Anda".  Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah). Seseorang mengatakan, "Berikan kepadaku mobil ini". Pemilik mobil menjawab: "Saya berikan mobil ini kepada Anda". Kata "berikan" mengandung arti hibah dan wadi'ah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat adalah "titipan". Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang menaruh sepeda motor di hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apa pun. Perbuatan tersebut menunjukan penitipan (wadi'ah). Demikian pula qabul kadangkadang dengan lafal yang tegas (sharih), seperti: "Saya terima" dan adakalanya dengan dilalah (penunjukan), misalnya sikap diam ketika barang ditaruh di hadapannya.

  • Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi')
  • Berakal, Dengan demikian, tidak sah wadi'ah dari orang gila dan anak yang belum berakal.
  • Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi'iyah. Dengan demikian menurut Syafi'iyah, wadi'ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh masih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiah baligh tidak menjadi syarat wadi'ah sehingga wadi'ah hukumnya sah apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya atau washiy-nya.
  • Syarat orang yang dititipi (Al-Muda')

Syarat orang yang dititipi (muda') adalah sebagai berikut :

  • Berakal, tidak sah wadi'ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
  • Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
  • Malikiyyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun