Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teknokrat dan Teknolog: Sebuah Analisis Hubungan Patron-Klien Zaman Orde Baru

26 Maret 2011   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:26 4013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Orde baru (orba) merupakan rezim terlama yang pernah menguasai Indonesia hingga saat ini. Di bawah komando Jenderal Soeharto, orba menjelma menjadi kekuatan politik yang sulit digoyahkan saat berkuasa. Bukti nyata kekuatan orba adalah rezim ini mampu berkuasa lebih dari tiga dekade lamanya. Banyak teori/pendapat yang mengutarakan kenapa orba mampu bertahan begitu lama. Salah satunya adalah kepemimpinan “tangan besi” atau otoriter yang diterapkan oleh Pak Harto.

Salah satu ciri kepemimpinan yang otoriter adalah adanya praktek patron-klien. Dalam tulisan kali ini, penulis mencoba menganalisis hubungan patron-klien pada zaman orba. Studi kasus dalam tulisan kali ini mencoba membandingkan hubungan patron-klien antara Soeharto-teknokrat dan Soeharto-teknolog.

Definisi

patron client relationship is a mutually obligatory arrangement between an individual who has authority, social status, wealth, or some other personal resource (the patron) and another person who benefits from his or her support or influence (the client).

(www.webref.org)

Hubungan patron klien adalah hubungan mutualisme antara seseorang yang memiliki otoritas, status sosial, kekayaan, atau sumber daya (patron) dengan orang lain yang mendapatkan manfaat dari dukungan, perlindungan, atau pengaruh dari patron (klien) (www.webref.org). Selain definisi tersebut, banyak referensi yang mendefinisikan apa yang dimaksud dengan hubungan patron-klien, namun secara garis besar hubungan patron-klien memiliki dua ciri umum, yaitu:

1.Ada perbedaan status/jabatan sosial antara patron dengan klien.

2.Ada hubungan mutualisme antara patron dengan klien.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang praktek patron-klien zaman orba, sebaiknya kita melihat dulu definisi dari sebutan teknokrat dan teknolog. Definisi teknokrat dan teknolog yang digunakan dalam esay ini berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh Adam Schwarz (2000) dalam bukunya “A Nation in Waiting”.

Schwarz (2000) menggunakan beberapa istilah untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan teknokrat dan teknolog. Dalam mendefinisikan teknokrat, Schwarz menggunakan istilah government economists (Schwarz, 2000, p. 29), western-trained economists (Schwarz, p.30), economic ministers (Schwarz, 2000, p.49). Berdasarkan tiga terminologi yang digunakan Schwarz tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan teknokrat adalah para ahli ekonomi (ekonom) lulusan barat (western), khususnya Amerika, yang menduduki posisi-posisi strategis dalam perekonomian (menteri, setara menteri, Gubernur Bank Indonesia). Lebih spesifik lagi sebutan teknokrat dialamatkan kepada para lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) yang menduduki posisi strategis pada kabinet orba.

Di sisi lain, Schwarz menggunakan beberapa istilah untuk mendefinisikan apa yang dia maksud dengan teknolog. Ada dua kata kunci definisi teknolog menurut Schwarz, yaitu seorang nasionalis (nationalist) dan sarjana teknik atau memiliki latar belakang disiplin ilmu teknik (engineer) (Schwarz, 2000, p.73). Menurut penulis, Terminologi teknolog dalam buku A Nation in Waiting ditunjukkan untuk para sarjana teknik yang menempati posisi strategis dalam kabinet zaman orba khususnya bidang yang terkait tentang perekonomian. Dua orang yang menjadi simbol utama para teknolog ketika zaman orba adalah Habibie dan Ginandjar Kartasasmita.

Sang Patron dan Si Klien

Dalam tulisan kali ini, yang disebut sebagai Sang Patron adalah Presiden Soeharto, sedangkan Si Klien adalah para teknokrat dan teknolog. Pak Harto terkenal sebagai sosok yang otoriter. Layaknya seorang raja, Pak Harto memiliki ajudan-ajudan khusus untuk menjalankan apa yang dia inginkan dan impikan.

Pak Harto memiliki dua orang kepercayaan, yaitu Ali Moertopo dan Sujono Humardhani. Keduanya adalah dua orang jenderal yang ditunjuk Pak Harto untuk mengurus bidang politik (Ali Moertopo) dan ekonomi (Humardhani). Kedua orang ini adalah para mantan jenderal dan dikenal sebagai ahli intelijen, bahkan Ali Moertopo pernah menjabat sebagai mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN).

Selain dua orang tersebut, Pak Harto juga memiliki klien yang lain yaitu para teknokrat dan teknolog. Beberapa nama yang tergolong teknokrat adalah Widjojonitisastro, Ali Wardhana, J. B. Sumarlin, Prawiro, dan Adrianus Mooy. Orang-orang tersebut merupakan begawan-begawan ekonomi orba. Mereka menduduki berbagai posisi strategis ketiga orba berjalan. Widjojo menjadi Kepala Bappenas, Ali Wardhana pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan selama tiga periode dan pernah juga menjadi Menko Perekonomian, Sumarlin pernah menjabat Menteri Keuangan, Prawiro-Menko Perekonomian, dan Adrianus Mooy-Gubernur Bank Indonesia. Dua orang yang paling berpengaruh dari para teknokrat tersebut adalah Widjojo dan Ali Wardhana, bahkan Widjojo dijuluki sebagai The Dean of Technocrats (Schwarz, 2000, p. 341).

Para teknokrat ini juga sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley. Hal ini dikarenakan banyak para ekonom Pemerintah saat itu merupakan lulusan University of Berkeley, California. Jika kita amati, munculnya para ekonom lulusan barat ini merupakan jalan baru yang ingin ditempuh oleh oleh orba. Jalan baru yang berbeda haluan dengan Bung Karno. Bung Karno dahulu dengan Rezim orde lama (orla) menjadikan ekonomi sebagai “hamba” bagi politik. Kebijakan politik harus sejalan dengan kebijakan politik yang ingin dicapai Bung Karno.

Di sisi lain, Bagi orba ekonomi adalah tujuan, sedangkan politik hanyalah alat untuk mencapai tujuan ekonomi yaitu menyejahterakan masyarakat. Pasca lengsernya orla maka salah satu langkah strategis yang dilakukan Pak Harto untuk membangun ekonomi sesuai cita-citanya adalah menggandeng para ekonom FEUI yang memiliki haluan berbeda dengan ekonomi ala orla. Sejak saat itu, munculah hubungan patron-klien antara teknokrat dengan Pak Harto hingga akhir dekade 80-an atau sebelum era teknokrat digantikan oleh era para teknolog.

Era Teknolog

Era teknolog berawal dari munculnya Habibie dalam kabinet orba. Habibie yang merupakan seorang ahli pesawat terbang lulusan Jerman dipanggil Pak Harto untuk membangun dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di Indonesia. Salah satu peninggalan Habibie dalam pengembangan IPTEK adalah BPPT. Selain itu, Habibie juga pernah menjadi Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), bahkan Wakil Presiden tepat sebelum Pak Harto lengser pada tahun 1998.

Era teknolog dipertegas ketika Ginandjar Kartasasmita ditunjuk sebagai Kepala Bappenas. Sebuah posisi yang tidak biasanya ditempati oleh seorang engineer. Sebuah posisi yang sudah lama dikuasai oleh para ekonom orba, para teknokrat.

Ada beberapa kemungkinan kenapa Pak Harto waktu itu merubah hubungan patron-kliennya dari klien para teknokrat menjadi teknolog. Pertama, kegagalan teknokrat mengurus perekonomian di akhir dekade 80-an. Kebijakan yang terkenal saat itu adalah deregulasi perbankan. Syarat-syarat pendirian bank dipermudah. Hal ini bertujuan agar sektor swasta menjadi motor utama pembangunan. Sayangnya, kebijakan ini berdampak buruk pada perekonomian. Money supply meningkat tajam dan sulit dikontrol, suku bunga juga sangat tinggi sehingga menyebabkan high cost economy bagi para pebisnis. Belum lagi bad debt yang sangat tinggi di dunia perbankan.

Kedua, tidak adanya Ali Moertopo dan Humardhani di lingkar satu Pak Harto. Ali Moertopo dan Humardhani dikenal sebagai tokoh yang anti-islam sehingga sulit rasanya Habibie akan menjadi anak kesayangan Pak Harto jika saat itu Ali Moertopo dan Humardhani masih hidup. Sebagaimana kita ketahui, di era 1960-1980 para aktivis islam adalah sasaran kedua setelah aktivis komunis. Berbagai represi dilakukan oleh Pemerintah terhadap para aktivis islam. Para pendiri Masyumi tidak diperbolehkan kembali ke pentas politik, para pemimpin muslim yang lain dibersihkan, koran-koran umat islam diberedel, masjid-masjid diawasi penuh berbagai aktivitasnya (Liddle, 1999).

Ketiga, munculnya Habibie. Di akhir 1980, arah kebijakan politik Pak Harto lebih bersahabat dengan islam. Hal ini dapat dilihat dari mulai diperbolehkannya siswi-siswi di sekolah negeri menggunakan jilbab, kajian-kajian tentang islam tidak lagi diawasi terlalu ketat, dipenjaranya salah seorang editor koran katolik yang melecehkan Nabi Muhammad, hingga pada puncaknya Pak Harto merestui lahirnya ICMI dimana Habibie dipercaya sebagai pemimpinnya. Habibie ketika itu muncul sebagai sosok cendekiawan muslim dan dijadikan simbol umat islam, terlebih atas jasa Habibie aspirasi politik islam diakomodasi dan tidak lagi ditekan oleh penguasa saat itu (Liddle, 2000).

Momentum kemunculan Habibie sangatlah tepat. Habibie datang di saat kepercayaan Pak Harto terhadap para teknokrat mulai meredup. Puncaknya adalah pada bulan Maret 1993, tiga orang teknokrat (Prawiro, Sumarlin, dan Adrianus Mooy) diberhentikan dari jabatannya. Di sisi lain, Habibie menawarkan ide baru pembangunan ekonomi yang lebih segar. Konsep-konsep Habibie tentang penggunaan Iptekdan teknologi tinggi (tek-ti) sempat menjadi sorotan Bank Dunia. Pemikiran Habibie tentang pengembangan minimal harus ada 1% SDM di bidang Iptek dan tek-ti. Habibie berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia harus mengandalkan nilai tambah (added value) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Habibiejuga mewarnai deregulasi otomotif, misalnya penggunaan local content 60% dari total proses produksi akan bebas bea masuk (Sjahrir, 1994).

Selain itu, Habibie juga percaya bahwa nasionalisme dalam ekonomi harus ditegakkan. Indonesia harus menjadi bangsa yang produktif dan mandiri, mampu menciptakan kebutuhannya sendiri walaupun jauh dari level efisiensi ekonomi. Ide dasar inilah yang kemudian dikenal oleh orang-orang sebagai habibienomics yang memang cukup berbeda dengan widjojonomics yang lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi dan efisiensi.

Pola transaksi

Salah satu ciri hubungan patron-klien adalah adanya pola transaksi tertentu. Ada semacam rumus baku dari pola ini yaitu take and give, siapa memberi apa dan siapa mendapat apa. Ada hubungan mutualisme dalam hubungan partron-klien baik antara Pak Harto-Teknokrat maupun Pak Harto-Teknolog.

Keuntungan utama yang didapat Pak Harto dari klien teknokrat adalah perbaikan ekonomi yang cukup drastis. Para teknokrat yang memang terdiri para ekonom handal mampu membangun fondasi perekonomian Indonesia yang sempat berantakan sepeninggal Bung Karno. Menekan laju inflasi, swasembada beras, dan mengurangi angka kemiskinan adalah prestasi para teknokrat yang tidak dapat dipungkiri. Di sisi lain, para teknokrat mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan ilmunya ke dalam kebijakan-kebijakan strategis dan langkah taktis dalam pembangunan Indonesia.

Timbal balik yang ditawarkan oleh hubungan patron-klien teknolog sedikit berbeda dengan teknokrat. Setidaknya ada dua keuntungan yang didapatkan Pak Harto dengan menjalin hubungan patron-klien dengan para teknolog. Pertama, legitimiasi atau menggalan dukungan dari kelompok muslim. Sebagai mana kita ketahui di akhir dekade 80-an gerakan politik para muslim mulai bangkit kembali. Terlebih pasca berdirinya ICMI. Wajar jika saat itu Pak Harto mengakomodasi kepentingan politik para cendikiawan muslim yang memang memiliki daya kritis dan pengaruh cukup besar saat itu. Kedua, Pak Harto mengharapkan wajah perekonomian Indonesia yang lebih segar. Setidaknya dengan proyek IPTN yang dicanangkan oleh Habibie, para tekonolog memberikan harapan bahwa Indonesia berpeluang menjadi negara yang tidak lagi mengandalkan keunggulan komparatif (SDA) tetapi juga keunggulan kompetitif (teknologi) di masa yang akan datang.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita dapat melihat setidaknya ada dua hubungan patron-klien yang dilakukan oleh Pak Harto selama menjabat menjadi Presiden RI, yaitu hubungan patron-klien dengan para teknokrat dan juga dengan para teknolog. Hubungan ini lebih bersifat mutualisme dan memberikan cukup manfaat bagi pembangunan Indonesia karena hubungan yang dibangun memang lebih berdasar pada hubungan patron-klien yang cukup profesional dalam menjalankan tugasnya masing-masing.



Daftar Pustaka

Liddle, R. Wiliam (1999). “Regime: The New Order”. Indonesia Beyond Soeharto. Ed. Donald K. Emmerson. New York: The Asia Society. 39-71.

Schwarz, Adam. (2000). A Nation in Waiting. Colorado: Westview Press.

Sjahrir. (1994). “Mencermati Alur Pikir Menristek Habibie”. Spektrum Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. 255-258.

http://www.webref.org/anthropology/p/patron_client_relationship.htm (diakses: 24 Maret 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun