Mohon tunggu...
Dzulfian Syafrian
Dzulfian Syafrian Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Researcher at INDEF | Teaching Assistant at FEUI | IE FEUI 2008 | HMI Activist.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengucapkan Selamat Natal

24 Desember 2013   06:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hitungan hari lagi, seluruh umat kristiani di dunia akan merayakan hari besar keagamaan mereka yaitu Hari Natal. Di Indonesia, negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, isu ini kembali menjadi perdebatan. Pertanyaan mendasarnya adalah: Boleh kah umat islam mengucapkan selamat natal ?

Di kalangan ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat terkait pertanyaan tersebut. Ada yang memperbolehkan, ada yang melarang. Jadi lah umat islam di Indonesia pun semakin bingung karena ulama-ulama yang mengeluarkan fatwa tersebut adalah mereka yang punya legitimasi dan kredibilitas yang kuat di masyarakat.

Bagi mereka yang percaya bahwa boleh mengucapkan selamat natal biasanya berpegang pada dua ulama, Prof. Quraish Shihab dan Dr. Yusuf Qardhawi. Dua ulama besar tersebut memperbolehkan umat islam untuk mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani, tentu dengan syarat dan ketentuan berlaku. Poin penting yang mereka tekankan adalah silahkan mengucapkan natal selama tidak merusak iman dan aqidah islam dan juga mengucapkan selamat natal dalam rangka hormat-menghormati keyakinan antar umat beragama.

Di sisi lain, bagi mereka yang meyakini bahwa muslim tidak boleh mengucapkan natal biasanya berpegang pada pendapat ulama-ulama MUI. Sampai detik ini, koreksi jika saya salah, tidak ada fatwa MUI pun yang spesifik terkait dengan “mengucapkan selamat natal”. Yang ada adalah fatwa MUI tahun 1981 ketika Buya Hamka, ulama favorit saya, menjadi Ketuanya saat itu yaitu fatwa tentang “Perayaan Natal Bersama”.

Pada periode kepemimpinan Buya Hamka tersebut, ada seruan dari Pemerintah agar umat islam turut dalam perayaan natal atas nama tolerasi beragama. Kejadian ini membuat Buya Hamka mundur dari jabatan Ketua MUI lantaran sikap keras beliau menolak kebijakan pemerintah ini.

Dalam Fatwa MUI tersebut, komisi fatwa MUI berpendapat bahwa Perayaan Natal berbeda dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Berbeda dengan Perayaan Natal (mungkin teman-teman kristiani bisa mengkonfirmasi hal ini), bagi islam perayaan Maulid Nabi bukan lah bagian dari ritual ibadah keagamaan. Konsekuensinya, haram bagi umat islam jika ikut dalam rangkaian Perayaan Natal karena itu termasuk rangkaian ibadah bagi umat kristiani yang berarti telah melanggar koridor yang telah ditetapkan oleh islam.

Koridor islam jelas, selama itu hubungan sosial-masyarakat maka tidak ada larangan bergaul dengan kerabat berbeda keyakinan selama itu bukan terkait (ritual) ibadah teman kita yang memiliki perbedaan keyakinan.

Saya pribadi tidak tahu mana kah rangkaian natal yang disebut sebagai ritual ibadah, mana yang hanya tradisi belaka. Mungkin teman-teman kristiani bisa memberikan penjelasan terkait hal ini.

Sebagai contoh perbedaan antara “ritual ibadah” dengan “tradisi” dalam Idul Fitri menurut saya adalah sebagai berikut. Ritual ibadah idul fitri adalah saat solat Idul Fitri, termasuk mendengarkan khotbah di dalamnya.

Tetapi hal-hal seperti saling meminta maaf satu sama lain, berkunjung ke rumah sanak-saudara, makan-makan, bukan lah ritual ibadah melainkan tradisi. Dalam konteks idul fitri ini, andai ada paksaan dari Pemerintah SBY agar umat kristiani ikut dalam solat idul fitri maka itu adalah keliru besar. Namun, andai Pemerintah SBY menghimbau agar umat kristiani juga ikut dalam tradisi saling meminta maaf, bersilaturahmi dengan tetangga yang muslim, itu sepertinya sah-sah saja karena hal-hal tersebut bukan koridor ritual ibadah lagi, melainkan koridor sosial-masyarakat, hubungan sesama manusia.

Terlepas dari perdebatan ini, yang saya yakini adalah iman dan aqidah itu ada di dalam hati masing-masing. Biarkan Tuhan saja yang menilai setinggi apa iman kita, sejernih mana aqidah kita, seberapa tulus ibadah kita. Karena kita manusia hanya menilai dari apa-apa yang dilihat, didengar, dan dirasa saja. Hanya Dia yang Maha Segalanya dan kita semua akan kembali kepada-Nya tanpa kita tahu sejumput pun apakah surga atau neraka kita ditempatkan-Nya.

Selamat Natal bagi teman-teman yang merayakannya.

Coventry. 23 Desember 2013.

DS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun