Mohon tunggu...
Dzikri Abdurrohman
Dzikri Abdurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadi lebih baik lagi

Menjadi lebih baik lagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Santri

9 Desember 2021   08:00 Diperbarui: 9 Desember 2021   08:02 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

1. Pendahuluan

Keberagamaan dalam Islam adalah bentuk respon manusia terhadap ajaran agama yang tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah atau wujud konkrit perilaku beragama dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku beragama itu melibatkan aspek kognisi, afeksi dan psikomotor seseorang. Keberagamaan antara satu orang dengan yang lain tentu berbeda pula karena beberapa factor dan latar belakang yang mempengaruhinya.

“Tiadalah sama, orang yang berilmu dan orang yang awam. Tiadalah sama pahala seorang imam dan seorang makmum. Tiadalah Tuhan menilai hambanya kecuali atas dasar ketaqwaannya. Surga dan neraka pun dicipta bertingkat-tingkat”. Dalam ini akan dijelaskan tentang apa pengertian santri, bagaimana pola kehidupan di pesantren, dan bagaimana keberagamaan santri jawa.


2. Pembahasan

A. Pengertian Santri
Istilah santri pada mulanya dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam. Istilah ini merupakan perubahan bentuk dari kata shastri (seorang ahli kitab suci Hindu). Kata Shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci atau karya keagamaan atau karya ilmiah.
[1] Bambang Pranomo, Paradigma Baru Dalam Kajian Islam Jawa (Pustaka Alvabet: 2009) Hlm. 299]

Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Jumlah santri biasanya menjadi tolak ukur sejauh mana pesantren telah bertumbuh kembang. Manfred Ziemek mengklarifikasikan istilah santri ini kedalam dua kategori, yaitu santri mukim (santri yang bertempat tinggal di pesantren) dan santri kalong (santri yang bertempat tinggal diluar pesantren yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama).


B. Pola Kehidupan di Pesantren
Pola kehidupan pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri. Kelima jiwa ini adalah sebagai berikut :

 
 a.       Jiwa Keikhlasan
Jiwa ini tergambarkan dalam ungkapan “sepi ing pamrih”, yaitu perasaan semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak termotivasi oleh keinginan keuntungan-keuntungan tertentu. Jiwa ini terdapat dalam diri kiai dan jajaran ustadz yang disegani oleh santri dan jiwa santri yang menaati-suasana yang didorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat.

 
b.      Jiwa Kesederhanaan
Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan yang bersahaja yang mengandung kekuatan unsur kekuatan hati, ketabahan, dan pengendalian diri didalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga dapat membentuk mental dan karakter dan membentuk jiwa yang besar, berani, dan pantang mundur dalam segala keadaan.

 
c.       Jiwa Kemandirian
Seorang santri bukan berarti harus belajar mengurus keperluan sendiri, melainkan telah menjadi menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan orang lain, kebanyakan pesantren dirintis oleh kiai dengan hanya mengandalkan dukungan dari para santri dan masyarakat sekitar.

 
d.      Jiwa Ukhuwah Islamiah
Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah senang dilalui bersama, tidak ada pembatas antara mereka meskipun sejatinya mereka berbeda-beda dalam berbagai hal.

 
e.       Jiwa Kebebasan
Para santri diberi kebebasan dalam memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depan dengan berbekal pendidikan selama berada di pesantren.
[2] Halim Soehabar, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013) Hlm. 39-46]


C. Keberagamaan Santri Jawa

Greag Fealy dalam artikelnya mencatat bahwa variasi tradisi santri jawa populer yang terus dikokohkan dikalangan mereka adalah praktik-praktik lokal, seperti ritual lingkaran hidup, ritual slametan, ziarah kubur, muludan, tahlil dan sebagainya. Greag Fealy hanya mengambil satu sempel yaitu praktik ziarah kubur.

Ziarah kubur telah diajarkan oleh Nabi Muhammad yang menganjurkan untuk berziarah kubur walaupun sebelumnya dilarang karena dikhawatirkan merusak akidah umat yang masih rentan. Ziarah kubur dalam Islam faedahnya antara lain agar mengingatkan kepada orang yang hidup akan kematian sehingga dapat diambil peajaran darinya selain itu juga mempunyai tempat tersendiri di dalam kultur Jawa, yaitu kebiasaan orang Jawa yang selalu menaruh hormat kepada leluhur-leluhurnya. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, seperti datangnya bulan Ramadan, berziarah ke makam leluhur menjadi bagian integral tradisi orang jawa yang disebut megengan, yaitu ritual khusus untuk mempersiapkan diri (raga) dalam rangka memasuki bulan suci Ramadan. Bulan suci Ramadan yang penuh “rahmat dan ampunan” dalam ajaran Islam tidak bisa diraih jika tidak dengan jiwa-raga yang bersih, salah satunya dengan cara memohon maaf kepada para leluhur melalui tradisi ziarah kubur.[3] Greg Fealy, Tradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS: 1996) Hlm 7-8


Menurut Clifford Greetz, secara geografis golongan santri biasanya berada dalam wilayah disekitar pesisir pulau Jawa, yang menjadi titik tolak penyebaran Islam yang berasal dari Timur Tengah. Pemahaman mereka terhadap Islam cukup mendalam bahkan dalam pengamalan tergadap syari’at Islam lebih murni. Itu sebabnya banyak muncul pesantren disepanjang pantura pulau Jawa. Dengan demikian, santri kategorinya adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan teratur, dalam hal ini juga sesuai apabila disematkan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang karena interaksinya dengan dunia luar sangat intens. Clifford Greetz menggambarkan bahwa inilah masyarakat Islam yang tinggal di Jawa yang memadukan Islam dengan budaya lokal.[4] Clifford gretz.1976.The Religion Of Java.London.Free Press of Glence


3. Kesimpulan

Santri adalah peserta didik yang belajar atau menuntut ilmu di pesantren. Pola kehidupan pesantren termenifestasikan dalam istilah “pancajiwa” yang didalamnya memuat “lima jiwa” yang harus diwujudkan dalam proses pendidikan dan pembinaan karakter santri yaitu meliputi: Jiwa Keikhlasan, Jiwa Kesederhanaan, Jiwa Kemandirian, Jiwa Ukhuwah Islamiah, Jiwa Kebebasan. Bagi kaum santri dalam beribadah lebih pada penghayatan nilai-nilai ketuhanan tidak hanya ikut-ikutan dan lebih bertoleran dalam menghadapi berbagai macam perbedaan/persoalan dalam kaitannya dengan peribadatan.

4. DAFTAR PUSTAKA

· Fealy Greg, Tradisionalisme Dan Perkembangan Politik NU, (Yogyakarta: LkiS: 1996).
· Clifford gretz.1976.The Religion Of Java.London.Free Press of Glence.
· Pranomo Bambang, Paradigma Baru Dalam Kajian Islam Jawa (Pustaka Alvabet: 2009).
· Soehabar Halim, Modernisasi Pesantren (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang: 2013).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun