Konsep ma'rifah atau pengetahuan batin tidak diperoleh melalui penalaran silogistik semata, melainkan melalui proses penyucian diri, dzikir, dan meditasi spiritual. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dalam Islam bersifat transformasional, bukan sekadar proposisional, karena bertujuan membentuk akhlak dan mengarahkan kehidupan menuju kebenaran Ilahi.
Dalam disiplin usul fikih, akal memiliki peranan penting sebagai sarana memahami dan menafsirkan teks wahyu. Metode-metode seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah memperlihatkan bagaimana akal digunakan untuk menjawab persoalan hukum kontemporer yang tidak secara eksplisit diatur dalam nash.
Namun, usul fikih juga menetapkan batasan-batasan ketat: akal tidak boleh ditafsirkan secara serampangan tanpa metodologi yang benar. Oleh karena itu, epistemologi Islam mengedepankan konsep takayyuf al-'aql, yakni akal yang terdidik dan terarah oleh nilai-nilai syariah.
Konsep ini sangat berbeda dengan logika mesin yang mendasari AI, yang hanya belajar dari pola data masa lalu tanpa memahami maqashid atau tujuan etis. AI berpotensi memperkuat bias yang sudah terkandung dalam data latih, sedangkan akal manusia diharapkan mampu melakukan koreksi kritis berdasarkan prinsip keadilan dan kebaikan.
AI juga pastinya menimbulkan sejumlah tantangan serius bagi epistemologi Islam, antara lain:
Masalah Black Box: Algoritma yang kompleks dan tidak transparan bertentangan dengan prinsip kejelasan (wuduh) yang menjadi syarat keabsahan hukum Islam.
Bias Data: AI yang dilatih pada data sosial yang bias berpotensi mereproduksi ketidakadilan sistemik.
Ketiadaan Niat (Niyyah): Dalam Islam, niat adalah dasar penilaian moral suatu tindakan. AI tidak memiliki niat, sehingga tidak dapat memikul tanggung jawab etis.
Ketiadaan Taklif: AI bukan makhluk yang memiliki beban moral atau hukum. Dalam Islam, hanya manusia berakal (mukallaf) yang dapat dibebani kewajiban dan tanggung jawab syariat.
Selain itu, sejumlah universitas Islam di era kontemporer telah merespons perkembangan AI dengan menginisiasi kurikulum etika teknologi berbasis nilai Islam. Contohnya, Hamad Bin Khalifa University di Qatar telah membuka program "Islamic Ethics of Artificial Intelligence," yang dirancang untuk membekali generasi muda dengan perspektif kritis dan etis dalam mengelola inovasi teknologi sesuai prinsip maqashid syariah (HBKU, 2022).
Dengan demikian, epistemologi Islam menawarkan kerangka pengetahuan yang integratif. Ia tidak menolak pengetahuan empiris atau logika formal, tetapi mengaitkannya dengan nilai-nilai etis yang bersumber dari wahyu. Hal ini menjadi dasar penting untuk menilai keterbatasan logika mesin AI yang hanya memproses simbol tanpa pemahaman etis atau spiritual.