Mohon tunggu...
Dzakirin Adani
Dzakirin Adani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya yang sedang belajar mencintai dunia menulis. Meski masih dalam tahap mencoba, saya percaya bahwa menulis adalah jalan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan saya dengan lebih jujur. Selain itu, saya senang berdiskusi dan berpikir kritis terhadap berbagai hal, karena bagi saya, berdialog adalah salah satu cara terbaik untuk memahami dunia serta mengeluarkan aspirasi dari apa yang sudah kita fikirkan dan rasakan. Di sela-sela kesibukan, saya juga menikmati tidur sebagai bentuk istirahat bagi otak—karena saya percaya, pikiran yang segar lahir dari tubuh yang cukup istirahat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Antara Logika Mesin dan Akal Manusia : Kajian Epistimologis Islam Terhadap Artificial Intillegence

1 Juli 2025   21:19 Diperbarui: 1 Juli 2025   22:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbandingan AI dengan akal manusia (Sumber: google)

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menandai era revolusi industri keempat yang membawa transformasi signifikan di berbagai bidang kehidupan. Sektor industri, layanan kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan kini memanfaatkan AI untuk meningkatkan efisiensi, namun pada saat yang sama muncul pula persoalan etis baru yang menantang. AI tidak hanya menjalankan tugas-tugas yang sebelumnya menjadi domain manusia, tetapi juga mampu meniru pola penalaran dan pengambilan keputusan tertentu. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah AI hanyalah sistem logika mesin, atau dapatkah ia benar-benar mendekati bahkan menyaingi akal manusia?

Dalam kerangka filsafat Islam, persoalan tersebut menjadi lebih kompleks karena konsep 'aql (akal) tidak semata-mata dipahami sebagai perangkat logis, melainkan juga sebagai sarana memahami kebenaran, nilai moral, dan wahyu Ilahi. Akal memiliki kedudukan penting dalam epistemologi Islam, yakni sebagai sarana meraih pengetahuan yang sahih sekaligus membimbing tindakan yang etis. Hal inilah yang melahirkan pertanyaan kritis: bagaimana sebenarnya epistemologi Islam menilai kemampuan AI? Dapatkah logika mesin dikatakan memiliki "akal" dalam pemahaman Islam?

Penulisan artikel ini bertujuan menganalisis secara mendalam perbedaan mendasar antara logika mesin yang mendasari AI dengan konsep akal manusia menurut perspektif Islam. Selain itu, pembahasan akan menyoroti implikasi etis dari pengembangan AI berdasarkan prinsip maqashid syariah, yakni tujuan-tujuan hukum Islam yang menekankan kemaslahatan dan keadilan. Melalui pendekatan multidisipliner yang memadukan kajian filsafat Islam, etika teknologi, dan studi kontemporer tentang AI, tulisan ini diharapkan dapat memperkaya wacana tentang pengembangan teknologi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Secara umum, Artificial Intelligence dapat dipahami sebagai sistem komputer yang dirancang untuk menjalankan tugas-tugas yang memerlukan kecerdasan manusia, seperti penalaran, pembelajaran, persepsi, dan pengambilan keputusan (Russell & Norvig, 2021). AI modern biasanya diklasifikasikan menjadi dua kategori besar: narrow AI (AI lemah) yang berfokus pada tugas-tugas spesifik---misalnya chatbot layanan pelanggan, sistem rekomendasi film, atau pengenalan wajah---dan general AI (AI kuat) yang sifatnya masih teoretis dan bertujuan meniru kecerdasan manusia secara menyeluruh.

Perkembangan pesat AI saat ini ditopang oleh kemajuan machine learning dan deep learning. Machine learning memungkinkan algoritma untuk belajar dari data, sementara deep learning memanfaatkan jaringan saraf tiruan berlapis-lapis untuk meniru cara kerja otak manusia dalam mengenali pola-pola kompleks (Goodfellow et al., 2016). Salah satu contoh inovasi penting adalah AlphaFold dari DeepMind, yang berhasil memprediksi struktur protein dengan akurasi tinggi dan memajukan penelitian bioteknologi.

Menurut Stanford AI Index Report 2024, total investasi global untuk riset dan pengembangan AI pada tahun 2023 melampaui USD 91 miliar. Angka ini mencerminkan tingginya kepercayaan terhadap potensi teknologi tersebut. Meskipun demikian, AI juga memunculkan sejumlah tantangan etis serius, seperti black box problem (ketidakjelasan cara kerja algoritma yang kompleks), risiko bias data, serta potensi pengangguran massal akibat otomasi.

Dari sisi teknis, AI bekerja dengan logika formal berbasis algoritma yang rumit, menganalisis data dalam skala besar untuk mengenali pola, memprediksi hasil, dan mengoptimalkan keputusan. Namun, sistem ini tidak memiliki kesadaran (consciousness), niat, atau pemahaman kontekstual sebagaimana manusia (Floridi & Cowls, 2019). AI hanya menjalankan instruksi matematika tanpa benar-benar "memahami" makna simbol yang diproses. Kritik John Searle melalui Chinese Room Argument juga menegaskan bahwa sekadar memanipulasi simbol tidak sama dengan memiliki pemahaman sejati.

Dalam praktiknya, AI telah diimplementasikan di berbagai sektor. Di Amerika Serikat, tercatat lebih dari 1.400 uji coba resmi kendaraan otonom pada tahun 2022 (National Highway Traffic Safety Administration, 2023). Di bidang kesehatan, AI telah digunakan untuk menganalisis gambar medis dengan tingkat akurasi yang dapat menyaingi atau bahkan melebihi dokter spesialis dalam beberapa kondisi (Topol, 2019). Namun, AI juga diketahui menghasilkan bias algoritmik yang berpotensi diskriminatif dalam proses rekrutmen kerja atau penilaian kredit apabila data latihnya tidak representatif (Buolamwini & Gebru, 2018).

Konsep 'aql dalam khazanah pemikiran Islam memiliki cakupan yang jauh melampaui sekadar kecakapan logis atau kemampuan bernalar secara formal. Dalam literatur klasik, 'aql dipandang sebagai karunia Ilahi yang membedakan manusia dari makhluk lain sekaligus menjadi alat utama untuk menyingkap kebenaran dan memahami wahyu. Al-Ghazali, dalam karya Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah, menjelaskan bahwa akal memang memiliki legitimasi sebagai instrumen perolehan pengetahuan rasional. Namun, ia menekankan bahwa akal wajib diarahkan oleh wahyu agar tidak menyimpang.

Ibn Sina (Avicenna) turut memperluas pembahasan tentang akal dalam Kitab al-Najat dan Al-Shifa'. Ia membagi perkembangan akal menjadi tiga tingkatan: al-'aql bi al-quwwah (akal potensial), al-'aql bi al-fi'l (akal aktual), dan al-'aql mustafad (akal yang tercerahkan melalui iluminasi). Pandangan ini menunjukkan bahwa akal manusia berproses dari potensi laten menjadi instrumen aktif pengetahuan rasional, hingga mencapai taraf tertinggi yang mampu memahami kebenaran universal melalui pencerahan batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun