Mohon tunggu...
Dylan Aprialdo
Dylan Aprialdo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

An Ordinary Student of Communication Science who concern about Mass Media Addicted with Human Interest and Street Photography

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tertawa Geli Terhadap "Kritik" Jonru dalam Mempersoalkan Foto Presiden Karya Fotografer Istana

3 Januari 2016   18:35 Diperbarui: 4 Januari 2016   13:13 13112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: Karya Fotografer Kepresidenan, Agus Suparto"][/caption]Seseorang yang bernama Jonru selalu mengundang sejumlah kontroversi ketika ia mulai membuka mulutnya dan berbicara menanggapi sesuatu atau seseorang. Belakangan Jonru sepertinya doyan sekali mengkritik Presiden Jokowi tanpa didukung dengan argument, data, fakta yang jelas. Dalam kritiknya ia lebih terkesan menebar kebencian dibanding memberikan kritik yang membangun, bukan Jonru kalau dia tidak berlaku seperti itu.

Baru-baru ini ia berbuat ulah dengan menanggapi sebuah foto yang menampilkan Presiden Jokowi sedang duduk lesehan di sebuah dermaga pantai Waiwo, Papua dalam suasana matahari terbit. Foto ini merupakan hasil jepretan dari seorang Fotografer Kepresidenan, yaitu Agus Suparto.

Dalam kritiknya kali ini ia curiga, kalau foto ini adalah hasil photoshop dan telah dimanipulasi, argument yang paling membuat saya tertawa geli ketika melihat kritiknya adalah, pada saat ia menyebutkan, “Yang saya heran adalah fotonya, sinar matahari dari belakang, tepat di bagian punggung. Namun kenapa di bagian punggung justru lebih gelap dibanding depan, padahal cahaya matahari berasal dari belakang?"

Kenapa saya tertawa geli?, bagi fotografer amatir saja yang mengerti teknik pencahayaan dasar dalam fotografi pasti akan ikut tertawa geli. Karena argument yang disampaikan Jonru secara jelas ia adalah orang yang sok tahu. Saya sebagai fotografer amatir yang hobi memotret di jalanan akan mencoba menyampaikan argument kecil saya untuk membantah kritik tersebut. Kita lihat foto di bawah ini:

[caption caption="Karya Fotografer Kepresidenan, Agus Suparto"]

[/caption]

Foto di atas ini hanya memperlihatkan Jokowi seperti siluet saja. Tidak tampak wajahnya secara jelas. Apa yang ingin ditunjukan oleh fotografer, mas Agus Suparto adalah mengutamakan keindahan matahari terbit. Dalam teknik fotografi untuk menangkap momen matahari terbit seperti itu kita harus mengorbankan orang-orang yang ada di dalam foto itu (jika memang di foto itu ada orang).

Karena dalam memotret matahari terbit atau tenggelam kita harus menggunakan bukaan diafragma kamera yang kecil (di kamera tertulis f 3,6, f 8, f 12, f 16, dan seterusnya, semakin besar angkanya maka semakin mempersempit celah cahaya yang masuk ke dalam kamera) dengan ISO yang rendah (biasanya 100 atau 200). Otomatis hasilnya akan membuat mayoritas objek di sekitar Jokowi akan tampak gelap karena si fotografer mengejar momen matahari terbit. Lantas, seperti apa teknik strobist?

Sebagaimana dikutip dari Awan Logika (2010), strobist berasal dari kata strobe yaitu lampu flash atau alat untuk kepentingan fotografi yang dapat menghasilkan cahaya terus menerus. Sebenarnya semua fotografi yang menggunakan flash bisa dikatakan strobist, namun pada saat ini yang dikatakan stobist jika menggunakan flash secara off-camera (flash tidak diletakkan pada dudukn flash yang ada pada body camera).

Penggunaan flash dikatakan “menerangi” jika tanpa menggunakan flash, foto yang dihasilkan sangat gelap dan hasil foto menjadi hitam dan fungsi flash dikatakan “mengontrol cahaya” jika walaupun tanpa menggunakan flash, foto yang dihasilkan masih jelas dilihat, namun ada beberapa bagian yang gelap dan sedikit menggangu. Bagian yang gelap ini perlu adanya fill flash untuk menyeimbangkan pencahayaan. Contoh penggunaan fill flash adalah saat kita memotret orang di pantai pada sore hari, dimana menggunakan flash dengan power tertentu agar orang terlihat jelas dan warna langit sore juga nampak.

Nah, ketika ingin memperlihatkan sosok Jokowi secara jelas, maka mas Agus mengombinasikan teknik foto sebelumnya di tambah teknik strobist (yang mengandalkan flash eksternal di luar kamera) flash eksternal ini merupakan bantuan tambahan untuk memperlihatkan sosok Jokowi. Hasilnya akan nampak pada foto pertama yang penulis tunjukkan, cahaya flash membuat sosok Jokowi kelihatan dan jelas. Penulis akan memberikan contoh bagaimana orang melakukan teknik strobist

[caption caption="Sumber: Foto Editor Online.com"]

[/caption]

Gambar ini memperlihatkan seperti apa teknik strobist itu. Jika si pemegang lighting itu tidak ada maka sosok perempuan di gambar itu juga akan gelap sama seperti foto Jokowi yang dihasilkan tanpa teknik strobist, yang hanya menonjol adalah cahaya matahari dan sosok perempuan itu akan lebih nampak seperti siluet.

Berikut ini adalah angle lain yang diambil oleh Mas Agus Suparto, foto ini diambil dari halaman facebooknya:
[caption caption="Karya Fotografer Kepresidenan, Agus Suparto"]

[/caption]

Kemudian soal manipulasi?. Jonru terkesan menyebut manipulasi dalam fotografi adalah sesuatu yang haram. Sebenarnya tidak juga, saya teringat dengan pernyataan pak Arbain Rambey, Redaktur Foto Harian Kompas yang menyebutkan foto yang dihasilkan oleh kamera itu ibarat seseorang yang baru bangun tidur, oleh karena itu biasanya orang yang baru bangun tidur menggosok gigi, mencuci muka atau mandi agar tampil lebih fresh lebih sedap. Atau bisa juga seperti peran make up terhadap wajah perempuan untuk mempercantik wajah. Bukankah itu bentuk manipulasi terhadap diri kita bukan? Mulut kita bau biar wangi harus gosok gigi, badan kita bau harus mandi biar wangi. Jadi sebenarnya manipulasi itu lumrah.

Begitupun dengan foto, foto dibutuhkan manipulasi. Tingkatan manipulasi dalam foto tergantung dengan kebutuhan si fotografer mulai dari yang ringan seperti cropping, contrast, sharpening, sampai-sampai manipulasi berat. Tapi penulis lebih suka dengan istilah editing ketimbang manipulasi, ketika melihat foto karya mas Agus karena ia tidak merusak substansi foto tersebut.

Manipulasi foto adalah hal yang wajar bagi fotografer manapun seperti mas Agus. Penulis yakin mas Agus Suparto adalah fotografer bertanggung jawab dan profesional. Editing atau "manipulasi" (kalau dari kacamata Jonru) adalah hal lumrah dalam dunia fotografi selama dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai kebutuhan. Mas Agus menurut saya pribadi hanya melakukan manipulasi ringan saja untuk memoles foto tersebut menjadi lebih sedap dilihat, ia tidak merusak substansi dari foto tersebut. Jika anda adalah seorang fotografer jurnalistik dan melakukan manipulasi yang merusak substansi isi foto anda akan dipecat secara tidak hormat anda juga akan dianggap tidak beretika.

Jonru juga mempertanyakan relevansi foto? apa relevansinya?. So why and so what Jonru?. Fotografer ingin menunjukkan sosok Jokowi berharap agar di tahun 2016 ini Indonesia bisa berkembang ke arah yang lebih baik penuh dengan harapan-harapan baik (dengan simbol matahari pertama terbit di awal tahun 2016). Setiap orang pasti ingin memiliki citra diri yang baik, begitupun pak Jokowi. Tidak ada yang salah, fotografer ingin menunjukkan pak Jokowi memang adalah sosok yang sederhana, dengan berpenampilan menggunakan kemeja panjang putih dan juga sarung. Dan itu adalah sah-sah saja bukan?

Ya begitulah pengamatan kecil penulis. Hati-hatilah dalam mengkritisi sesuatu, jangan menyampaikan kritik yang terkesan menuduh karena itu nanti akan merugikan diri sendiri. Untuk para netizen jangan bertingkah seperti Jonru ya. Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun