Ah yang saya kenal dari Lampung awalnya hanya kerupuk kemplang. Soalnya, saya ini wanita yang suka disenangkan perutnya baru hatinya :)
Baru saja melakukan tradisi lebaran yaitu mudik ke kampung halaman orang tua, Lampung. Berangkat setelah solat Ied, satu setengah hari lebih di jalan karena via darat. Senang rasanya bisa kembali ke Lampung ini. Apalagi pulang ke Lampung kali ini dalam rangka menyenangkan hati si Ibu yang sudah rindu kampung halamannya. Ini memang lampung escape yang sudah lama tertunda.
Rencana, mudik kali ini 14 hari (sudah termasuk perjalanan darat plus kapal) tapi nihil, saya dan rombongan berhasil berangkat dari Jawa dan kembali ke Jawa dalam waktu 10 hari saja.Dengan medan yang begitu terjal, saya menyebut diri saya sebagai wanita yang tahan banting. Kenapa begitu? Tujuan pertama kami adalah Ketapang. Mirip salah satu daerah di Bali. Pasnya sih di area Kotabumi, Lampung Utara. Untuk menuju kampung ini, menggunakan mobil, sungguh perjuangan. Lampung selatan ke Lampung utara? Berapa jam? Bagaimana medannya? Hanya saya dan pantat saya yang tahu.
Sampai di sana, nganggur senganggurnya. Lewat, lewat. Kemudian tujuan selanjutnya adalah Batupatah. Jangan tanya bagaimana medannya? Bayangkan saja jalanan bukan aspal, kiri kanan cuma beberapa rumah khas desa sekali (dan saya suka!) plus kendaraan penuh orang. Sebelum memasuki Batupatah, saya melewati sebuah desa bernama Batucepit. Katanya,jaman dulu, ini adalah tempat pelarian para tawanan PKI. Kata ibu saya, orang melarikan diri ke daerah pegunungan ini karena tidak mau menjadi salah satu dari PKI. Ah tapi siapa saya, saya bukan ahli sejarah. Lanjut, di kawasan ini, dulunya, banyak orang yag ditembak mati entah oleh siapa. Banyak juga mayat yang dibuang entah juga oleh siapa. Saya cuma merinding saja membayangkan.
Setelah bergoyang selama berjam-jam karena jalanan yang super manusiawi ini, saya sampai di desa Batupatah. Rumah eyang ibu saya tepat di bawah simbol dari desa ini, Batupatah. Sayangnya, sebut saja ini adalah desa 5-11 karena listrik belum ada di sana. Warga hanya mengandalkan listrik dari mesin diesel dengan bahan bakar solar yang hanya menyala dari jam 5 sore hingga 11 malam saya. Ponsel saya pun saya biarkan mati, karena rasanya, menemani ibu 'kembali' ke masa kecilnya ini lebih penting. Terlebih, tidak tega juga membiarkan tenaga solar warga sekampung hanya untuk keegoisan saya bermain di dunia maya.
Keesokannya, saya kembali melanjutkan perjalanan ke Kotaagung. Wilayah ini sudah seperti kota pada umumnya. Listrik lancar, air saja yang kadang tersendat. Di rumah eyang, saya harus menunggu hingga jam 12 siang untuk mandi. Ah siapa peduli mandi ketika berkumpul dengan keluarga lebih penting. Keluarga dari ibu saya memang didominasi dengan wanita. Bibi dan om, begitulah biasa saya memanggil kakak dan adik ibu.Pulang ke Lampung kali ini memang penuh makna. Singkatnya, hari rabu siang hingga kamis magrib saya dalam perjalanan, 2 hari di kotabumi, perjalanan berjam-jam ke batupatah dengan medan yang super cantik dan perjalanan berjam-jam lagi ke kotaagung.
Dari perjalanan ini saya menyadari, saya tinggal di kota yang harusnya membuat saya banyak bersyukur. Kebetulan, saya sekarang tinggal di Malang. Kata orang, Malang kota yang dingin. Iya, dulu, sekarang tidak ada bedanya. Malang hanya dingin kalau moodnya sedang asyik, selebihnya, Malang juga mulai panas karena berubah menjadi kota dengan sejuta ruko. Malang juga mulai macet karena calon mahasiswa yang semakin banyak tertarik dengan pendidikan di kota (yang katanya) kota bunga ini.
Lampung membuat saya sadar, kadang saya mengeluh akan hal sepele seperti panas dan listrik mati tiba-tiba. Saya jadi lebih sadar bahwa ada di luar sana yang bahkan hanya menikmati listrik 6 jam per hari, sedangkan saya, masih sering mengeluh dan ngomel karena listrik yang tiba-tiba mati saat asyik bermain dengan laptop atau ponsel saya sambil mengisi ulang baterainya. Lampung juga membuat saya bersyukur mash bisa terkena macet dan panas ketika di suatu daerah di Lampung, masih ada jalanan desa yang belum mengenal aspal dan bahkan tidak akan bisa dilewati ketika hujan turun.
Dulu, yang saya tahu dari Lampung hanya kotaagung dan kemplang. Cuma selebar itu. Kotaagung karena kota itu adalah tempat tinggal eyang saya dan kemplang adalah kerupuk yang selalu saya bawa pulang ke Jawa. Kini, saya juga sadar. Lampung memang tidak selebar kerupuk kemplang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI