Lingkungan akademik, guru dan dosen mempunyai kedudukan yang sangat luhur dan cenderung menjadi panutan bagi murid maupun mahasiswanya. Segala tingkah laku pengajar, akan diikuti oleh murid-muridnya.Â
Maka ketika ada seorang guru maupun dosen melakukan pelecehan seksual di lingkungan akademik, secara tidak langsung sedang mengajarkan praktik pelecehan seksual terhadap murid maupun mahasiswanya.
 Mengapa mereka sebagai korban tidak mau berbicara jujur? Pertama, mereka malu, tentu saja itu adalah aib. Kedua, tidak semua orang mau mengerti posisi mereka, bahkan terkadang banyak yang sesama perempuan pun ikut menyalahkan mereka, padahal baik lelaki maupun prempuan ataupun gender lainnya tetap harus mengutamakan keadaan dan hal itu mungkin traumatis untuk mereka. Â
Dalam kasus di lingkungan perguruan tinggi, tak semua korban punya kuasa mengumpulkan tekad untuk melaporkan ke pihak kampus, ke polisi, ke lembaga mitra Komnas Perempuan, atau ke lembaga pendampingan korban kekerasan seksual. Ketiga, mereka takut menerima stigma negative dari para masyarakat, padahl itu kan bukan salah mereka.
Ternyata masyarakat kita masih kental akan menyalahkan dan menghina mereka para korban. Sikap korban yang enggan melaporkan kasusnya dapat dimaklumi. Hampir 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke kepolisian.Â
Sebanyak 20% dari mereka khawatir akan menerima cap negatif dari masyarakat, 13% merasa polisi tidak akan membantu mereka, dan 8% menganggap perkosaan yang mereka alami tidak cukup penting untuk dilaporkan. Sementara itu, dari laporan yang masuk ke polisi, hanya 2% pelaku yang berakhir dipenjara.[5]Â
Hal itu berarti, Â kebijakan HAM dan UU mengenai kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan belum ada, perlindungan berbentuk hokum belum mencukupi dan menjaga perempuan di Indonesia. Seharusnya, pemerintah segera membentuk perlindungan hokum tersebut, Â Tahun lalu, pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Penghapusan Kekerasan Seksual, namun menuai banyak protes dan penolakan sehingga RUU PKS ini tidak bisa disahkan, karena dianggap melegalkan seks bebas.Â
Padahal, tanpa RUU PKS ini pun seks bebas memang sudah merajalela bukan? Buktinya, masih banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual dikarenakan lelaki tidak bisa menjaga nafsunya, dan tidak adanya pemahaman mengenai edukasi seks. Jadi, seharusnya daripada menolak, lebih baik memberikan edukasi seks, moral, etika serta menghargai antar sesama  dan cara untuk menahan nafsunya dengan benar.Â
 Salah satu contoh mengapa gerakan feminism atau gerakan perempuan yang memperjuangkan emansipasi atau persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria tanpa adanya diskriminasi.Â
Adalah dalam hal pekerjaan misalnya, masih banyak kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam dunia kerja, salah satunya diskriminasi gaji. Â Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut salah satunya, yakni perbedaan jumlah pengeluaran per kapita.
Bila laki-laki menghabiskan Rp 15,15 juta per tahun, perempuan hanya berada di angka Rp9 juta/ Berdasarkan uraian di atas, penulis berharap semoga pemerintah bisa lebih memperhatikan perempuan Indonesia, dengan memajukan serta meningkatkan pelayanan komnas perempuan dan membuat UU yang membantu perempuan agar lebih bebas dari diskriminasi. Walaupun, tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan sekarang sudah jauh lebih kuat. Â Â Â Â Â