Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Alfajar
Dwi Wahyu Alfajar Mohon Tunggu... Seorang Sarjana Pendidikan

Mari menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Literasi dan Numerasi Jadi PR Besar Madrasah di Riau

25 September 2025   20:45 Diperbarui: 27 September 2025   16:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mayoritas capaian kemampuan literasi dan numerasi murid madrasah di Riau masih bertahan di kategori "Sedang", hanya Pekanbaru yang menorehkan capaian "Baik". Saatnya guru dan masyarakat bergerak bersama menghadirkan pembelajaran yang fokus pada peningkatan kemampuan literasi dan numerasi murid.

Hasil Rapor Pendidikan 2025 membuka mata kita semua. Dari 12 kabupaten/kota di Riau, hanya Pekanbaru yang berhasil mencapai kategori "Baik" dalam kemampuan literasi dan numerasi murid madrasah---jenjang MI, MTs, dan MA. Sementara 11 daerah lainnya masih bertahan di kategori "Sedang", bahkan di salah satu kabupaten capaian literasi dan numerasi murid MTs dan MA berada pada kategori "Kurang". Hasil ini bukan sekadar statistik, melainkan tanda bahwa kemampuan membaca dan berhitung murid madrasah di Riau masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Menurut data EMIS GTK Kemenag tahun ajaran 2025/2026, Riau memiliki 2.176 madrasah, dengan 21.680 guru dan 3.718 tenaga kependidikan. Skala ini menunjukkan betapa luas dampak yang ditimbulkan jika capaian literasi dan numerasi murid madrasah masih tertahan di level "Sedang". Yang dipertaruhkan bukan hanya angka dalam rapor, melainkan mutu pendidikan ratusan ribu anak Riau.

Guru di Garis Depan, tapi Belum Memegang Kompas

Rapor Pendidikan sejatinya dirancang sebagai peta perbaikan sekolah. Rapor ini berbasis Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), yang mencakup Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) literasi-numerasi, survei karakter, dan survei lingkungan belajar Namun kenyataannya, peta ini belum benar-benar sampai ke tangan mereka yang paling membutuhkan: para guru.

Dalam wawancara dengan seorang guru madrasah di Riau, ia berterus terang:

"Kami tahu ada rapor pendidikan, tapi belum benar-benar mempelajarinya. Bahkan kami sebagai guru belum pernah diberi tahu tentang hasil dari rapor pendidikan tersebut."

Pernyataan ini menyadarkan kita bahwa ada kesenjangan serius. Guru adalah ujung tombak pembelajaran, tetapi justru tidak diberi akses penuh untuk memahami rapor. Tanpa keterlibatan guru, data hanya berhenti sebagai dokumen formal, tidak pernah berubah menjadi aksi nyata di kelas.

Padahal, dengan lebih dari 21 ribu guru madrasah di Riau, dampak pelatihan dan pemberdayaan berbasis rapor akan sangat luas. Bayangkan jika puluhan ribu guru ini mampu membaca data rapor, menganalisis kelemahan murid, lalu menerjemahkannya ke strategi pembelajaran yang kontekstual. Maka, lonjakan kualitas belajar akan terasa di seluruh provinsi. Namun, jika guru tetap berjalan tanpa kompas, sebanyak apa pun data yang dikumpulkan hanya akan berakhir sebagai angka di layar komputer.

Karena itu, guru harus ditempatkan sebagai subjek utama perubahan, bukan sekadar pelaksana kebijakan. Mereka perlu dilatih membaca rapor, menafsirkan hasil AKM, dan menggunakannya untuk merancang pembelajaran literasi-numerasi yang lebih hidup. Dengan begitu, guru tidak lagi berjalan dalam kegelapan, melainkan memegang kompas yang jelas untuk menuntun anak didiknya menuju capaian yang lebih baik.

Membawa Literasi dan Numerasi ke Dunia Nyata

Namun, memahami data saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah bagaimana guru mengubah informasi dari rapor menjadi praktik belajar yang hidup di kelas. Literasi dan numerasi harus dibawa ke dunia nyata, agar murid merasakan manfaatnya secara langsung.

Literasi bisa tumbuh lewat kegiatan membaca berita, menelaah khutbah Jumat, atau memahami cerita rakyat Melayu. Murid tidak hanya membaca, tetapi juga belajar mengkritisi isi, bertanya, dan menyampaikan pendapat. Sementara numerasi bisa hadir ketika murid menghitung zakat dan waris di pelajaran fikih, mengelola keuangan sederhana di pelajaran ekonomi, atau menghitung kebutuhan belanja keluarga dalam matematika.

Praktik-praktik sederhana semacam ini membuat murid tidak lagi sekadar menghafal. Mereka belajar berpikir, memahami, dan menghubungkan pengetahuan dengan realitas. Guru menjadi kunci untuk menghadirkan pembelajaran yang relevan, kontekstual, dan bermakna.

Lebih jauh, literasi dan numerasi yang kontekstual juga membekali anak dengan kecakapan abad 21: kemampuan berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi, serta berkolaborasi. Tanpa penguatan di dua fondasi ini, sulit membayangkan anak-anak madrasah mampu bersaing di perguruan tinggi maupun dunia kerja.

Dari Data ke Gerakan Bersama

Perubahan tentu tidak bisa hanya dibebankan kepada guru. Orang tua perlu ikut menumbuhkan budaya membaca di rumah, mengajak anak berdiskusi ringan, atau melibatkan mereka dalam aktivitas berhitung sehari-hari. Masyarakat pun dapat berkontribusi melalui kegiatan sederhana seperti klub membaca, lomba matematika, atau kajian remaja masjid yang mendorong keterampilan literasi-numerasi.

Dukungan kelembagaan juga sangat penting. Kementerian Agama perlu merancang pelatihan guru berbasis Rapor Pendidikan secara sistematis, mulai dari lokakarya membaca data hingga praktik kelas yang didampingi mentor. Madrasah harus menjadi motor utama perubahan, bukan hanya penerima kebijakan.

Selain itu, peluang kolaborasi dengan sektor swasta juga harus dibuka. Banyak perusahaan di Riau memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR) yang bisa diarahkan untuk mendukung literasi dan numerasi madrasah. CSR dapat diwujudkan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan berkualitas, ruang belajar berbasis komunitas, dukungan teknologi digital untuk memperkuat proses belajar, atau penyelenggaraan pelatihan literasi-numerasi terhadap guru. Dengan cara ini, perusahaan ikut menanam investasi sosial jangka panjang, sementara madrasah dan masyarakat mendapatkan manfaat nyata.

Jika sinergi ini terbentuk---Kementerian Agama sebagai pengarah kebijakan, madrasah sebagai motor perubahan, guru sebagai pelaksana pembelajaran, orang tua sebagai mitra utama, masyarakat sebagai pendukung budaya, dan perusahaan melalui CSR sebagai penyokong sumber daya---maka rapor pendidikan tidak lagi hanya catatan, melainkan pemicu gerakan bersama.

Penutup

Rapor Pendidikan 2025 tidak boleh berhenti sebagai statistik di meja pejabat. Ia harus menjadi alarm sekaligus kompas. Alarm untuk menyadarkan kita bahwa sebagian besar madrasah masih terjebak di kategori "Sedang", dan kompas untuk menuntun langkah menuju capaian "Baik" di seluruh Riau.

Kita tidak boleh puas dengan kondisi sekarang. Anak-anak madrasah berhak atas pendidikan yang membuka jalan masa depan mereka. Jika guru diberdayakan, pembelajaran dibuat kontekstual, madrasah berperan aktif, dan masyarakat ikut mendukung, maka capaian Pekanbaru bisa meluas ke seluruh Riau.

Masa depan literasi dan numerasi madrasah bergantung pada keberanian kita mengambil langkah nyata hari ini. Jangan biarkan generasi kita hanya mampu berjalan di tempat. Mari pastikan mereka bisa melesat jauh---dengan guru dan madrasah sebagai kuncinya, serta masyarakat Riau berdiri bersama mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun