Mohon tunggu...
Dedi Dwitagama
Dedi Dwitagama Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Pendidik yang bermimpi makin banyak anak negeri yang percaya diri dan berani berkompetisi. Mengajar Matematika di SMKN 50 Jakarta - Blogger sejak 2005: http://dedidwitagama.wordpress.com, http://fotodedi.wordpress.com dan http://trainerkita.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengeroyokan Guru oleh Murid, Cermin Hilangnya Martabat Sekolah

9 Maret 2020   14:06 Diperbarui: 9 Maret 2020   15:13 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Berita penembakan senjata api di sekolah sering kita dengar terjadi di Luar Negeri, beberapa hari yang lalu terjadi di Indonesia, tepatnya di SMAN 10 Tanjung Jabung Barat Jambi, Rabu (6/3/2020) sore. 

Sebelumnya guru SMAN di Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami luka berat setelah dikeroyok 3 siswanya. Pengeroyokan itu gegara daftar hadir atau absen ujian, Rabu (4/3/2020).

Makin hilang tampaknya martabat sekolah di negeri ini, kenapa hal ini bisa terus terjadi, dan levelnya makin parah, senjata api menjalak di halaman sekolah dan guru dikeroyok di kelas, miris hati ini membaca beritanya.

Negeri ini di era pemerintahan Orde Baru tahun 1973 - 1878 pernah membangun 61.000 Sekolah Dasar (SD) Negeri yang dikenal dengan SD Inpres se antero negeri, disertai dengan pengangkatan ribuan guru, sayangnya pembangunan SD tak dilanjutkan dengan pembangunan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Inpres. 

Karena kemampuan keuangan pemerintah, gaji guru nilainya sangat minim, sulit untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, sehingga profesi guru tidak menjadi pilihan profesi yang bernilai buat anak-anak muda negeri, akibatnya tak sedikit yang menjadi guru itu adalah mereka yang tidak berhasil menembus profesi-profesi di luar profesi guru, bahkan tak sedikit yang bersedia menerima honor sedikit, yang penting punya penghasilan dan bisa menerapkan pengetahuan, oleh sebab itu pada tahun 70-an hingga 90-an banyak sekali guru yang merangkap profesi lain.

Sebelum era reformasi, sekolah masih boleh memungut iuran dari murid-murid yang membuat sekolah memiliki kemampuan membayar honor guru lebih baik untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, sekolah swasta dan negeri yang favorit menetapkan jumlah iuran yang tinggi hingga guru-guru memperoleh penghasilan yang lebih tinggi dibanding di sekolah lainnya. 

Sayangnya, daya tarik profesi guru sangat tak menarik minat anak muda negeri, hingga yang menjadi guru adalah orang-orang "sisa" yang tak laku di profesi lain.

Pada tahun delapan puluhan, anak-anak yang bersekolah di SD Inpres mulai lulus, sayang pemerintah tak cukup membangun SMP Negeri sehingga rakyat harus bersekolah di sekolah swasta, ini era pertumbuhan sekolah swasta, tak sedikit yang bertahan hingga kini, banyak juga yang tutup tergilas zaman. 

Honor-honor guru di sekolah swasta sangat tergantung dari iuran orang tua murid, sebagian besar tetap menerima honor mengajar yang tak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Era Reformasi menjadikan pendidikan sebagai alat politik, bahan kamapanye "pendidikan gratis" yang berlanjut sekolah negeri tak boleh lagi menarik iuran dari orang tua murid, sehingga sekolah kalang kabut memenuhi kebutuhan guru, dimana guru-guru yang diangkat tahun tujuh puluhan sudah banyak yang pensiun, sementara pemerintah tidak mengangkat guru baru, sekolah mengangkat guru-guru honor dengan upah yang tak seberapa, tapi banyak guru yang berkenan menerima upah yang sedikit dengan harapan selanjutnya punya tempat atau lebih mudah diangkat sebagai ASN. 

Kualitas guru-guru negeri ini sangat sulit diharapkan, pemerintah pun tak bisa segera memenuhi kekurangan guru karena keterbatasan biaya mengangkat ASN, dan dalam jangka panjang ini membuat mutu pendidikan di sekolah semakin menurun, guru berada di kelas seolah hanya memenuhi batas waktu mengajar dan tak terlalu memperhatikan kualitas proses belajar mengajar. Hal ini makin lama membuat masyarakat resah terhadap kualitas guru dan proses belajar di sekolah yang tampak makin menurun.

Undang -Undang (UU) Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, memberi ruang peningkatan kesehjateraan bagi guru dan dosen. Regulasi yang sudah diberlakukan kurang lebih empat belas (14) tahun yang lalu ini, secara tidak langsung meningkatkan martabat guru dan dosen. 

Profesi guru mulai manarik minat anak-anak muda alumni perguruan tinggi negeri ternama, kini banyak anak-anak muda pintar memilih profesi guru karena bisa terjamin kesejahteraannya, bahkan untuk guru-guru di ibukota dan kota-kota yang makmur, guru menerima tunjangan kinerja daerah yang jumlahnya makin memperbesar pundi-pundi guru; untuk guru ASN ada gaji dari pemerintah pusat, tunjangn pemerintah daerah, dan tunjangan sertifikasi, sedangkan untuk guru honor kini menerima upah setara upah inimum regional daerah yang jika dikelola dengan baik bisa mencukupi hidup guru dan keluarga.

Peralihan dari guru-guru era masa lalu dan guru-guru yang cemerlang kini tak bisa mengubah budaya sekolah secara drastis, karena pengelola sekolah dan manajemen sekolah masih guru-guru senior yang berasal dari masa lalu. Sementara kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dan gembar-gembor pendidikan gratis membuat masyarakat makin menuntut proses pendidikan bermutu tetapi tak mau mendukung sekolah dalam hal pembiayaan, sekolah yang berani memungut iuran dan dilaporkan ke aparat pemda akan menghadapi masalah, sehingga sekolah tak berani mengadakan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan dana besar, akibatnya kegiatan di sekolah berlangsung sekedarnya, fokus pada pelajaran di kelas untuk sekedar lulus ujian nasional.

Orang tua yang mengerti pendidikan, memasukkan anaknya ke sekolah yang bermutu walau harus membayar biaya iuran, dan lainnya yang tidak sedikit, sekolah negeri yang komitmen terhadap mutu masih berani memungut iuran secara tidak resmi, memanfaatkan organisasi orang tua murid, melalui perwakilan kelas yang tergabung dalam komite sekolah, ada koordinator kelas yang mengkoordinir iuran kelas, dengan mengamati kemampuan murid di kelas lewat pengamatan profil murid dan pendekatan pribadi, orang tua murid yang mampu menyumbang iuran dalam jumlah yang besar sementara yang tidak mampu dibebaskan tidak membayar iuran, tetapi anak-anaknya tetap diikutkan pada setiap program sekolah. 

Sekolah-sekolah bagus, termasuk sekolah berasrama dan pondok pesantren kini makin digemari karena memberikan pendidikan karakter yang jelas dan terukur dan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang rutin, sehingga orang tua bersedia membayar uang pangkal puluhan juta rupiah dan iuran bulanan jutaan rupiah.

Mayoritas sekolah negeri tak berani memungut iuran karena resikonya mendapat sangsi dari pemerintah daerah melalui dinas pendidikan, apalagi jika murid-muridnya adalah kelompok masyarakat yang tidak mampu, akibatnya sekolah berlangsung sekedarnya, disiplin sekolah makin sulit diterapkan karena sangsi disiplin yang keras sering menuai protes anak dan orang tua, bahkan tak sedikit yang berujung ke laporan polisi, dan umumnya guru atau sekolah selalu kalah, tragis. Akibatnya kini sekolah tak menerapkan disiplin yang bagus untuk murid karena takut resiko berhadapan dengan polisi akibat penerapan disiplin. 

Ledakan pistol di sekolah, penganiyaan kepala sekolah dan pengeroyokan guru cuma merupakan puncak gunung es, pengelolaan pendidikan negeri ini.

Ke depan, guru harus terus disejahterakan, dan jumlah guru harus dicukupkan sesuai jumlah murid dan mata pelajaran di sekolah, kepada sekolah juga harus diberikan wewenang dan perlindungan untuk mengelola proses pendidikan dan tak perlu berujung di kepolisian, proses ke arah itu sudah dimulai lewat MoU antar organisasi guru dan polisi maupun kejaksaan, tetapi tampaknya masih sulit dalam penerapannya.

Kebijakan pemerintah selalu meluluskan, menghilangkan syarat nilai minimal untuk lulus ujian nasional, membuat murid dan orang tua merasa diatas angin, makin berani terhadap guru dan sekolah, karena mereka tahu tak ada sangsi tak lulus bahkan jarang sekali kini murid yang tak naik sekolah. 

Walau ada peraturan yang memberikan wewenang tidak meluluskan dengan pertimbangan karakter murid, sekolah seolah takut tak menaikkan atau meluluskan murid, sekolah takut berurusan dengan hukum, seperti yang terjadi di ibukota negeri ini ada orang tua yang melaporkan sekolah dan gurumya ke polsi karena anaknya tak naik sekolah dan sesuai peraturan di sekolah itu harus keluar dari sekolah.

Anak-anak sekarang merdeka belajar karena pasti naik kelas dan lulus, sementara guru-guru dan kepala sekolah kini ketakutan mengajar, menurut anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun