Mohon tunggu...
Dwi Sekar Arum
Dwi Sekar Arum Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis edukasi, tips menarik, isu hukum, sastra, dan psikologi . Tulisan-tulisan saya di Kompasiana bertujuan membuka ruang dialog kritis, memperkaya pengetahuan, dan mendorong pemikiran reflektif bagi pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teori Positivisme Hukum dalam Filsafat Hukum

24 September 2025   10:14 Diperbarui: 24 September 2025   11:10 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Teori positivisme hukum merupakan salah satu aliran utama dalam filsafat hukum yang menegaskan pemisahan antara hukum dan moralitas. Dalam pandangan ini, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang harus selalu selaras dengan nilai moral, melainkan sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Dengan demikian, keabsahan hukum lebih ditentukan oleh aspek formalnya, bukan oleh kandungan nilai keadilan yang mungkin melekat di dalamnya.

Positivisme hukum menekankan bahwa hukum:

a. Dibuat dan ditegakkan oleh lembaga resmi negara yang berwenang.

b. Dinilai sah apabila sesuai dengan prosedur yang berlaku, tanpa mempersoalkan apakah hukum tersebut adil atau tidak.

c. Dipahami secara terpisah dari unsur-unsur di luar hukum positif, seperti perintah Tuhan, akal budi, atau bahkan hak asasi manusia.

Dengan prinsip tersebut, positivisme hukum menjunjung tinggi aturan tertulis sebagai bentuk hukum yang paling tinggi dalam suatu negara. Aturan hukum yang sah dianggap lebih penting daripada pertimbangan moralitas, karena moralitas dipandang sebagai sesuatu yang relatif. 

Moralitas bisa sangat subjektif, berbeda antar individu, masyarakat, bahkan budaya. Oleh karena itu, memasukkan unsur moralitas dalam menilai hukum dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian dan inkonsistensi dalam praktik hukum.

Keunggulan teori ini terletak pada penekanannya terhadap kepastian hukum. Aturan hukum yang jelas, tertulis, dan berlaku umum membuat masyarakat dapat memprediksi konsekuensi dari setiap tindakan. 

Namun, di sisi lain, positivisme hukum juga menuai kritik karena cenderung mengesampingkan nilai moral. Hukum yang dibuat secara sah bisa saja tidak adil, tetapi tetap dianggap sah hanya karena memenuhi prosedur formal.

Salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam aliran positivisme hukum adalah Hans Kelsen (1881--1973), seorang ahli hukum asal Austria. Ia dikenal melalui gagasannya yang disebut Pure Theory of Law atau teori hukum murni. Melalui teori ini, Kelsen berusaha memisahkan secara tegas antara hukum dan moralitas. 

Baginya, hukum tidak perlu diukur berdasarkan benar atau salah secara moral, melainkan dilihat sebagai suatu sistem norma yang berlaku karena memiliki dasar keabsahan yang jelas.

Dalam pandangan Kelsen, hukum bekerja secara hierarkis, di mana setiap norma memperoleh keabsahannya dari norma yang lebih tinggi. Rangkaian hierarki ini pada akhirnya bermuara pada apa yang ia sebut sebagai Grundnorm, yaitu norma dasar yang bersifat hipotetis dan menjadi landasan tertinggi bagi seluruh aturan hukum dalam suatu sistem. 

Dengan konsep ini, Kelsen ingin menunjukkan bahwa hukum dapat dipelajari secara ilmiah dan objektif, tanpa campur tangan nilai moral maupun politik.

Pemikiran Kelsen menjadi salah satu pilar utama positivisme hukum modern, karena menekankan kepastian hukum, keteraturan, dan kejelasan dalam menilai keabsahan suatu aturan. Ia menempatkan hukum sebagai sistem yang berdiri sendiri (self-contained system), yang sah semata-mata karena lahir dari prosedur formal yang benar, bukan karena sesuai dengan standar keadilan atau moralitas tertentu.

Penutup

Positivisme hukum memberikan kontribusi penting dalam membangun suatu sistem hukum yang pasti, tertata, dan konsisten. Dengan menekankan pemisahan hukum dari moralitas, aliran ini menempatkan hukum sebagai aturan yang berlaku karena dibuat melalui prosedur yang sah, bukan karena isinya dianggap adil secara moral. 

Prinsip ini menghadirkan kejelasan dan kepastian, tetapi di sisi lain juga membuka ruang kritik karena cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan substantif.

Tokoh seperti Hans Kelsen memperkuat aliran ini dengan teori hukum murninya yang menekankan bahwa hukum harus dipahami sebagai tatanan normatif yang objektif dan ilmiah, bebas dari pengaruh moral maupun politik. Pandangan ini menegaskan bahwa kepastian hukum adalah fondasi utama bagi keberlangsungan suatu negara hukum.

Referensi 

Buku :

[1] Roshadi, R. A. (2024). Filsafat hukum: Konsep-konsep dasar filsafat hukum dan analisis isu-isu kontemporer. Yogyakarta. ANAK HEBAT INDONESIA.

Artikel :

[1] Himma, K. E. (n.d.). Legal positivism. Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses dari https://iep.utm.edu/legalpos/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun