Teori positivisme hukum merupakan salah satu aliran utama dalam filsafat hukum yang menegaskan pemisahan antara hukum dan moralitas. Dalam pandangan ini, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang harus selalu selaras dengan nilai moral, melainkan sebagai seperangkat aturan yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Dengan demikian, keabsahan hukum lebih ditentukan oleh aspek formalnya, bukan oleh kandungan nilai keadilan yang mungkin melekat di dalamnya.
Positivisme hukum menekankan bahwa hukum:
a. Dibuat dan ditegakkan oleh lembaga resmi negara yang berwenang.
b. Dinilai sah apabila sesuai dengan prosedur yang berlaku, tanpa mempersoalkan apakah hukum tersebut adil atau tidak.
c. Dipahami secara terpisah dari unsur-unsur di luar hukum positif, seperti perintah Tuhan, akal budi, atau bahkan hak asasi manusia.
Dengan prinsip tersebut, positivisme hukum menjunjung tinggi aturan tertulis sebagai bentuk hukum yang paling tinggi dalam suatu negara. Aturan hukum yang sah dianggap lebih penting daripada pertimbangan moralitas, karena moralitas dipandang sebagai sesuatu yang relatif.Â
Moralitas bisa sangat subjektif, berbeda antar individu, masyarakat, bahkan budaya. Oleh karena itu, memasukkan unsur moralitas dalam menilai hukum dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian dan inkonsistensi dalam praktik hukum.
Keunggulan teori ini terletak pada penekanannya terhadap kepastian hukum. Aturan hukum yang jelas, tertulis, dan berlaku umum membuat masyarakat dapat memprediksi konsekuensi dari setiap tindakan.Â
Namun, di sisi lain, positivisme hukum juga menuai kritik karena cenderung mengesampingkan nilai moral. Hukum yang dibuat secara sah bisa saja tidak adil, tetapi tetap dianggap sah hanya karena memenuhi prosedur formal.
Salah satu tokoh yang berpengaruh besar dalam aliran positivisme hukum adalah Hans Kelsen (1881--1973), seorang ahli hukum asal Austria. Ia dikenal melalui gagasannya yang disebut Pure Theory of Law atau teori hukum murni. Melalui teori ini, Kelsen berusaha memisahkan secara tegas antara hukum dan moralitas.Â
Baginya, hukum tidak perlu diukur berdasarkan benar atau salah secara moral, melainkan dilihat sebagai suatu sistem norma yang berlaku karena memiliki dasar keabsahan yang jelas.