Mohon tunggu...
Dwi Pujiyanto
Dwi Pujiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ayok!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Waise, Berjualan Sate demi Kelangsungan Hidupnya

9 Desember 2021   00:13 Diperbarui: 10 Desember 2021   22:38 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Waise yang sedang memanggang sate ayam jualannya/dokpri

YOGYAKARTA - Ibu Waise, perempuan asal asli desa Cangkareman, kecamatan Konang, Madura, mengadu nasib di Alun-alun Kidul Yogyakarta dengan berjualan sate ayam. Di Alun-alun yang terletak di selatan Keraton Yogyakarta, dibalik kulit coklat sedikit keriput dengan pakaian sederhana dan terik panas matahari berteduh di bawah pepohonan dia berjualan sate ayam bumbu kacang demi sesuap nasi. Disitulah letak dari sosok ibu ibu yang lumayan berumur namun dengan semangat yang tak terbatas.

Di usia yang menginjak 51 tahun, ibu Waise duduk lesehan di pinggir alun- alun mulai pukul 2 sore. Dia mengipas sate ayam yang diletakkan di atas pemanggang sambil memangggil dan tersenyum kepada pengunjung alun-alun. Selain itu ibu Waise juga sangat akrab terhadap pembelinya karena dengan senyum dan cara bicaranya sangat asik didengar. Terlepas dari itu bu Waise sangat teliti sekali dalam memanggang satenya dan bahkan jika pembeli hanya membeli sate saja bu Waise tak lupa untuk memberikan lontongnya meskipun pembeli hanya memesan sate dengan harga sate tanpa lontong. Sungguh sangat perih hati ini melihat perbuatan dari beliau yang sangat patut untuk di jadikan contoh sebuah kehipudan.

“Duduk di sini setiap hari mulai pukul 2 sore (di bagian selatan) tapi nanti kalau udah jam 4 sore pindah (ke utara) alun-alun karena disini di pakai untuk parkir terus nanti pulangnya jam 7 malam,” kata ibu Waise, Rabu, (08/12/2021).

Ibu Waise mulai berjualan sate ayam di alun-alun sejak ditinggal suaminya (wafat) 5 tahun yang lalu, tidak dikaruniai anak, hidup tanpa keluarga dan memiliki rumah sendiri di desa-nya. Bu Waise memilih mengadu  nasip dengan merantau ke Yogyakarta sejak saat itu juga, karena sepengetahuan beliau Yogyakarta adalah tempat di mana orang bisa menjadi dirinya sendiri. Memilih berjualan sate bukan karena apa, tapi itulah ciri khas orang madura yang terkenal dengan satenya. Bu Waise ingin lebih mengenalkan lagi sate yang pada dasarnya terkenal dari madura tersebut dengan demikian orang–orang jadi lebih tahu bahwa tidak hanya pedagang tenda biru saja yang dapat memberikan sate dengan cirikhas madura, namun pedagang pinggir alun-alun pun juga dapat menyuguhnya sate yang serupa dengan rasa yang sangat pas di lidah masyakarat.

“Tinggal di rumah sewa (kostan) di sekitar Jalan Minggiran yang lokasinya dekat alun-alun  dengan biaya sewa sebesar 2,4 juta pertahun,” ujarnya sambil menampakkan wajah tersenyum.

Meskipun pendapatan dari berjualan sate tidak seberapa bahkan terkadang tidak dapat sepeserpun, tapi Ibu Waise selalu mensyukurinya, bagi beliau itu adalah sebuah kenikmatan yang diberikan oleh alllah untuknya diberi kesehatan itupun sangat-sangat patut untuk di syukuri. Dia mengaku ikhlas mengeluarkan keringatnya sendiri demi kelangsungan hidupnya.

“Alhamdulillah, cukup untuk biaya hidup ya meskipun kadang ada kurangnya. Yang paling penting semoga tetap diberikan kesehatan dik, sehingga bisa terus berusaha (jualan sate ayam),” ucapnya sambil menatap dengan senyuman. 

Seperti bermimpi di siang bolong, banyak orang tidak menduga tiba-tiba pintu penghasilannya tersumbat akibat pandemi COVID-19. Mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan pun menurun drastis. Sebagian kecil di antara mereka mencoba beralih profesi tetapi hanya bisa mendatangkan penghasilan yang juga kecil selain itu pedangang kecil yang sudah berjualan sejak bertahun-tahun lalu seakan dihantui oleh kebingungan akan penghasilan yang akan diperoleh dari mana “hujan tak lagi sama kapan pandemi virus ini sirna” mungkin begitu kata yang pas untuk mewakili isi hati seorang pedagang kecil yang sudah lama berjualan di pinggiran jalan diterka panas dan hujan yang tak bisa di kendalikan apakah ini sebuah cerita dari sebuah kehidupan yang tak seperti dibayangkan.

Merebaknya kasus Covid-19 khususnya di Indonesia mempengaruhi kehidupan banyak orang, mulai dari segi kesehatan, pendidikan, maupun dari segi ekonomi. Jumlah kasus penderita terdampak Covid-19 yang saat ini terus bertambah membuat laju sejumlah usaha juga ikut melambat. Ditambah lagi kondisi masyarakat saat ini yang tengah mengurangi aktivitasnya di luar rumah, seperti liburan atau belanja untuk mengurangi penyebaran virus corona tersebut. Situasi saat ini membuat roda perekonomian melambat, pasar mulai lesu, omzet penjualan juga menurun.

Meskipun Pemerintah telah menyiapkan stimulus atau bantuan dengan maksud untuk membantu mendongkrak kondisi ekonomi yang melemah dan menjaga daya beli. Namun sebagai pelaku usaha atau pelaku usaha sudah barang tentu harus menyiapkan strategi, yaitu strategi apa yang bisa dilakukan agar tetap bisa mempertahankan usahanya dalam menghadapi situasi seperti saat ini. Begitu pula yang banyak dilakukan oleh para Pedagang Kaki Lima dengan segala keterbatasannya, mereka tetap berusaha untuk eksis di tengah pandemi Covid-19 saat ini, khususnya terhadap keberlangsungan usahanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun