Mohon tunggu...
Dwi Puji Lestari
Dwi Puji Lestari Mohon Tunggu... Karyawan

Minat pada Fiksi, Humaniora, Life, dan Olahraga. Domisili Kota Palembang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Petani Karet Butuh Solusi yang Tepat, Bukan Sekadar Pelipur Lara

24 Juli 2025   09:05 Diperbarui: 24 Juli 2025   09:15 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sripoku.com/Eko Mustiawan

Harga karet yang anjlok membuat petani di Desa Ngestiboga 1, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan resah. Pasalnya, harga karet ditingkat pengepul mencapai titik terendahnya yang menyentuh Rp4.000,00 per kilogram. Melihat kondisi tersebut, apakah iya ini semata-mata salah para petani yang kurang terobosan? Ataukah solusi pemerintah saat ini yang hanya sekadar pelipur lara?

Sebagai seorang pelajar sekaligus anak dari seorang petani karet, saya amat prihatin dengan anjloknya harga karet. Apalagi dengan merebaknya Covid-19 di tanah air yang membuat petani kian terpukul. Betapa tidak, adanya aturan pemerintah yang mengharuskan kita untuk bekerja di rumah, agaknya menimbulkan dilema yang ujung-ujungnya bisa ditebak, yaitu pendapatan petani yang turun drastis. Padahal, para petani ini sebagian besar tidak memiliki pekerjaan lain selain menyadap karet. Alhasil tidak ada pilihan lain bagi mereka selain tetap bekerja dan menjual getah karet dengan harga murah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebelum Covid-19 merebak, Pak Jokowi sempat memberi inisiatif guna mendongkrak harga karet di tengah turunnya harga komoditas global. Mengutip laporan CNBC Indonesia (2018), inisiatif yang dimaksud ialah membeli karet dari kebun rakyat untuk pengaspalan jalan. Getah karet dibeli langsung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyart (PUPR) dengan harga Rp7.500,00-Rp8.000,00.

Saya setuju jika karet digunakan sebagai campuran aspal, vulkanisir, atau bahan baku lainnya. Tapi, apakah pemerintah bisa menjamin dengan membeli getah karet Rp8.000,00 lantas membuat para petani tidak kesulitan lagi? Nyatanya tidak.

Inisiatif pak Jokowi membeli karet petani Rp8.000,00 kami hargai, tapi itu masih tergolong murah. Idealnya harga karet itu di kisaran Rp12.000,00 per kilogram. Jika harga karet di bawah Rp10.000,00, saya rasa harga tersebut tidak sebanding dengan proses menyadap karet yang harus menunggu 3-5 hari baru bisa dijual ke pengepul (tauke). Belum lagi jika musim hujan dan kemarau tiba, produksi getah karet pasti akan menurun. Kondisi ini mau tidak mau harus diterima para petani. Meskipun mereka bekerja ekstra keras dari pagi sampai sore, tetap saja penghasilan yang diperoleh tidak seberapa.

Pendapatan dari menyadap karet tiap petani memang berbeda-beda tergantung luas sempitnya lahan yang dimiliki. Begitu juga dengan pengeluaran kebutuhan sehari-hari para petani. Namun, sangat rasional jika pendapatan berbanding lurus dengan pengeluaran. Saya rasa, semua kalangan petani karet merasakan dampak dari anjloknya harga karet.

Apalagi harga karet saat ini yang hanya menyentuh Rp4.000,00 dan paling tinggi Rp5.000,00 per kilogram, sungguh tidak sepadan dengan pengeluaran untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Misalkan saja, petani menyadap karet selama 4 hari hanya mampu menghasilkan getah karet sebesar 30 kg dengan harga Rp5.000,00 per kilogram. Maka, penghasilan yang diperoleh per hari adalah Rp37.500,00.

Sebagai analogi, harga karet Rp5.000,00 per kilogram tidak akan cukup untuk membeli 1 kg gula pasir seharga Rp13. 000,00. Butuh kurang lebih 3 kg getah karet kering hanya untuk membeli 1 kg gula pasir. Padahal kebutuhan lain yang tidak kalah penting juga harus dibeli, seperti beras, sayur-sayuran, lauk-pauk dan bahan pokok lainnya.

Beberapa waktu lalu, ada isu yang berhembus di masyarakat bahwa pak Jokowi ingin tanaman karet diganti dengan petai dan jengkol, atau buah-buahan tropis yang katanya lebih menjanjikan. Mendengar solusi ini, justru membuat kami semakin bingung. Bagaimana mungkin ini bisa dilakukan oleh petani karet yang notaben mereka menyadap karet sejak puluhan tahun lamanya? Disamping itu, sampai detik ini solusi tersebut tidak direalisasikan.

Sebenarnya, produksi getah karet nasional juga menjanjikan asal pemerintah peka terhadap persoalan petani. Bagaimana tidak, sekitar 85% produksinya yang dilakukan oleh petani kecil telah menjadikan negara Indonesia sebagai pemasok karet terbesar kedua di dunia. Disisi lain, tanaman karet menyimpan banyak manfaat, diantaranya reboisasi dan rehabilitasi lahan yang tidak memerlukan tanah dengan kesuburan yang tinggi, sebagai bahan untuk industri sintesis, sebagai bahan bakar, sebagai obat-obatan, bisa mengurangi emisi rumah kaca, dan banyak lagi manfaat lainnya. Bukan solusi bijak jika memaksa petani untuk mengganti tanaman karet dengan petai, jengkol atau buah-buahan tropis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun