Mohon tunggu...
Dwifa Mirza
Dwifa Mirza Mohon Tunggu... Mahasiswi Ilmu Hukum Universitas Jambi

Belajar Ilmu hukum, administrasi negara, dan politik. Berusaha mengkritisi dan beropini terhadap praktik hukum dan politik di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Saat Aplikasi Negara Bikin Kepala Puyeng: Curhat Warga Digital

12 Mei 2025   09:10 Diperbarui: 12 Mei 2025   09:07 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era ketika gadget sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup kita sehari-hari, rasanya mustahil jika negara tidak ikut melompat ke gerbong digitalisasi. Dengan gegap gempita, pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga tak henti-hentinya menggaungkan era e government. Berbagai aplikasi dan portal online diluncurkan bak kembang api, menawarkan janji manis birokrasi yang katanya akan serba lebih cepat, efisien, dan tanpa antre. Urus ini-itu katanya semudah membalik telapak tangan, bisa diakses dari mana saja dan kapan saja, tanpa perlu berhadapan dengan loket yang pengap atau calo yang meresahkan. Sebuah visi efisiensi yang menggiurkan, membayangkan negara hadir dalam genggaman.

Sebagai mahasiswi yang sehari-hari berkutat dengan layar laptop dan smartphone, saya termasuk yang awalnya optimistis menyambut inisiatif digitalisasi ini. Membayangkan kemudahan mengurus keperluan administrasi kampus atau urusan negara lainnya sambil menyelesaikan tugas kuliah, atau sekadar bersantai di kosan, adalah sebuah impian tentang birokrasi yang ramah kaum muda dan dinamis. Harapan itu membumbung tinggi, melihat potensi besar teknologi mengubah wajah pelayanan publik menjadi jauh lebih baik.

Namun, realitanya... ah, ternyata tidak seindah itu. Dari obrolan santai dengan teman-teman yang senasib seperjuangan menghadapi layar, cerita orang tua atau kerabat yang mencoba peruntungan dengan sistem online, hingga riuh rendah keluhan yang membanjiri lini masa media sosial, ada satu rasa yang sama muncul ke permukaan: kok kenyataannya seringkali justru bikin kepala puyeng, bahkan frustrasi? Aplikasi dan portal 'buatan negara' ini, alih-alih menjadi solusi tunggal yang otomatis dan memudahkan, tak jarang terasa seperti menambah layer kerumitan baru yang tak kalah pelik dari birokrasi manual itu sendiri. Artikel ini hadir, bukan untuk menolak kemajuan teknologi---itu tentu konyol---tetapi lebih sebagai catatan kritis dan refleksi jujur dari sudut pandang pengguna, tentang apa saja yang bikin 'kepala puyeng' saat berhadapan dengan E-Gov, dan mengapa digitalisasi ini, sejauh ini, belum bisa kita sebut sebagai 'jawaban tunggal' atas masalah birokrasi klasik kita.

Frustrasi paling kentara seringkali muncul begitu kita berhadapan langsung dengan antarmuka aplikasi atau website-nya. Tampilannya seringkali terasa 'asing', tata letaknya tidak intuitif, dan desainnya terkesan ketinggalan zaman dibandingkan aplikasi layanan privat yang biasa kita gunakan sehari-hari. Mencari menu atau fitur yang dibutuhkan seringkali terasa seperti masuk ke ruangan tanpa peta; tombol-tombol yang fungsinya tidak jelas, alur proses yang melompat-lompat tanpa penjelasan memadai. Kebingungan ini bukan hanya dialami oleh mereka yang gagap teknologi, saya dan teman-teman yang akrab dengan digital pun tak jarang dibuat geleng kepala.

Belum lagi soal fungsionalitas yang seringkali bikin kesal. Sudah capek-capek mengisi data panjang lebar di kolom-kolom yang disediakan, melewati berbagai tahapan yang membingungkan, tinggal satu klik terakhir untuk 'submit' atau 'lanjutkan', eh... mendadak muncul pesan keramat: "Mohon maaf, sistem sedang sibuk," atau yang lebih misterius lagi, "Terjadi kesalahan yang tidak diketahui." Lalu, layar berganti, dan semua data yang sudah diinput lenyap begitu saja, mengharuskan kita mengulang proses dari nol. Ini bukan kejadian langka, bahkan terkesan seperti 'fitur' wajib di beberapa layanan digital pemerintah. Waktu dan energi yang seharusnya bisa dihemat justru terbuang percuma hanya untuk melawan bug dan sistem yang tidak stabil.

Selain kerumitan di balik layar, ada tantangan lain yang lebih mendasar yang seringkali dilupakan narasi besar digitalisasi: tidak semua warga negara kita memiliki akses dan kemampuan yang sama untuk menikmati janji surga digital itu. Narasi E-Gov seolah mengasumsikan bahwa setiap orang punya koneksi internet yang super cepat dan stabil di mana saja, smartphone atau komputer yang mumpuni, serta tingkat pemahaman yang memadai untuk mengoperasikan segala jenis aplikasi. Padahal, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Sinyal internet yang lelet di banyak daerah, biaya membeli kuota yang bisa membebani dompet harian, menjadi tembok tebal bagi banyak orang untuk mengakses layanan digital negara.

Apalagi soal literasi digital yang timpang. Bagaimana dengan generasi orang tua atau kakek-nenek kita yang mungkin seumur hidupnya hanya berurusan dengan loket fisik atau petugas desa secara tatap muka? Mempelajari sistem digital yang rumit, dengan segala istilah teknis dan alur yang asing, adalah beban yang luar biasa dan seringkali mustahil dihadapi sendiri. Apakah adil jika akses terhadap layanan dasar yang disediakan oleh negara---yang notabene adalah hak setiap warga---kini dibatasi oleh penguasaan teknologi dan koneksi internet yang prima? Kesenjangan digital ini nyata, bukan isapan jempol, dan berisiko menciptakan diskriminasi halus dalam mengakses hak-hak warga. Cerita tentang orang tua yang terpaksa meminta bantuan anak-cucunya hanya untuk mengecek status bansos atau mengurus BPJS secara online adalah bukti nyata bahwa sistem belum sepenuhnya inklusif. Bahkan, ironisnya, kemunculan 'calo' digital yang menawarkan jasa pengurusan online dengan bayaran, seolah menjadi penanda bahwa kerumitan digital ini memang nyata dan dieksploitasi.

Yang tak kalah bikin was-was, atau lebih tepatnya bikin dag-dig-dud, adalah isu keamanan dan privasi data pribadi. Saat diminta memasukkan data-data super sensitif seperti NIK, nomor KK, nama ibu kandung, atau detail finansial ke sistem digital pemerintah, muncul rasa cemas yang sulit hilang. Mengingat maraknya berita kebocoran data yang seolah tak ada habisnya, menimpa berbagai lembaga termasuk yang katanya punya sistem keamanan kuat, bagaimana bisa kami, sebagai warga biasa, merasa sepenuhnya yakin bahwa data yang kami serahkan akan aman tersimpan dan tidak disalahgunakan? Rasanya seperti diminta menyerahkan semua kunci rumah, berikut denah dan isi brankas di dalamnya, kepada orang asing yang kredibilitasnya masih dipertanyakan. Apalagi, seringkali tidak ada penjelasan yang transparan data ini digunakan untuk apa saja selain keperluan yang spesifik kita ajukan. Proses verifikasi yang kadang terkesan gampang tapi rentan (lewat OTP SMS) atau justru aneh dan sulit diakses (harus video call dengan petugas yang tak kunjung tersambung) juga tidak membantu membangun rasa aman. Tanpa jaminan keamanan data yang kokoh dan transparansi penuh, E-Gov bisa jadi jebakan yang justru merusak kepercayaan publik pada negara.

Dari berbagai 'curhat' dan pengalaman yang dirangkum di atas---mulai dari antarmuka yang bikin puyeng, tantangan akses dan literasi yang timpang, hingga rasa was-was akan keamanan data--- terlihat jelas bahwa digitalisasi layanan publik memang merupakan langkah maju yang sangat diperlukan di era ini. Potensinya untuk menciptakan pelayanan yang lebih cepat, efisien, dan transparan memang sangat besar, tak terbantahkan. Namun, apa yang tertera dalam visi dan misi ambisius pemerintah, dengan realita 'perang' sehari-hari para pengguna di lapangan, masih menyimpan jurang pemisah yang dalam dan terasa menganga.

E-Gov saat ini, dengan segala tantangannya, terasa efektif hanya bagi segelintir orang yang punya akses infrastruktur memadai, tingkat literasi digital yang tinggi, perangkat yang mumpuni, plus kesabaran ekstra untuk menghadapi segala bug dan kerumitannya. Bagi sebagian besar warga lainnya, digitalisasi ini justru bisa menjadi sumber stres baru, bahkan menghambat akses mereka terhadap layanan dasar yang seharusnya mudah dijangkau. Ini menunjukkan bahwa proses digitalisasi ini belum sepenuhnya berorientasi pada pengguna (user-centric design), dan belum sepenuhnya inklusif bagi semua lapisan masyarakat. Ia, dengan segala kekurangannya saat ini, belum pantas menyandang predikat 'jawaban tunggal' atas bobroknya birokrasi manual.

Jika ingin E-Gov benar-benar menjadi terobosan yang bermanfaat dan bukan hanya sekadar 'pindah server' atau memindahkan kerumitan manual ke dalam bentuk digital, ada beberapa hal mendasar yang perlu diperbaiki dan menjadi fokus utama. Pertama, desain sistem dan aplikasi harus benar-benar diuji coba dan dievaluasi dari sisi pengguna awam, dibuat seintuitif mungkin, ramah di mata, dan mudah dipahami bahkan oleh nenek kita sekalipun. Kedua, pembangunan infrastruktur digital yang merata dan program literasi yang masif di seluruh pelosok negeri adalah mutlak diperlukan agar tidak ada warga yang tertinggal dalam menikmati haknya. Ketiga, jaminan keamanan data harus menjadi prioritas nomor satu yang tak bisa ditawar, dibarengi transparansi penggunaan data dan sistem perlindungan yang kokoh untuk membangun kembali kepercayaan publik yang sudah mulai goyah. Keempat, sediakan support system yang mumpuni dan responsif; warga yang 'puyeng' butuh tempat bertanya yang solutif, bukan hanya error message atau chatbot yang tidak nyambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun