Mohon tunggu...
Dwi Eka Adhariani
Dwi Eka Adhariani Mohon Tunggu... Universitas PTIQ

Pendidikan Anak Usia Dini

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gas dan Bahan Bakar Alternatif

6 Februari 2025   11:07 Diperbarui: 6 Februari 2025   11:07 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tiba-tiba, gas 3 kg menghilang, di warung pengecer kosong dan sulit ditemui. Jika pun ada, mendapatkannya tak mudah, jaraknya jauh dari lokasi, harus antri dan stok belum tentu cukup. Ternyata ada kebijakan baru terkait distribusi gas bersubsidi, agar subsidi efektif, tetap sasaran dan selisih harga tidak terlalu jauh dilakukan penyesuaian. Namun kebijakan ini terkesan mendadak, masyarakat tak siap sehingga menimbulkan kehebohan se Indonesia.

Kita baru sadar, begitu besar pengaruh gas 3 kg ini pada masyarakat, mereka sangat tergantung pada bahan bakar yang satu ini. Sebelum eranya gas, dulu ada minyak tanah sebagai bahan bakar untuk menyalakan kompor. Minyak tanah dibatasi peredarannya, subsidi dicabut dan diganti dengan gas.

Belum lama ini ada himbauan bahan bakar alternatif dengan kompor listrik. Namun tidak semua warga menggunakan dengan berbagai alasan seperti tagihan listrik yang mahal, tidak praktis, tidak bisa fleksibel di bawa kemana-mana, khususnya pengguna seperti pedagang keliling atau kaki lima. Bahan pendukung untuk kompor listrik pun harganya relatif lebih mahal dan lambat dari segi pemanasan.

Kabar baiknya, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto segera merevisi kebijakan ini dan mengembalikan distribusi gas 3 kg kembali bisa dijual oleh pengecer. Kemudian dengan peristiwa ini, tentu membuat kita berpikir untuk kedepannya bagaimana agar urusan dapur tetap ngebul dan tak sepenuhnya tergantung kepada gas atau menyiapkan bahan bakar alternatif yang bisa digunakan pada saat darurat.

Bahan bakar untuk kebutuhan dapur selain gas, ada kompor listrik, kayu bakar, dan batu bara. Di desa-desa masih banyak ditemui masyarakat yang memanfaatkan kayu bakar untuk memasak melalui tungku. Bagaimana dengan warga kota? Kayu bakar di kota, harganya mahal dan sulit ditemui. Kalaupun ada kayu bakar tentu tidak aman, apalagi bagi mereka yang tinggal di pemukiman padat dan di beberapa tempat tidak diizinkan untuk menyalakan api, seperti halnya larangan membakar sampah.

Ada baiknya, kita sudah mulai memikirkan energi alternatif jika satu saat gas kembali menghilang di pasaran atau pun dengan cara menyiapkan bahan makanan yang proses memasaknya tanpa bahan bakar gas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun