Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan, Negara Paling Religius, Intoleransi Sebuah Paradoks

20 April 2021   13:11 Diperbarui: 20 April 2021   13:27 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika ada penelitian bahwa negara Indonesia adalah negara yang paling religius, di mana mayoritas penduduknya rajin melakukan aktivitas keagamaan tapi di sisi lain terorisme, umpatan, makian di media sosial Indonesia menduduki paling atas di antara banyak negara di dunia yang suka mengumpat dan berkata kasar ini khan paradoks. Harusnya Ketika kesadaran beragama semakin tinggi, akhlak, kelakuan, bahasa yang muncul baik di pergaulan langsung maupun di media sosial sepadan. Sehingga tidak akan muncul di media sosial makian yang kasar, maraknya ujaran kebencian, dan saling berdebat masalah agama dengan reaksi yang cenderung kasar dan tidak sopan.

Banyaknya ormas - ormas dan beringasnya manusia yang "katanya"agamis kadang memunculkan pesimisme. Apakah agama menjadi jaminan keselamatan. Sementara pada kenyataannya, melihat dari sejarah munculnya agama muncul pula persaingan, pembantaian, konflik atas nama agama.

Krisis agama muncul di Eropa, sementara di Indonesia agama menjadi pilar utama, bahkan agama sering masuk dalam aktifitas politik, padahal politik dan agama itu cenderung berseberangan. Kadang pula kewibawaan hukum, sering bentrok dengan hegemoni agama. Agama yang dipolitisasi sering membuat runyam relasi rakyat, pemerintahan dan kaum akfifis yang berafiliasi pada agama.

Sebetulnya pesimisme tidak terjadi jika setiap manusia yang mengaku beragama memahami esensi beragama. Tidak mungkin agama mengajarkan kekerasan, tidak mungkin agama, menganjurkan mengangkat pedang, menebas dan mengorbankan nyawa demi membela agama dan Tuhan. 

Tanpa dibela pun Tuhan terlalu kuat bagi manusia. Jadi mengapa perlu dibela. Yang diprioritaskan adalah menjaga harmoni, hubungan antar manusia. Konflik yang muncul sering berasal dari kesombongan, merasa sebagai manusia beragama dialah paling benar, agamanyalah yang paling besar dan paling disayang.

Setiap orang berhak fanatik untuk menjadi penganut agama yang militan, tapi militansi dan fanatik itu ke dalam dalam hal kegigihannya mengamalkan ajaran agamanya, tapi ketika manusia membangun relasi terhadap manusia lain fanatisme agama hanya akan membuat hubungan antar manusia menjadi renggang.

Di saat Ramadan seperti sekarang ini, di mana manusia tengah mengerem nafsu, ada baiknya manusia kembali introspeksi, bukan hanya puasa tidak makan dan minum, tapi juga puasa untuk tidak membuat komentar - komentar yang memancing kerusuhan dan pertengkaran. Tapi tampaknya netizen memang selalu gatal jika tidak berkomentar. 

Dan naif juga di bulan suci ujaran kebencian dan caci maki tetap jalan. Semoga Ramadan mengingatkan setiap manusia terutama umat yang sedang menjalankan ibadah puasa untuk kembali ke diri sendiri mengerem kata- kata yang tidak senonoh dan kembali menyucikan diri.

Saya yang non muslim, merasa kagum pada religiusitas umat muslim, semoga saja kedamaian selalu hadir dari orang - orang yang sangat khusuk menjalankan ibadah agama. Kalau ada oknum yang berang dan mengsweeping warung dan tempat jajan berarti ia takut pada godaan sehingga yang disalahkan penggodanya, padahal bila ia taat, emosi, kemarahan, rasa lapar akan ia hadapi dengan penuh keikhlasan.

Jika ada warung dan tempat makan lainnya buka itu ujian sebenarnya dari puasa. Maaf, saya ikut menimbrung merenung tentang puasa, bukan maksud mengkhotbahi atau memberi ceramah bagi penganut agama lain. Di Agama Katolik bahkan Budha dan Hindupun atau ibadat yang melibatkan manusia untuk menahan diri dari godaan marah, godaan untuk menikmati kenikmatan duniawi, puasa untuk tidak melontarkan kata- kata penuh kebencian, kalau setiap hari puasa makan dan minum tapi komentar dan ujaran kebencian di media sosial tidak di rem, rasanya makna puasapun sebenarnya jauh berkurang. Semoga saya tidak salah membahas tentang arti ketaatan, puasa dan keinginan manusia untuk mengerem hawa nafsunya.

Di tengah lajunya perkembangan ekonomi dunia semoga ibadah, religiusitas, dan kerja keras tetap seimbang. Sehingga negara maju disertai akhlak yang baik masyarakatnya, toleransi tinggi serta kecerdasan dan kerja keras untuk bisa mengimbangi negara lain menjadi bangsa yang maju dan bisa bersaing dengan negara lain.

Untuk mendorong kemajuan bangsa mari dukung mereka yang bekerja mandiri dan mampu membuka lapangan pekerjaan untuk total menyumbangkan kemampuannya. Paling tidak ya tidak membebani negara dengan aura pesimis selalu mengkritik setiap usaha untuk maju. Mari dorong diri sendiri kerja, kerja dan kerja tapi juga selalu memberi siraman rohani minimal pada diri sendiri, keluarga atau lingkungan sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun