Mohon tunggu...
Ign Joko Dwiatmoko
Ign Joko Dwiatmoko Mohon Tunggu... Guru - Yakini Saja Apa Kata Hatimu

Jagad kata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rebutan Jabatan Menteri di Kabinet Jokowi Jilid II

4 Juli 2019   06:45 Diperbarui: 4 Juli 2019   12:39 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lampung.tribunnews.com

Di Mata Najwa semalam saya menyaksikan para politisi sedang berbincang, berandai - andai politisi ditarik sebagai mentri dalam kabinet Jokowi. Yang  merasa sejak awal koalisi tentunya optimis bisa mengajukan sejumlah nama untuk kandidat mentri, sedangkan politisi yang awalnya oposisi merasa tersanjung setelah melihat dan mendengar pidato Joko Widodo saat penetapannya sebagai Presiden didampingi Ma'ruf Amin 2019 -- 2024.

Membangun Rekonsiliasi Setelah Terpecah Belah Dalam Kontestasi Pemilu 2019

Setelah merasakan betapa brutalnya pemilu 2019 ini, masyarakat banyak berharap agar terjadi rekonsiliasi elemen bangsa untuk mengembalikan hubungan yang sempat memanas saat pemilu.Saat itu  keterbelahan, perpecahan, perang komentar, saling sindir, saling menebarkan ujaran kebencian menjadi pemandangan sehari- hari. Mereka yang bisa bertengkar di atas panggung talkshow seakan- akan sedang menebus dosa atas kontribusi mereka dalam panasnya situasi politik tanah air.

Mungkin sudah banyak rakyat melupakan perseteruan dan kembali menekuri kenyataan bahwa kehidupan semakin banyak masalahnya. Mereka harus kembali pandai mencari peluang agar bisa tetap mempertahankan diri di tengah gempuran masalah baik ekonomi, kehidupan sehari- hari dan persoalan misteri yang datang tiba- tiba.

Peternak ayam kaget ketika harga jual ayam tidak sebanding dengan perjuangannya saat memelihara ayam, Petani yang sedang menekuri tanahnya yang kering kerontang akibat kemarau panjang, para petani di gunung Dieng yang mengeluh akibat dinginnya udara hingga membuat embun berubah es dan menyebabkan hasil pertaniannya membusuk.  Harga- harga belum stabil sedangkan kebutuhan pokok terus berjalan.

Banyak yang harus dipikirkan. Akan bertambah pusing jika harus menyaksikan perdebatan para politisi yang sedang melakukan taktik mendekati penguasa terpilih agar ikut serta dalam  kabinet yang sedang direncanakan.

Budaya Malu Politisi dan Jejak digital Media Sosial

Malu itu bukan watak politisi. Mereka sudah mempunyai bahasa sendiri untuk menutupi rasa malunya. Tentunya bahasa- bahasa yang sudah tertebak setiap 5 tahun sekali. Para politisi kutu loncat yang hanya berpikir sesaat untuk menguntungkan diri sendiri.

Wajah yang sudah terekam dalam jejak digital media sosial, ganas saat menjadi oposisi, menggunakan berbagai cara agar mereka bisa memenangkan kontestasi. Ketika akhirnya mereka kalah dan ketika keputusan MK menolak semua dalil kecurangan salah satu kubu maka banyak politisi angkat kaki dari koalisi dan membangun pendekatan baru agar dilibatkan dalam politik dagang kekuasaan. Malu itu hanya kamus para pengamat, bukan untuk mereka politisi. Para politisi tentu sudah menyiapkan topeng- topeng bagi wajah mereka agar terlihat sejuk di mata masyarakat, kata- kata merekapun terus berubah seiring tidak ada lagi 01 dan 02 sekarang sudah menjadi 03 yaitu persatuan Indonesia.

Sejumlah kandidat menteri sudah beredar. Gerindrapun sudah berencana bertemu Jokowi untuk berbicara tentang kolaborasi. Konstalasi politik mengubah peta berpikir mereka. 

Kekalahan sudah mulai dilupakan dan kini mereka kencang untuk tetap berada tetap di atas sebagai politisi yang masih akan mejeng di televisi, entah sebagai wakil rakyat, masuk dalam kabinet, masuk dalam jajaran direksi BUMN atau menjadi pengamat aktif di televisi. Caleg gagalpun berusaha mendaftar ke lembaga negara semacam BPK. Dan rakyat mencatat yang berada di pusaran atas politik tetap itu- itu saja.

Jansen Sitindaon Politisi Demokrat, Eddy Suparno (Sekjen PAN), Arief Poyuono(Wakil Ketua Gerindra), Johnny G Plate (Nasdem) politisi PDI Perjuangan, PPP, PKB, PKS saling berdebat dengan argument mereka masing- masing. Tetapi intinya adalah mereka yang terlibat aktif dalam emmanaskan suasana politik ya itu- itu saja.

Penulis sebagai pemerhati abal abal melihat bahwa banyak persoalan negara yang harus diselesaikan. Bukan sekedar dalam taraf wacana dan maraknya perdebatan. 

Yang jelas semua elemen bangsa harus kompak untuk membenahi carut- marut politik yang ditinggalkan sejak ajang pemilu  yang baru saja berlangsung, Bukan masalah rebutan kursi menteri saja. Politisi yang sejak awal menjadi oposisi bisa menjadi penyeimbang bagi roda pemerintahan mendatang. 

Tidak perlu terlibat dalam pemerintahan tetapi bisa  menjadi pengingat, pengkritik yang proporsional untuk mengarahkan dan mengingatkan pemerintah akan banyaknya persoalan negara yang perlu dibenahi. 

Prioritas pada sumber daya manusia,embenahan karakter masyarakat yang rusak oleh pembelahan- pembelahan, isu- isu dan era post truth yang menampakkan kebodohan sebagian masyarakat dan politisi.

Masyarakat tidak boleh percaya pada isu yang belum tentu benar. Hanya karena pilihan politik lalu menutup logika, kejernihan berpikir, menutup diri dari kenyataan akan kebenaran yang sebenarnya.

Apalagi gaduhnya narasi tentang kecebong dan kampret membuat masyarakat benar- benar seperti berperang melawan saudaranya sendiri.

Kabinet Sesuai Kompetensi bukan Karena Mengakomodasi kepentingan elite Politik

Biarlah kabinet Jokowi diisi oleh orang- orang yang memang kompeten, bukan hanya karena politik dagang sapi, kompromi atau sekedar jargon untuk menebus dosa atas kegaduhan pemilu yang membuat dua kubu saling bertikai.Gerindra tidak perlu memaksakan diri masuk dalam kabinet dan memaksakan kadernya dipilih duduk sebagai mentri.  Akan aneh ketika baru saja bertikai lalu mereka duduk bersama menjadi salah satu anggota kabinet.

alinea.ID
alinea.ID
Menurut pengamatan saya, masyarakat  ada yang curiga akan muncul istilah "duri dalam daging", akan ada politisi yang menjadi mata- mata bagi mereka yang sebelumnya menjadi oposisi.Etika politik harus dikedepankan agar tidak muncul lawakan tidak lucu tentang sepak terjang politisi yang mirip kutu loncat, atau bunglon.

Jika Indonesia ingin maju berikan jabatan pada mereka yang benar- benar bekerja dan tentunya para pejuang yang benar benar mengabdi untuk kemajuan bangsa bukan sekedar para politisi yang berbaju birokrat yang lebih mementingkan partai daripada pengabdian tulus pada  negara. 

Menteri itu bukan sekedar jabatan politik tetapi adalah totalitas membantu presiden memecahkan persoalan bangsa. Siap menderita, siap bekerja keras, siap digeser jika tidak mampu memenuhi target. 

Jabatan mentri itu memang jabatan strategis tetapi sebenarnya berat jika harus melakoninya karena tuntutan Jokowi sekarang adalah mentri yang harus bekerja cepat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi eksekutor, bukan hanya pandai beretorika. Saatnya menyiapkan kader terbaik bangsa.Salam Damai Selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun