Mohon tunggu...
Dwi Argo
Dwi Argo Mohon Tunggu... -

sehari-hari menjadi pencari makna...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

NOCTURNAL 2

13 Juni 2011   15:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Andai ada mesin pengendali waktu,” batin Adam, “aku akan kembali ke saat itu, ke tempat itu. Ke saat aku dan Dara bermanja dan dimanja keindahan kupu-kupu kuning di genggaman tangan. Di saat aku dan Dara ada di taman kota.” Keringat dingin masih menetes deras, dan cairan susu-madu masih menggenangi karpet di kamarnya. Namun Adam masih membeku, seperti kesurupan hantu kelelawar. Satu-satunya yang bergerak dalam tubuhnya hanyalah jantung yang berdegub. Bahkan darahnya seolah tak mengalir ke manapun. Freezing. Adam juga ingin membekukan waktu, andai ia bisa. Waktu yang telah lampau, di mana ia ingin kembali. Waktu ia dan Dara adalah sejoli. Waktu ingatannya terbang kembali ke taman kota. Namun semuanya tidak mungkin. Bukan semata karena taman kota itu sekarang sudah mulai tak berbunga, namun juga karena tak pernah ada mesin pengendali waktu. Adam tak bisa kembali ke masa lalu. Adam tak bisa ke mana-mana. Taman kota itu adalah kenangan yang melekat erat dalam benak Adam, karena di taman itulah untuk terakhir kali ia melihat Dara sebelum Dara pergi tanpa pesan. Dulu mereka berdua ibarat Adam dan Hawa di Taman Eden, taman keindahan. Taman yang membentuk konsep mereka tentang surga. Dan kalau surga itu ada, Adam ingin surga itu taman. Dan ada Dara bersamanya. Namun Adam pun tak pernah bisa memutar waktu kembali ke taman kota, apalagi ke masa depan ke taman surga. Dan Adam sedang ada di taman khayalnya. Tidak ada empat aliran sungai seperti di Eden, tetapi hanya ada aliran keringat yang mulai mengering. Pun aliran susu-madu yang mengental dan mulai dikerubuti semut merah yang tak malu-malu. Ia masih saja memandangi foto di sebuah majalah fotografi yang sejak tadi dipegangnya. Ia juga memandangi dan memastikan bahwa nama “Dara Purnama” di bawah foto itu adalah nama kekasihnya yang kini hilang. Dan ia punya data: Perth, Aussie. Namun ia tak punya daya walau punya data. Dara ada di negeri kangguru. Lalu? Apa ia akan melompat ke Australia dengan sekali lompatan Kangguru lalu sampai menyeberangi benua tetangga? Atau mungkinkah ia melenting seperti boomerang yang dilempar prajurit Aborigin, hingga terbang sampai seberang? Ia pun tak punya pintu ajaib Doraemon yang bisa membawanya ke manapun dalam sekejap. Adam pernah mau diajari aji-aji ngrogoh sukma oleh eyang buyutnya dulu. namun ia menolak karena menganggapnya sesat. Kini ia menyesal tak bisa membelah diri dan pergi ke tampat yang jauh dalam seketika. Lagipula Australia itu luas. Kalau ia hanya punya nama, bagaimana bisa menemukan Dara? Bagaimana jika Dara sudah pindah? Bagaimana jika Dara sudah berkekasih atau bersuami? Bagaimana jika…. Kini, hanya ada Adam, sebuah fotonya bersama Dara di taman kota, sebuah foto bergambar kupu-kupu kuning di majalah fotografi dan kenangan. Apa lagi yang bisa dilakukannya? Paling tidak ia punya pilihan: mengejar mimpinya untuk menemukan Dara, atau melupakan semuanya dan memulai hidup baru. Hari mulai siang, mentari mulai meninggi. Sebagai makhluk nocturnal, ini adalah waktu bagi Adam untuk tidur. Ia takut matahari. Ia takut siang hari. Ia takut berkeliaran di siang hari. Adam adalah kelelawar yang menangkupkan sayapnya, mencengkeramkan kaki-kaki tajamnya, bergelantungan dengan kepala di bawah, di dinding goa bernama kegalauan. Kelelawar muda yang bergelayut sendiri ketika dunia sekitarnya sedang hangar-bingar mengejar mimpi di bawah matahari. Namun bagi Adam, mimpi itu bukan untuk dikejar, karena siang itu mimpi mendatanginya dengan sukarela… Mimpi tentang kupu-kupu. Seekor kupu-kupu tak berwarna. Transparan. Tubuhnya seperti udang muda. Sayapnya tembus pandang. Seekor kupu-kupu yang terbang kian ke mari mencari kepompongnya di tengah hutan. Kupu-kupu itu seperti dituntun oleh nalurinya mencari sisa-sisa kepompong yang menjadi rahimnya dulu. Ia terbang melesat, mengepak sayap tanpa lelah. Menyusur lembah berbau lumut dan melewati bukit berbau daun kering. Ia tak tergoda ribuan bunga-bunga penuh warna dan madu di sepanjang jalan yang ditempuhnya. Ia tak menghinggap walau lelah. Ia melaju sampai ke tengah hutan. Ia seperti peleah daun kering yang tertiup angina. Ia seperti ubur-ubur yang terseret gelombang laut. Yang pasti, ia menuju ke sebuah mata air. Mata air di tengah hutan yang memberi nyawa pada sebuah pohon berdaun rindang. Tak seorang pun tahu nama pohon itu. Demikian juga Adam yang tengah bermimpi. Seolah pohon itu adalah pohon rahasia, walau tanpa penyekat dan pengaman apapun. Seolah pohon itu juga menyimpan rahasia semesta. Dan pohon itu sudah dihinggapi jutaan kupu-kupu beraneka warna yang mencoba membongkar rahasia. Sang kupu-kupu transparan itu yakin bahwa kepompongnya ada di salah satu dahan pohon itu. Namun ia sama sekali tak mampu melihat yang mana miliknya. Karena jutaan kupu-kupu juga berebut masuk ke kepompongnya masing-masing. Sang kupu-kupu transparan mulai mengitari pohon seperti rembulan mengitar bumi. Dedaunan pohon itu menyilaukan sekalipun tanpa bunga. Sang kupu-kupu transparan mulai kelelahan. Ia memilih beristirahat sejenak. Ia terbang merendah, bermaksud mencecap madu di bunga yang tumbuh di bawah pohon itu. Namun sampai di bawah ia terkejut karena ia melihat jutaan kupu-kupu yang mati dalam posisi setengah tubuhnya masuk kepompong, dan setengah lainnya belum sempat masuk. Kupu-kupu dan kepompong itu seperti kering terbakar. Nampaknya mereka adalah para kupu-kupu yang telah menemukan kepompongnya masing-masing, para kupu-kupu yang mencoba masuk kembali ke dalam kepompongnya, namun justru menjatuhkan kepompongnya, sekaligus dirinya, dalam keadaan kering terbakar maut. Sang kupu-kupu transparan lebih terkejut ketika dari atasnya berjatuhan jutaan kupu-kupu lain dengan separuh badan mereka memasuki kepompong, namun setengah sayap mereka di luar. Berjatuhan seperti hujan deras di bulan November. Hujan kupu-kupu. Hujan kutukan. Dan di atas sana, masih ada jutaan kupu-kup lain yang mencoba mencari kepompongnya masing-masing, seolah tanpa tahu bahwa upaya itu hanya akan berakhir kematian tragis. Dan jasad kupu-kup itulah yang menjadikan tanah di bawah pohon rahasia itu menjadi tanah yang subur. Menumbuhkan pohon rahasia yang tetap kokoh. Sang kupu-kupu transparan masih mencari madu. Namun tak ketemu. Tak pernah ada bunga di bawah pohon itu. Bahkan di dekat mata air itu. Lalu ia memilhi untuk pergi, mencari apa yang ia ingin raih. Madu kehidupan. Dan ia menemukannya di tempat yang sunyi, tanpa mata air dan tanpa pohon rimbun. Di sebuah sudut hutan itu. Dan di sudut gelap hutan itulah, ia mencecap madu. Semakin mencecap, tubuh dan sayapnya mulai berwarna, seperti dilukis semesta. Tubuhnya tak lagi serupa tubuh udang, tetapi berwarna coklat muda. Sayapnya tak lagi seperti sayap capung, tetapi mengguratkan warna kemuning dan kelamaan benar-benar menjadi kuning. Ia seperti terbangun dari mimpi. Ia adalah kupu-kupu kuning. Sang kupu-kupu transparan mulai sadar, bahwa ia tak bisa mengejar hasratnya kembali kepada kepompongnya. Tempat yang aman dan nyaman baginya, mungkin. Ia tak mungkin kembali ke masa lalunya, karena ia adalah kupu-kupu, bukan ulat bulu atau larva. Yang mesti ia cari adalah madu di sebuah bunga yang merekah. Dan melanjutkan hidup sebagai kupu-kupu kuning. *** Adam terbangun dari tidur dan mimpinya. Mimpi yang aneh, tentu saja. Mimpi yang basah karena keringatnya lagi-lagi bercucuran. Mimpi yang membuat cengkeramannya pada goa kegalauan perlahan terlepas. Dan sayapnya yang menangkup mulai mengembang. Dan ia adalah kelelawar yang sedang terbangun dari tidurnya. Di hadapannya masih ada dua foto dan dua pilihan. Fotonya bersama Dara di sebuah taman kota, dan foto kupu-kupu kuning hinggap di bunga matahari merekah, di sebuah majalah. Lalu pilihannya untuk mencari Dara sampai ketemu, atau menjalani hari-harinya seperti biasa. Adam tak bisa membohongi dirinya bahwa hasrat mencari Dara masih menggelora. Namun di saat yang sama ia sadar ia tak bisa ke mana-mana, karena ia harus merawat ibunya di rumah sederhana itu. Melalui mimpinya, ia sadar bahwa ia tak bisa kembali ke masa lalu. Pun sadar bahwa ia tak bisa sekadar mengumbar hasratnya mencari tempat yang mungkin serupa surga bagi dirinya. Hari mulai sore. Adam bangun. Membantu ibunya menyiram bunga. Memeluknya seolah itu adalah hari terakhirnya bertemu dengan ibunya. Ia seperti kembali menjadi anak bayi yang hinggap di dada ibunya untuk mencecap susu. Ia seperti kupu-kupu transparan dalam mimpinya yang mencecap madu lalu berubah warna. Ia mencintai ibunya. Ia mencintai hidupnya yang sederhana. “Adaaaaaam…. !!!” Suara teriakan seorang wanita memecah kesunyian sore itu. Adam dan ibunya bersama-sama menoleh kea rah suara itu. Suara yang berasal dari seorang wanita yang berlari setelah membuang tas jinjingnya. Berlari seperti hendak terbang… Lalu hingap mendekap Adam. Jantung Adam berhenti. Wanita itu adalah Dara. Memakai sweater abu-abu bergambar kangguru. Memeluk Adam tanpa ragu. Jantung Adam hampir meledak. “Dara, bagaimana kau bisa tahu rumah baruku?” Adam berbisik di telinga perempuan yang memeluknya. “Adam… Aku telah lama menunggu saat ini. Aku telah lama menanti saat aku bisa kembali. Aku salah satu editor di majalah itu. Kau tak tahu karena kau hanya memerhatikan halaman berisi foto-foto. Iya, kan? Dan aku tahu kau selalu mengirim foto-foto untuk dimuat di majalah. Kau juga menyertakan alamat lengkapmu di foto-foto kirimanmu. Aku sengaja tak memuat foto-fotomu. Aku menyimpannya di rumahku. Aku ingin memilikinya seorang diri.” Adam telah lama mencari Dara. Namun sore itu Daralah yang menemukan Adam. Di sebuah sudut kota yang sederhana. Ibu Adam menatap ke arah Adam dan Dara. Sejoli yang sore itu menjelma menjadi sepasang makhluk bersayap. Dara menjadi kupu-kupu transparan, Adam menjadi kelelawar transparan. Keduanya berpelukan makin erat dengan menangkupkan masing-masing sayapnya. Mereka tak perlu lagi mencari di mana surga, karena akhirnya mereka berdua merasakannya. “Dara, apakah aku di surga?” “Bukan kamu saja, Dam. Aku juga. Kita.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun