Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dengan Singkong Goreng Merajut Indonesia - antara Reportase & Opini

12 November 2013   19:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:15 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1384256759590701212

Prolog

Sebagai pecinta singkong, singkong goreng menjadi salah satu camilan terfavorit bagi saya! Dijuluki ‘anak singkong’ pun saya tak pernah keberatan, sebab saya menyukai segala jajanan berbahan singkong—singkong rebus, gethuk, sentiling, combro, misro, kolak, lemet, gatot, keripik, tape, dsb. Meski konon tanaman singkong/ubi kayu (Manihot utilissima) masuk ke Nusantara atas jasa bangsa Portugis, tapi entah kenapa berbagai makanan hasil olahannya terasa sangat Indonesia.

Sepiring Singkong Menghadirkan Keakraban

Dan, pada Sabtu 9 November 2013 lalu, makanan berjuluk singkong goreng yang mengindonesia itu telah turut memicu semangat keindonesiaan sekumpulan Kompasianer untuk melanjutkan impian “Merajut Indonesia”. Ya, siang itu telah terjadi obrolan seru dalam kopdar yang digagas menyusul terbitnya buku 36 Kompasianer Merajut Indonesia

Sejatinya, acara kumpul-kumpul di POEM Coffee itu terjadi atas kebaikan hati Mas Tomo (a.k.a Suwartomo) yang sekaligus ingin memperkenalkan “kafenya” sebagai tempat yang nyaman untuk mengobrol. Daripada bingung mencari tempat nongkrong, tak ada salahnya menjajal kafe & resto artistik yang digadang akan turut menghidupkan kawasan Melawai itu. Demikian Mas Tomo menyelipkan sedikit iklan. Hehehe… !!!

Atas iklan di atas, saya dan beberapa Kompasianer yang datang lebih dahulu pun—Pak Thamrin Sonata, Pak Isson Khaeirul, Bu Ngesti Setyo Murni nan cantik, Djoko Wardhono, Mbak Puri Areta, pasangan serasi Mbak Tytiek dan Pak Kelly Saputro, dan Jeng Indah Noing yang mengajak “tiga calon kompasianer”—sepertinya juga turut mengamini. Terlebih lagi usai kami mencicipi sajian singkong gorengnya. Lho, bagaimana ceritanya?

Sejak awal perjumpaan, sepertinya setiap orang sudah saling bersimpati satu sama lain seolah kami sudah lama berteman. Meski tulisannya berada dalam satu daftar isi, beberapa di antara kami belum pernah bertemu. Dengan beberapa teman lain saya bahkan belum kenal sama sekali—belum pula berteman di kompasiana.com. Tapi begitulah, kami langsung saja membaur tanpa sekat. Sembari menyeruput kopi atau lemon tea kami bercerita ngalor-ngidul dalam kehangatan nuansa kafe yang berpajang lukisan di setiap dindingnya. Obrolan berawal dengan pertanyaan standar, seperti nama dan akun di kompasiana.com, tempat tinggal, profesi, hingga keluarga dan aktivitas sehari-hari. Lalu seiring berjalannya waktu dan datangnya camilan singkong goreng pembicaraan pun berjalan semakin seru. Komentar dan tanggapan atas nikmatnya singkong goreng sekonyong-konyong menggiring obrolan semakin hangat dan akrab seolah semuanya sudah lama saling kenal.

Demikianlah, pertemuan yang sudah dimulai sejak pukul 11.30 WIB itu berlangsung mengalir tanpa agenda dan susunan acara. Apa pun yang terlintas kami obrolkan dengan antusiasme yang tinggi. Dan meski hanya duduk di kafe di kawasan Blok M, tapi obrolan kami melompat ke sana kemari melintasi batas kota dan provinsi. Topik pembicaraan mblusuk ke berbagai sudut Jabodetabek terutama di titik-titik di mana Kompasianer tinggal. Semarang sempat menjadi hot topic karena ternyata beberapa Kompasianer pernah melewatkan sepotong hidupnya di kota yang populer dengan wingko babat dan bandeng presto itu. Wilayah Bengkalis dan seputar Pekanbaru-Riau pun tak pelak disinggung karena Pak Djoko jauh-jauh datang dari sana. Pembicaraan bahkan melesat jauh melintasi benua Australia, ketika lewat penuturan yang sangat hidup Pak Thamrin menghadirkan sosok Pak Tjiptadinata Effendi, sebagaimana saya beberapa kali mendengar beliau bertutur tentang para Kompasianer lain yang sungguh bersemangat “merajut Indonesia” meski tinggal di luar negeri, seperti Bu Roselina, Mbak Gaganawati, Mbak Ely Yuliana, Bu Parastuti, juga Mbak Dewi Sumardi.

Sepotong Singkong Goreng, Sederet Ide Tulisan

Tak hanya mengakrabkan, setiap potongan singkong goreng nan gurih yang tergigit memunculkan sederet ide yang sontak berloncatan keluar. Tidaklah terlalu mengejutkan bila berbagai ide tulisan muncul bersahut-sahutan. Tema-tema segurih singkong goreng pun menanti untuk ditulis dengan harapan kelak bisa dipadukan dalam buku serial Merajut Indonesia. Ada ide untuk menuliskan budaya/tradisi yang nyaris punah, ada keinginan mengangkat tema tentang perempuan untuk ditulis para Kompasianer perempuan, ada ide untuk menilik sebuah kota dari sudut pandang khas setiap Kompasianer, dan banyak lagi. Sayang, kala itu konsentrasi saya sempat keluar dari topik diskusi karena begitu terpesona dengan keriuhan anak-anak Mbak Indah yang ganteng-ganteng dan cantik yang tiba-tiba saya bayangkan kelak—sepuluh atau lima belas tahun mendatang—juga akan menjadi Kompasianer. Hahaha… lamunan saya terlampau jauh menembus lorong waktu.

Saya pun mengingatkan diri bahwa saat ini yang terpenting bagi para Kompasianer adalah menuliskan dulu segala ide yang terlintas dan segera meninggalkannya sebagai jejak di kompasiana.com. Dan biarlah manfaatnya segera dipetik orang lain.Lebih afdol lagi jika kelak bisa dikompilasikan menjadi sebuah buku.Bagaimanapun ide tulisan hanya akan menjadi sepotong ide bila tak ditulis dan lalu dibaca orang lain. Hingga terbersit quote peninggalan Eyang Pramoedya Ananta Toer ini: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

[caption id="attachment_291824" align="aligncenter" width="574" caption="Singkong Goreng di POEM Coffee, Melawai (foto: Puri Areta)"][/caption]

Berbagi Lebih Nikmat dari Singkong Goreng

Pada dasarnya, Kompasianer adalah orang-orang yang memiliki kerelaan untuk berbagi. Lho bagaimana bisa? Bayangkan saja! Kok mau-maunya para Kompasianer itu bersibuk diri mengumpulkan referensi saat ingin menuliskan suatu tema/topik tertentu. Beberapa bahkan lembur hingga larut malam untuk menulisnya dan kemudian rela membayar biaya internet agar bisa meng-upload-nya ke kompasaiana.com. Apa yang mereka dapatkan? Tidak ada satu institusi pun yang akan membayarnya, bukan?

Begitulah yang saya tangkap dari sharing Pak Isson yang relatif panjang. Sambil mencomot singkong goreng dan mencocolkannya pada sambal, saya pun mengangguk-angguk tanda sepakat. Saya melirik ke kanan dan kiri dan mendapati sorot mata teman-teman lain yang rasanya juga menyatakan persetujuan. Nyatanya, berbagi itu memang indah! Dengan berbagi sebenarnya kita menolong dan menguntungkan diri sendiri. Tentu saja jika apa yang kita bagikan adalah hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain (bukan menyesatkan, pen.). Begitu sambung Bapak yang konon terkesan dengan teladan seorang Inggit Ganarsih—yang dengan cinta tulusnya memberi tanpa menerima—dalam novel Ramadhan KH bertitel “Kuantar ke Gerbang”. Kerelaan berbagi hendaklah menjadi mental setiap Kompasianer. Bagi saya prinsip itu terdengar sejalan dengan misi dibangunnya kompasiana.com yang diungkap Kang Pepih dalam buku “kompasiana Etalase Warga Biasa” yang pernah saya baca.

Demikianlah, Pak Isson dan Pak Thamrin serta beberapa Kompasianer lain yang telah banyak makan asam garam dunia terutama dunia penulisan tidak pelit membagikan ilmu mereka. Hal yang pantas dijadikan pegangan adalah bahwa semua benar-benar non-profit oriented. Kita menulis di kompasiana.com—termasuk menulis komentar—berawal dari keinginan untuk membagikan hal-hal yang bermanfaat dan mencerahkan bagi orang lain. Kalaupun kelak ada yang “bertransformasi” menjadi lembaran rupiah itu sekadar bonus, batin saya meyakinkan diri. Percayalah, berbagi lebih nikmat dari singkong goreng.

Singkong Goreng Habis, Tersisa Kesan Manis

Waktu senantiasa berjalan lebih cepat di saat kita berada dalam suasana gembira atau tengah menikmati sebuah perjumpaan mesra. Begitulah yang terjadi. Perlahan namun pasti singkong goreng di piring-piring pun telah habis berpindah ke perut kami. Demikian pula kawan-kawannya—pisang goreng tabur keju meses dan juga pizza—yang tak kalah lezat. Satu per satu Kompasianer pun harus undur diri karena tugas dan kepentingan lain. Saat jarum jam menunjuk angka 14.30 WIB sekonyong-konyong saya—tanpa mengurangi rasa hormat—mengingatkan Pak Djoko untuk segera pergi ‘mengejar’ bus ke bandara. Sebelumnya beliau bercerita harus check in pukul 16.55 WIB untuk penerbangan ke Semarang dalam rangka menengok buah hatinya. Setelah Pak Djoko pamit dan kami lepas dengan berat hati, obrolan pun kembali dilanjutkan. Namun tak berapa lama, saya pun harus berpamitan diikuti oleh Maria Margaretha.

Walaupun masih banyak yang ingin kami obrolkan tapi perpisahan memang tak terhindarkan. Kami pun bersalam-salaman dengan janji akan segera bertemu di dunia maya, lewat tulisan dan komentar di kompasiana.com, lewat pertemanan di facebook, ataupun lewat telepon/SMS dan berbagai sarana lain. Singkong goreng boleh habis tapi di hati tersisa kesan manis. Harapan berjumpa lagi tentulah ada, seperti harapan untuk bisa menulis bersama.

Epilog

"Perasaan Mbak Dwi nggak ngopi tapi nyingkong... haha... piss... makan singkong untuk lebih mencintai Indonesia! Jujur... singkong yang kemarin disajikan itu enak. Entah singkongnya... entah cara masaknya... !" Begitulah kurang lebih komen Pak DJoko (a.k.a. Masjokomu) di tulisan Pak Thamrin Sonata terkait woro-woro acara kongkow diPOEM Coffee. Hahaha… saya tersipu malu saat membacanya. Terbayangkan mungkin saja kemarin setiap kali saya mencomot singkong goreng selalu “tertangkap” oleh pengamatan Pak Djoko. Maaf Pak, namanya juga anak singkong! (@dwiklarasari)

Kereta Api Menoreh, 9 November 2013 NOTE: Foto dipinjam dari artikel reportase Mbak Puri Areta... :D

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun