Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Menyelisik Hasrat Penuh Cinta sang Penulis "Jejak Cinta"

16 Maret 2021   14:20 Diperbarui: 16 Maret 2021   15:09 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ning, morning! Aku mau cetak Jejak Cinta dalam versi bahasa Inggris ..."

Kira-kira demikian penggalan pesan WhatsApp dari penulis buku Jejak Cinta. Kabar yang sontak membuat saya semakin kagum pada sosok perempuan paruh baya itu. Saya yang sebelumnya dipercaya menyunting buku Jejak Cinta tersebut tentu ikut bahagia sekaligus bangga.

Jejak Cinta terbit secara mandiri pada Februari 2020. Pencetakan ulang dilakukan pada Mei 2020. Belum ada setahun ketika penulis menggaungkan hasratnya untuk menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris. Gokil nih! Mungkin begitu ekspresi generasi kiwari.

Saya benar-benar harus angkat topi lebih tinggi. 

Buku yang pernah direviu oleh Kompasianer Yohanes Budi dengan judul Napak Tilas Rintisan Pendidikan Perempuan di Indonesia ini berkisah tentang perempuan-perempuan tangguh yang rela meninggalkan zona nyaman demi misi pendidikan di "dunia primitif" bernama Hinda Belanda (kini Indonesia)  

Membicarakan Jejak Cinta selalu terasa aktual. Demikian halnya bila kita menyelisik hasrat sang penulis. Bahkan saat ini masih cukup relevan mengingat 8 Maret 2021 lalu diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women's Day).

***

Foto blurb pada kover belakang buku Jejak Cinta (dokpri)
Foto blurb pada kover belakang buku Jejak Cinta (dokpri)

Demikian blurb yang ditulis pada sampul belakang buku Jejak Cinta. Lewat "promosi singkat" tersebut pembaca diberi gambaran bahwa isi buku bukan sekadar ihwal kelahiran sebuah instansi pendidikan.

Buku bergenre sejarah dengan judul cukup romantis ini juga mengisahkan kehidupan tokoh-tokohnya sebagai pribadi-pribadi berkarakter. Pembaca disuguhi kisah-kisah heroik para pionir Ursulin Indonesia dipadukan aspek-aspek individual yang sangat manusiawi. 

Selain cinta dan pengorbanan, tersirat pula ketakutan maupun kekhawatiran. Kemarahan dan konflik juga menjadi sebuah keniscayaan.  

Narasinya menyertakan fragmen Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Situasi dan kondisi pendidikan, sosial budaya, ekonomi, juga pemerintahan. 

Termasuk di dalamnya terkait banyaknya anak-anak mestizo yang telantar tanpa pengasuhan. Anak-anak tersebut merupakan hasil perkawinan tidak sah antara orang-orang Eropa (kebanyakan tentara) dengan para nyai/gundik.  

Perkembangan kota serta keindahan arsitektur pun disajikan sedemikian rupa hingga menghadirkan gambaran riil kehidupan pada era kolonial tersebut. Tentang hal ini sejumlah peneliti dan tokoh arsitektur mengungkapnya dalam testimoni mereka. 

Di antaranya dari Prof. Totok Rusmanto, Guru Besar/ Dosen Sejarah Arsitektur FTA UNDIP, Semarang sekaligus Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Jawa Tengah. 

"Nama 'Ursulin' sangat populer di kalangan pemerhati kota dan pendidikan. Hasil penelusuran kesejarahan Ordo Santa Ursula yang disampaikan secara mengalir, diramu kisah perziarahan ke masa lampau, dan diperkaya foto/gambar historical menjadikan buku ini enak dibaca dan sesuai untuk berbagai kalangan." (Prof. Totok Rusmanto ~ Jejak Cinta, sampul belakang)

Beberapa bagian narasi dilengkapi ilustrasi arsitektur yang menarik (Jejak Cinta hlm. 125, 126, dan 165 - dokpri)
Beberapa bagian narasi dilengkapi ilustrasi arsitektur yang menarik (Jejak Cinta hlm. 125, 126, dan 165 - dokpri)

***

Menurut saya, memoar tentang rintisan pendidikan Ursulin di Indonesia ini layak dibaca oleh siapa pun. Terlebih lagi para biarawati penerus ketujuh pionir, juga mereka yang pernah bersentuhan dengan pendidikan Ursulin. Setidaknya para murid, guru, dan karyawan, juga segenap alumni di Nusantara maupun diaspora.

Ini bukan promosi lho! Namun, kisah dalam buku ini benar-benar istimewa. Selama proses penyuntingan saya menemukan banyak momen menakjubkan dalam misi yang dilakoni para perempuan belia pada zaman serba sulit. Tidak sedikit pula pelajaran berharga yang dapat dipetik. 

Bukan sekadar menghargai sejarah bangsa sebagaimana nasihat Bung Karno. Lebih dari itu, Jejak Cinta mengajak pembacanya 'belajar dari sejarah' seperti pernah digaungkan oleh jurnalis senior Suryopratomo. 

"Sejarah bukan dimaksudkan untuk membuat kita mengagung-agungkan masa lalu, tetapi agar kita sadar akan akar kita, dari mana kita berasal, tahu nilai yang kita jalani dan perjuangkan. Setiap kita kehilangan arah atau orientasi, sejarah itulah yang membimbing kita kembali ke jalur perjuangan yang dituju." (Suryopratomo)

Sejumlah biarawati-termasuk dari ordo-ordo lain-yang saat ini masih aktif berkarya tampaknya juga setuju akan "pembelajaran" yang dapat dipetik dari Jejak Cinta. Salah satunya adalah Sr. Vero Andayani, OSU yang dalam testimoninya mengajak "para kolega" untuk membaca memoar bersampul biru ini.  

"Buku ini adalah wujud syukur dan bhakti seorang alumni sekolah Ursulin yang mengalami sentuhan 'jejak cinta' para pendahulu saya. Sebagai pehobi fotografi ia mampu mengambil "angle" cantik dalam "memotret" perjalanan iman pemberian diri para suster Ursulin dalam merintis karya pendidikan di Indonesia. Wajib dibaca dan perlu bagi siapa pun yang ingin melanjutkan bhakti bagi Gereja, bangsa, dan kemanusiaan." (Sr. Vero Andayani, OSU ~ Jejak Cinta, sampul belakang)

***

Jadi, tidaklah berlebihan bila lewat catatan ini saya mengapresiasi sang penulis. Sempat terlintas dalam benak, gelem-geleme 'kok mau' dia menulis dan menerbitkan buku ini atas usaha dan biaya sendiri yang relatif mahal.

Penulisan Jejak Cinta: Perjalanan Ursulin Merintis Pendidikan Putri di Jawa Abad ke-19 diawali dengan riset yang cukup mendalam. Selain "bermodal" referensi yang dimiliki atau mengakses dari sumber-sumber lokal, penulis juga memburu sejumlah arsip dan jurnal hingga ke Singapura, Australia, dan Belanda.

Selain bersusah payah menelusuri naskah dan foto-foto kuno, penulis pun melakukan perziarahan secara pribadi. Ia menyambangi sejumlah situs bersejarah serta museum yang menyimpan memorabilia terkait misi serta biografi tujuh pionir Ursulin dan sejumlah penerusnya. Tidak hanya di Jakarta, Surabaya, dan Malang, tetapi hingga Belanda dan Belgia. 

Secara khusus ia menjelajahi Sittard, kota kecil di Belanda dari mana para pionir Ursulin berasal. Ia datangi bekas rumah tempat biarawati idolanya melewatkan masa kecil. 

Ia jejakkan kaki di gereja tempat para suster menghunjukkan doa-doa sebelum misi ke Hindia Belanda; dan ia ziarahi pula 'Ursulinen Tuin' kompleks makam para suster Ursulin. Ia bahkan menginap di hotel bekas Asrama Ursulin di mana para suster pernah berkarya.

Sementara di Hazelt, Belgia ia menziarahi makam Mgr. Petrus Maria Vrancken. Dialah Vikaris Apostolik Batavia yang menginisiasi misi pendidikan sekaligus mengundang para suster Ursulin dari Sittard untuk berkarya di Batavia.

Aih, seru banget!  

Napak Tilas sang penulis (Jejak Cinta hlm. 3, 9, dan 21 - dokpri)
Napak Tilas sang penulis (Jejak Cinta hlm. 3, 9, dan 21 - dokpri)

Uniknya, beberapa kali sang penulis mengalami semacam deja vu. Di antara tumpukan naskah kuno dan kunjungan ke sejumlah makam, gereja, dan bangunan tua, ia merasa sedang berada dalam masa kehidupan para pionir pada abad ke-19. Boleh jadi karena efek deja vu pula segenap jiwa penulis seakan-akan "ikut terlibat" dalam Jejak Cinta.

Sejarawan berdarah Inggris Prof. Dr. Peter Carey, DPhil, MA dalam kata pengantar tampaknya menggarisbawahi hal tersebut.

"Tulisan Connie Lianto yang mengalir, bertutur seperti sebuah buku harian yang mengisahkan perziarahan menuju kepada Sang Sumber, menghidupkan kembali perjalanan spiritual pelayanan para suster Ursulin di Jawa yang berawal dari akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20." (Prof. Dr. Peter Carey, DPhil, MA ~ Jejak Cinta, hlm. xxv)  

Napak tilas penulis di Hotel Merici, bekas Asrama Ursulin di Sittard, Belanda (Jejak Cinta hlm. 16-17, dokpri)
Napak tilas penulis di Hotel Merici, bekas Asrama Ursulin di Sittard, Belanda (Jejak Cinta hlm. 16-17, dokpri)

***

Saya benar-benar tidak habis pikir saat mendengar alasan sang penulis menerbitkan memoar ini. Menurut pengakuannya, Jejak Cinta merupakan ungkapan rasa syukur dan terima kasihnya sebagai seorang alumnus kepada para pionir Ursulin.

Takbisa dimungkiri para biarawati Ursulin telah berjasa membangun pondasi pendidikan bagi anak-anak perempuan di Indonesia-dalam perkembangannya sejumlah sekolah juga menerima siswa laki-laki. 

Jika dihitung dari tahun 1856, entah sudah berapa banyak anak yang turut menikmati pendidikan ala Ursulin.

Penulis sendiri pernah mengenyam pendidikan di SMA Regina Pacis, Surakarta, sekolah swasta yang dikelola oleh suster-suster Ursulin di bawah Ordo Santa Ursula (OSU).  

Latar pendidikan tinggi penulis adalah komputer/IT, dan ia bekerja di bidang hospitality. Tanpa pernah memiliki pengalaman menerbitkan buku, ia berhasil menulis buku setebal 304 halaman. Jejak Cinta adalah karya perdananya. Modal terbesarnya adalah hasrat penuh cinta sebagai alumnus sekolah Ursulin.

Luar biasa!

Sejumlah rekan dalam komunitas alumni turut mengapresiasi. Tak kurang pula Pucky Pringgosisanto, Ketua Alumnarum Ursulae Societas Sanctae Internationalis/AUSSI 2019-2022 turut menyatakan kekagumannya.  

"Saya kagum ada alumni sekolah Ursulin dengan sepenuh hati menelusuri awal perintisan karya Ursulin di Indonesia. Membaca karya ini akan mendorong segenap alumni tetap setia pada ajaran serta nilai-nilai yang ditanamkan para suster Ursulin dan berpegang teguh pada SERVIAM sebagai bekal dalam hidup bermasyarakat." (Pucky Pringgosisanto ~ Jejak Cinta, sampul belakang) 

Connie Lianto (saya menyapanya Mbak Connie), demikian nama penulis memoar Jejak Cinta tersebut. Perempuan kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat ini kebetulan adalah sahabat kakak saya-yang kemudian juga menjadi sahabat keluarga.

Perjumpaan fisik kami terjadi ketika Mbak Connie hadir dalam misa peringatan arwah untuk mendiang ibu saya tahun 2019. Saya merasa lebih dekat saat mengetahui hari ulang tahunnya sama persis dengan mendiang ibu saya. Kebetulan yang unik!

Suatu hari di tahun 2017, Mbak Connie menelepon dan menceritakan niatnya menerbitkan buku. Ia mengaku sudah menulis naskah yang cukup panjang. Lantas, ia meminta saya untuk mereviu serta memberi saran jika naskah tersebut hendak diterbitkan.

Saya terpana ketika membaca draft setebal 159 halaman atau sekitar 300 ribu karakter, padahal itu baru sebagian. Naskah sejarah abad ke-19. Alamak! Selama ini saya hanya pernah menyunting buku Pelajaran Sejarah tingkat SMP/SMA. Itu pun dalam posisi sebagai penyelaras akhir.

Beruntung saya sempat mengikuti Peningkatan Kompetensi Teknis bagi Penulis Sejarah yang diadakan oleh Kemdikbud, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Sejarah. Saya pun menjadi lebih yakin untuk membantu Mbak Connie mewujudkan mimpinya. 

Meskipun didasarkan pada hasil survei lapangan dan riset atas sejumlah literatur, boleh dibilang naskah yang ada belum terstruktur. Selain mereviu komposisi konten, saya juga membuat catatan terkait tema, kerangka tulisan, gaya bahasa, teknik penulisan, dan sejumlah hal teknis lain.

Singkat cerita kami pun bertemu. Saya mempresentasikan reviu dan menawarkan kerja sama penyuntingan naskah agar layak ditawarkan ke penerbit mayor. Namun, ternyata Mbak Connie ingin menerbitkan naskahnya secara mandiri. Wow, siap!

Proses penulisan dan penyuntingan Jejak Cinta harus melewati cukup banyak kerikil dan batu sandungan serta ombak masalah. Baik dari pihak Mbak Connie maupun saya, secara fisik maupun psikis. Misalnya, ketika Mbak Connie ditelan kesibukan kerja atau saat laptop saya mendadak harus mondok di "rumah sakit" cukup lama.

Mbak Connie yang movable dan saya yang nomaden juga membuat diskusi pun harus dilakukan di mana saja memungkinkan. Entah di Jakarta, Semarang, Solo, ataupun di "udara" lewat kecanggihan internet.

Beruntung sejak awal di antara kami sudah terbangun chemistry. Kebetulan pula kami memiliki antusiame yang sama, minimal sebagai sesama perempuan yang bersemangat mengoprek sejarah para perempuan hebat.

***

Selama proses pengerjaan Jejak Cinta, saya menangkap banyak hal positif terkait kepenulisan Mbak Connie. Setidaknya ada empat hal utama dalam dirinya yang sangat menginspirasi. Karena alasan itu pula saya menulis catatan kecil ini dan membagikannya.

Pertama, menulis dengan keinginan kuat (hasrat) sekaligus penuh cinta. 

Bagaimanapun bukan perkara gampang untuk mengulik sejarah ordo religius perempuan Katolik tertua di Nusantara ini. 

Di antara kesibukan kerja dan kebersaman dengan keluarga, Mbak Connie rela meluangkan waktu, tenaga, dan biaya untuk menulis. Hanya demi mengekspresikan cinta dari lubuk hati terdalam untuk sekolah Ursulin yang pernah mendidiknya.

Kedua, ketekunan mengumpulkan serta memverifikasi data dan informasi.

Mbak Connie adalah pencinta sejarah yang memiliki sifat keingintahuan sangat besar. Di sisi lain, ia juga periset handal sekaligus pribadi yang pantang menyerah. 

Saya sempat tercengang manakala mendapati penulis yang juga pehobi fotografi itu sibuk menggunakan kaca pembesar untuk memastikan informasi dalam foto-foto lawas.      

Ketiga, memiliki sikap mental "nothing to lose". 

Dalam melahirkan Jejak Cinta, Mbak Connie tidak dibebani oleh ambisi untuk mendapat label ataupun penghargaan-dalam konteks kepenulisan atau yang lain. 

Tidak pula dibebani target finansial. Ia hanya fokus pada tujuan utama, yaitu mengulas kisah pengorbanan dan perjuangan luar biasa dari para pionir perintis pendidikan ala Ursulin. Ia ingin menyajikan memoar yang layak dijadikan pengingat sekaligus pembelajaran.  

Keempat, membawanya dalam doa. 

Saya menangkap betapa Mbak Connie membawa proses pengerjaan Jejak Cinta ke dalam doa-doanya. Jika Tuhan berkenan pasti selalu ada jalan untuk setiap masalah yang dihadapi. Ia juga "meminta restu" dari para pionir dan penerusnya melalui doa dalam setiap perziarahan ke makam mereka.    

Boleh jadi karena empat keutamaan tersebut, semesta pun sungguh memberi dukungan. Datangnya sponsor perjalanan ke Eropa; terbukanya pintu-pintu biara Ursulin menerima kehadirannya; juga bantuan penerjemahan jurnal atau arsip berbahasa Belanda atau Prancis. Bahkan, sejumlah sosok yang baru dikenalnya di dunia maya dengan ringan hati mengulurkan bantuan.

Semesta juga mendukung dalam bentuk doa serta dorongan semangat, terutama dari keluarga dan para sahabat. Tak kurang pula apresiasi yang diberikan oleh sejumlah biarawati dan para petinggi Ursulin Indonesia.

Tidak berlebihan bila dalam pengantarnya KRMH Daradjadi Gondodiprojo, sejarawan sekaligus penulis buku Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC memberikan catatan penting perihal sosok penulis.

"Sebagai catatan, saya perlu memberikan apresiasi kepada penulis. Kendati tengah belajar menulis sejarah secara autodidak, tetapi sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisannya tersaji sangat luar biasa. Riset lapangan terhadap sumber primer bahkan dilakukannya hingga di lokasi di mana sejarah Ursulin Indonesia berawal. Berbagai buku yang memiliki sumber akurat juga telah berhasil dihimpunnya untuk dijadikan referensi. Sungguh beruntung buku ini boleh ada di tangan kita." (KRMH Daradjadi Gondodiprojo ~ Jejak Cinta hlm. xxiv)

Semua yang dimulai dari cinta; yang digarap serta dibagikan dengan penuh cinta; semestinya akan meninggalkan jejak cinta. Demikian harapan sang penulis yang patut dicatat.    

Kompilasi tangkapan layar #jejakcintachallenge di Instagram Connie Lianto (dokpri)
Kompilasi tangkapan layar #jejakcintachallenge di Instagram Connie Lianto (dokpri)

"Saya berharap terbitnya buku ini akan meninggalkan jejak dari sepotong cinta yang sangat hakiki dan universal. Cinta Tuhan bagi umat manusia; cinta para pionir/pendahulu Ursulin bagi ladang misi hingga rela berkorban demi menghadirkan pendidikan putri di bumi Nusantara; cinta semua pihak yang sepenuh hati mendukung saya; cinta saya kepada orang-orang yang menyuguhkan pengalaman hidup dari berbagai aspek. Akhirnya, hanya kekuatan cinta yang akan memampukan segalanya." (Connie Lianto ~ Jejak Cinta, hlm. xxx)

Proficiat Mbak Connie! Terima kasih atas semangat kepenulisan yang menginspirasi kaum perempuan di mana pun, khususnya perempuan Indonesia. Sukses selalu untuk rencana penerbitan Passage of Love-versi bahasa Inggris untuk Jejak Cinta.

Akhir kata, kisah dalam buku Jejak Cinta dan inspirasi kepenulisannya tampak sesuai dengan tema Hari Perempuan Internasional 2021 "Choose to challenge". 

Kita kaum perempuan diajak untuk berani mengambil pilihan dan tantangan. Apakah Anda sepakat bila saya katakan bahwa salah satu tantangannya adalah terus menginspirasi lewat literasi?

Depok, 16 Maret 2021
Salam Literasi, Dwi Klarasari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun