Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Yuk, Upayakan 3 Hal Ini untuk Mengurangi Sampah Makanan!

20 Desember 2020   22:20 Diperbarui: 21 Desember 2020   19:38 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cara bijak mengelola makanan dalam kehidupan sehari-hari (Sumber: www.picabay.com)

Bapak: Dimin... Dimin... kowe lagi opo? (Dimin... Dimin... kamu sedang apa?)

Dimin: Saweg nedho Pak! (Sedang makan, Pak!)

Bapak: Saben tak timbali kok kowe lagi mangan. Opo wetengmu kui weteng karet? (Setiap kali Bapak panggil kok kamu sedang makan. Apa perutmu itu perut karet?)

Dimin meneng wae (Dimin hanya terdiam).

Percakapan antara Dimin dan bapaknya tersebut merupakan terjemahan aksara Jawa yang dihafal seorang kerabat pada masa sekolah dasar. 


Mengingat usia beliau, buku pelajaran bahasa Jawa yang dipakai tampaknya lahir sebelum era "Ini Ibu Budi".

Saya suka melantunkannya dengan berirama sehingga terdengar lucu. Namun, di balik kelucuannya percakapan singkat tersebut menyimpan sebuah kebijaksanaan. Semacam satir, begitu.  

Bapak Dimin yang keheranan karena selalu mendapati anaknya sedang makan menyebut perut Dimin sebagai "perut karet" yang mudah mulur sehingga sanggup menampung banyak makanan. Diamnya si Dimin menjadi sebuah permenungan mendalam.

Tak bisa dimungkiri bila ada banyak orang yang menikmati makanan hanya untuk memenuhi keinginan mulut. Makanan yang terasa maknyus di lidah memang acap kali mendorong seseorang untuk nambah lagi, lagi, dan lagi hingga mengabaikan perutnya yang mungkin sudah kekenyangan.

Ada pula yang memburu makanan hanya karena "lapar mata", demi mengikuti tren kuliner serta  memperbarui status atau konten medsos. Boleh jadi semua makanan yang sudah dibeli tidak dimakan atau tidak habis dimakan, dan harus berakhir di tempat sampah.

Sebagian melakukannya tanpa rasa bersalah. Bahkan, dengan enteng berdalih. 'Rapopo kanggo tombo pengin (Tak apalah buat pengobat rasa pengin)' atau 'Ah, yang penting sudah difoto dan diunggah ke medsos daripada disangka gak kenal kuliner kekinian, kudet, kamseupay' dan berbagai alasan lain.

Kurangnya penghargaan terhadap makanan telah melanda sebagian anggota masyarakat di berbagai belahan dunia. Secara langsung maupun tidak hal tersebut berpotensi membuat makanan tersia-sia dan dengan mudah akan berakhir di tempat sampah.

Ilustrasi: modernfarmer.com
Ilustrasi: modernfarmer.com

Bersyukur tiga minggu belakangan ini-melalui renungan Aksi Adven Pembangunan (AAP)-saya diingatkan untuk menghindari tabiat hedonisme. 

Kebetulan pula tema yang diusung oleh Gereja Keuskupan Bogor adalah Natal: Paradima Baru terhadap Makanan.

Kami diajak untuk merefleksikan sejumlah kisah sesuai tema, baik dari Kitab Suci maupun kisah kehidupan orang-orang yang layak diteladani. Melalui pertemuan yang dilakukan secara virtual, kami juga saling berbagi pengalaman sehari-hari.

Lewat artikel ini saya ingin berbagi hasil renungan dan diskusi kami dalam AAP tersebut, dan berharap dapat memberikan inspirasi. 

Ada 3 hal yang dapat diupayakan agar kita dapat lebih menghargai makanan serta mengurangi sampah makanan.

Pertama, menyadari bahwa makanan adalah  berkat Tuhan. Kedua, memahami sampah makanan sebagai masalah keseharian. Ketiga, bijaksana mengolah dan mengelola makanan.

1. Menyadari Makanan adalah Berkat Tuhan

Alkisah, Bunda Teresa pernah diludahi dan menerima hinaan seorang pemilik toko roti. Kenapa? Karena ia meminta roti sisa yang tidak terjual untuk diberikan kepada gelandangan dan orang miskin.

Alih-alih marah atau sakit hati, sebelum pergi Bunda Teresa justru berlutut mendoakan agar si pengusaha berkelimpahan berkat.

Ajaib! Mendengar doa Bunda Teresa, tergeraklah hati pemilik toko roti itu. Keesokan harinya ia mengirimkan roti 'fresh from the oven' dalam jumlah banyak kepada Bunda Teresa. Roti itu juga berasal rekan-rekannya sesama pemilik toko roti yang tergerak setelah mendengar kisahnya. Hari itu para gelandangan dan orang-orang miskin pun bersukacita karena dapat menikmati makanan.      

Dalam kehidupan sehari-hari sebagian orang beranggapan bahwa kemampuan membeli makanan semata-mata hasil kerja/usahanya. Sama sekali tak berhubungan dengan religiositas.

Akibatnya, mereka merasa bebas untuk menikmati ataupun membuangnya. "Saya beli makanan pakai uang hasil usaha sendiri. Jadi, mau menghabiskan makanan atau tidak itu hak saya!" Demikian kira-kira kilah yang terlontar.

Banyak orang kerap lupa bahwa sejatinya makanan merupakan berkat dari Tuhan. Salah satu tanda syukur pada Tuhan adalah memanfaatkan berkat tersebut sebaik-baiknya. Bukan saja untuk diri sendiri, tetapi juga bagi kemaslahatan banyak orang.

Menyisakan atau membuang makanan merupakan tabiat buruk dan mencerminkan pribadi yang cenderung tidak mensyukuri berkat Tuhan. Padahal, banyak orang miskin yang tidur dalam keadaan kelaparan. Demikianlah, simpulan untuk renungan hari pertama.

Ilustrasi: countercurrents.org
Ilustrasi: countercurrents.org

2. Memahami Sampah Makanan sebagai Masalah Keseharian

Dalam pidato Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun 2013, Paus Fransiskus mengecam kebiasaan membuang makanan. Tampaknya teguran itu relevan pada siapa pun.

"Budaya membuang makanan membuat kita kehilangan kepekaan. Kebiasaan ini sangat menjijikkan di saat banyak orang dan keluarga di seluruh dunia masih kelaparan dan kekurangan gizi ...  Konsumerisme membuat kita terbiasa melihat sisa makanan yang dibuang, yang menurut kita tak bernilai ... Membuang makanan tak ubahnya mencuri makanan dari meja orang miskin dan kelaparan."

Demikianlah, budaya hedonisme sering kali juga tampak dalam kebiasaan makan. Tak sedikit orang yang makan atau membeli makanan hanya karena keinginan sesaat. "Lapar mata", "lapar mulut", demi konten/status di medsos, dan sebagainya.

Ketika menghadiri jamuan prasmanan, saya acap kali merasa miris bila mendapati tamu mengambil banyak sekali makanan, tetapi tidak menghabiskannya. Alasan seperti 'saya sudah kasih amplop, boleh dong ambil makanan sesuka hati' terdengar sangat menyedihkan.  

Seorang pengusaha katering yang turut dalam renungan mengakui dirinya pun kerap merasa sedih bila menemukan banyak makanan/minuman tersisa dalam mangkuk, piring, atau gelas.

Sisa makanan dalam piring jamak dijumpai dalam acara pesta atau jamuan makan (Ilustrasi: modernfarmer.com)
Sisa makanan dalam piring jamak dijumpai dalam acara pesta atau jamuan makan (Ilustrasi: modernfarmer.com)

Konon, survey Exonomist Intelligence Unit tahun 2017 mencatat bahwa setiap tahun masyarakat Indonesia membuang sekitar 300 kilogram makanan layak konsumsi.  

Sejatinya sampah makanan tercipta bukan saja karena tiadanya penghargaan atas makanan, tetapi juga kurangnya empati atas kerja keras orang lain. Untuk itu perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa di balik makanan yang tersaji terdapat kerja keras banyak orang---petani, nelayan, peternak, pedagang sayur, dan banyak lagi. 

Lantas, kami pun mengudar refleksi terkait upaya meminimalkan sampah makanan. Berikut sejumlah pendapat dari peserta dalam pertemuan ke-2 tentang upaya yang dapat dilakukan secara individual, dalam keluarga atau komunitas, dan di lingkungan masyarakat.    

  1. Dalam jamuan prasmanan, ambil makanan secukupnya dan makanlah tanpa meninggalkan sisa, kecuali duri dan tulang belulang tentu saja.  
  2. Bila makan jamuan nasi kotak, berikan lauk yang tidak disukai kepada teman. Misalnya, yang vegetarian bisa memberikan ayam gorengnya kepada teman lain.  
  3. Bila makan di restoran, pesan makanan dengan porsi sesuai kemampuan perut.
  4. Belilah hanya makanan yang memang disukai dan hendak dimakan.
  5. Hindari membeli makanan hanya karena "lapar mata" atau "keinginan sesaat". Misalnya, menahan diri untuk makan di luar jika di rumah sudah tersedia makanan. Mungkin makan di luar bisa dijadwalkan lain hari.
  6. Jika memasak berlebih, berbagilah dengan sanak keluarga dan tetangga.

Silakan ambil yang Anda inginkan, tetapi habiskan semua yang telah Anda ambil (Ilustrasi: www.idlehearts.com)
Silakan ambil yang Anda inginkan, tetapi habiskan semua yang telah Anda ambil (Ilustrasi: www.idlehearts.com)

3. Bijaksana Mengolah dan Mengelola Makanan

Selain makanan matang yang tersisa, sampah makanan juga tercita dari bahan mentah (sayur mayur, ikan, daging, dll.) yang terbuang. 

Setiap orang berpotensi menghasilkan sampah makanan karena perilaku yang kurang bijaksana atau kurang peduli.

Dalam diskusi dan berbagi pengalaman pada pertemuan ke-3, saya mencatat beberapa perilaku yang dapat diupayakan untuk menghindari atau meminimalkan makanan yang terbuang.

  1. Berbelanjalah dengan bijak, sesuai kebutuhan bukan karena termakan iklan/promo.
  2. Ketahui cara memilih dan menyimpan bahan mentah (sayur mayur, buah-buahan, daging, ikan, dll.) sehingga tidak mudah busuk.
  3. Ketahui cara memanfaatkan bahan makanan semaksimal mungkin. Misalnya, daripada dibuang ternyata kulit buah naga dapat digoreng sebagai camilan, dibikin oseng-oseng, atau diolah menjadi minuman.
  4. Manfaatkan kulkas dengan baik dan benar. Simpan makanan dan bahan mentah pada suhu yang tepat; tandai masa kedaluwarsa; dan rutin melakukan pengecekan.
  5. Kuasai keterampilan memperkirakan jumlah bahan mentah dan porsi makanan yang dimasak agar sesuai jumlah anggota keluarga.
  6. Memasaklah dengan hati-hati. Jangan sampai gosong, tumpah, atau jatuh sehingga makanan harus dibuang.
  7. Biasakan memasak secukupnya makanan yang disukai oleh anggota keluarga.
  8. Kuasai keterampilan mengolah makanan dan/atau bahan makanan "sisa" yang masih layak. Misalnya, sisa nasi makan malam dibuat nasi goreng untuk sarapan.   

Nasi semalam bisa diolah menjadi nasi goreng untuk sarapan (Ilustrasi: Adelia Rosalinda -- pixabay.com)
Nasi semalam bisa diolah menjadi nasi goreng untuk sarapan (Ilustrasi: Adelia Rosalinda -- pixabay.com)

Olahan kulit buah naga (Ilustrasi: IG @rera_justa dan Aurelia SS)
Olahan kulit buah naga (Ilustrasi: IG @rera_justa dan Aurelia SS)

Baca juga: Lentho Tempe Semangit, Kuliner Unik Kurangi Sampah Makanan

Demikianlah 3 hal pokok yang dapat diupayakan untuk lebih menghargai makanan dan mengurangi sampah makanan. Ketiganya menjadi wujud nyata dari upaya menciptakan "Paradigma Baru terhadap Makanan".

Yuk, kita buat resolusi #Notwastingfood 'tidak menyisakan atau membuang makanan' mulai dari diri sendiri dan keluarga! Selamat menyongsong Natal bagi yang merayakan dan Tahun Baru 2021 bagi kita semua!

Depok, 20 Desember 2020
Salam literasi, Dwi Klarasari
Sumber bacaan:   1  |  2  |  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun