Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Kerendahan Hati dari Arena Debat

17 September 2012   17:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Debat kandidat cagub & cawagub DKI Jakarta yang disiarkan secara langsung oleh MetroTV 16 September 2012 y.l. masih terasa hangatnya. Meski sejujurnya tidak menyukai politik—karena selalu sulit memahami siapa yang benar dan bisa dipercaya—saya mengikuti juga acara tersebut. Entahlah, Pemilukada DKI kali ini telah menarik minat saya, bahkan meski saya tidak memiliki hak pilih di sana. Mungkin saya tertarik karena ada satu pasangan yang cukup fenomenal. Pada kenyataannya, debat “Final Round” itu memang cukup seru. Sejak ditayangkan hingga hari ini, berita dan komentar mengenai debat tersebut masih saja bertebaran.

Saya sendiri bukan dalam kapasitas menilai, namun hanya ingin menyampaikan sedikit pendapat. Selain Pak Nara yang sempat menampilkan kesan rasis saat bertanya pada Pak Ahok, dalam pandangan saya ada satu sesi yang berjalan kurang indah, yaitu sesi penutup di mana kedua calon diminta untuk menyebutkan kelebihan calon lain. Meskipun itu adalah ajang debat antara dua kubu yang bersaing memperebutkan simpati, seharusnya sesi penutup itu bisa menjadi sesi pendinginan yang menyatukan sebagai satu bangsa. Tapi nyatanya itu tidak terjadi.

Saat Bang Foke menyebutkan “kelebihan-kelebihan” Pak Jokowi, saya tidak terlalu terkejut. Menilik sikap-sikapnya selama ini—yang tertangkap di televisi ataupun media massa—saya bahkan sudah menebak bahwa beliau akan berat menyebutkan kelebihan pihak lawan. Menurut saya, bukan karena tidak mengetahui kelebihan lawannya, melainkan karena memang beliau tidak ingin mengatakannya. Mungkinkah ada ketakutan bahwa “pujiannya” bisa membuat para penonton di studio dan jutaan pasang mata di luar sana semakin suka atau menjadi jatuh cinta pada sosok pesaingnya? Ah, entahlah, ini hanyalah sebuah praduga. Tapi begitulah jadinya, Bang Foke dengan lugas dan tegas justru menyampaikan sebuah sindiran dan bukan pengakuan atas kelebihan sosok lawan.

Sikap Bang Foke tidak terlalu meresahkan, karena saya memang tidak mengidolakan beliau. Sebaliknya, saya justru kecewa dan menyesalkan pernyataan Pak Jokowi mengenai “kelebihan” lawannya. Sungguh sangat disayangkan bahwa pernyataan beliau pun tidak jauh dari sebentuk kalimat sindiran. Keramahan dan sikap rendah hati yang selama ini ditunjukkan Pak Jokowi rasanya menjadi sedikit luntur. Bagaimanapun, mau mengakui kelebihan orang lain adalah bagian yang seharusnya tak terpisahkan dari kerendahan hati. Sepertinya, Pak Jokowi telah terbawa dalam arus emosi dan kurang bersahabat yang ditebarkan oleh pasangan lawan. Seandainya saja Pak Jokowi tidak melantunkan sindiran balasan untuk kubu lawan maka—menurut saya—sempurnalah kemenangan Jokowi-Ahok di panggung debat tersebut.

Demikianlah, mungkin kita bisa belajar tentang kerendahan hati dari ajang debat tersebut. Konon hanya orang yang memiliki kerendahan hati yang mau mengakui kelebihan dan prestasi orang lain. Seburuk apa pun seseorang, tentulah masih ada setitik kelebihannya. Tak ada salahnya kita berikan pengakuan kalau pun berat mengucap sebuah pujian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun