Pendahuluan
Perdebatan mengenai legalisasi ganja medis semakin hangat diperbincangkan di Indonesia, baik di ruang-ruang akademik, legislatif, maupun media sosial. Topik ini bukan hanya sekadar wacana kontroversial, tetapi sudah menyentuh ranah kesehatan publik, hak asasi manusia, serta arah kebijakan narkotika nasional. Di satu sisi, ganja (Cannabis sativa) mulai mendapatkan perhatian dari kalangan medis karena sejumlah riset menunjukkan bahwa senyawa aktif di dalamnya, khususnya cannabidiol (CBD), memiliki manfaat terapeutik. CBD telah terbukti membantu meredakan kejang pada penderita epilepsi, mengurangi nyeri kronis, meringankan efek samping kemoterapi seperti mual dan muntah, bahkan menunjukkan potensi dalam mengatasi gangguan kecemasan dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
Namun di sisi lain, ganja masih menimbulkan kekhawatiran yang besar, terutama karena kandungan senyawa tetrahidrokanabinol (THC) yang bersifat psikoaktif dan dapat menyebabkan euforia hingga ketergantungan jika dikonsumsi secara tidak terkendali. Hal inilah yang menjadi dasar utama pemerintah Indonesia menempatkan ganja dalam kategori narkotika golongan I, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang menyatakan bahwa narkotika golongan I adalah zat yang “Berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan dan tidak memiliki nilai guna medis yang sah.” Akibat klasifikasi ini, segala bentuk kepemilikan, penggunaan, maupun penelitian terhadap ganja sangat dibatasi dan dilarang, termasuk untuk tujuan medis.
Kondisi ini menciptakan dilema moral dan etik yang cukup pelik: di saat dunia mulai membuka ruang untuk pemanfaatan ganja sebagai bagian dari pengobatan alternatif berbasis bukti, Indonesia justru masih memposisikannya dalam kerangka kriminalisasi penuh. Padahal, berbagai negara seperti Kanada, Australia, Jerman, Israel, dan sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat telah mengadopsi sistem regulasi ganja medis yang ketat dan berbasis medis tidak untuk melegalkan penyalahgunaan, tetapi untuk mengatur pemanfaatannya secara bertanggung jawab dan ilmiah.
Lebih jauh, beberapa kasus di Indonesia telah menjadi sorotan nasional, seperti perjuangan seorang ibu yang ingin mendapatkan akses ganja medis untuk anaknya yang menderita epilepsi berat, namun terhambat oleh regulasi yang kaku. Kasus ini menggugah banyak kalangan, terutama mahasiswa, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil, untuk mendorong pembaruan kebijakan narkotika nasional agar lebih berpihak pada hak atas kesehatan.
Dengan begitu banyaknya studi ilmiah yang mendukung potensi medis ganja, muncul pertanyaan penting: Apakah kita akan terus menutup diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, atau mulai merumuskan pendekatan yang lebih bijak, berbasis bukti, dan tidak terjebak dalam stigma masa lalu? Inilah saatnya publik, khususnya generasi muda dan akademisi, turut aktif dalam membangun diskursus yang objektif, ilmiah, dan solutif. Ganja bukan hanya simbol perlawanan terhadap status quo, tetapi juga cerminan bagaimana kebijakan negara menanggapi dinamika antara ilmu pengetahuan, kebutuhan kesehatan masyarakat, dan upaya mencegah penyalahgunaan narkotika.
Fakta dan data yang valid
Ganja, selama ini lebih dikenal sebagai tanaman kontroversial karena efek halusinogeniknya, ternyata menyimpan potensi besar dalam dunia medis. Salah satu senyawa yang paling banyak dikaji dari tanaman ini adalah cannabidiol (CBD), yang berbeda dari THC (tetrahidrokanabinol) karena tidak bersifat psikoaktif. Artinya, CBD tidak menyebabkan efek “nge-fly” atau ketergantungan layaknya ganja yang digunakan secara rekreasional. Justru sebaliknya, CBD kini banyak dikembangkan dalam bentuk obat karena terbukti secara ilmiah memiliki efek terapeutik, terutama untuk mengurangi kejang pada penderita epilepsi yang tidak bisa ditangani dengan pengobatan biasa.
Studi yang dilakukan oleh Utami dan Arfiani (2022) dalam Jurnal Hukum dan Etika Kesehatan menunjukkan bahwa senyawa CBD dari ganja dapat menurunkan intensitas kejang pada pasien epilepsi refrakter yakni epilepsi yang tidak merespon terhadap obat anti kejang yang lazim digunakan. Ini artinya, bagi sebagian pasien yang hampir kehilangan harapan, ganja medis bisa menjadi solusi alternatif yang menjanjikan. Tidak hanya sampai di situ, ganja medis juga dilaporkan mampu membantu meredakan nyeri kronis yang sering diderita oleh pasien kanker atau penderita penyakit saraf, serta mengurangi mual akibat kemoterapi, yang sering kali membuat pasien kehilangan nafsu makan dan kualitas hidup.
Lebih lanjut, ganja juga memiliki manfaat dalam bidang oftalmologi (ilmu kesehatan mata). Beberapa penelitian menyatakan bahwa senyawa aktif dalam ganja mampu menurunkan tekanan intraokular yang menjadi penyebab utama penyakit glaukoma penyakit yang dapat menyebabkan kebutaan jika tidak ditangani dengan cepat. Artinya, penggunaan ganja sebagai terapi medis tidak hanya berdampak pada satu bidang, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai jenis penyakit dengan pendekatan yang tepat dan terukur.
Guru Besar Farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Zullies Ikawati, juga menyampaikan pendapat senada bahwa ganja dalam konteks medis sangat berbeda dengan ganja yang digunakan secara bebas dan tidak terkontrol. Beliau menekankan bahwa yang disebut “ganja medis” adalah ganja yang telah melalui proses ekstraksi dan standarisasi, sehingga dosisnya jelas, efek sampingnya bisa dipantau, dan penggunaannya hanya di bawah pengawasan tenaga medis profesional. Ganja dalam bentuk ini tidak bisa disamakan dengan ganja yang dipakai oleh pengguna jalanan untuk tujuan rekreasional.