Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Peran Rumah Tangga dalam Mewujudkan Net-Zero Emissions Dunia

14 Oktober 2021   17:40 Diperbarui: 14 Oktober 2021   17:44 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamatkan Bumi, Sumber: otak-atik Canva

Berdasarkan data pemerintah, kurva kasus Covid-19 di Indonesia mulai melandai. Meski demikian, para ahli memperingatkan bahaya gelombang ketiga yang diperkirakan menghantui di penghujung tahun ini. Hantu? Ya, kita menyebut sesuatu yang menakutkan sebagai hantu. Covid-19 mungkin cukup menakutkan, namun mata terbelalak manakala beberapa portal berita online menulis headline: "Waspadalah, ada yang lebih mengerikan dari bencana Covid-19"

Saat membaca tajuk berita sekilas, para pembaca judul pasti berpikir bakal muncul wabah penyakit yang lebih mematikan. Padahal jika artikel itu dibaca dan dipahami, kita pasti sadar bahwa yang lebih mengerikan daripada pandemi adalah perubahan iklim. Yup, tajuk berita yang menghebohkan itu muncul ketika Bill Gates mengangkat kembali isu perubahan iklim, isu global yang telah lama diteriakkan para pecinta lingkungan hidup sejak beberapa tahun lalu.

Jika penyakit bisa diobati, minimal bisa diupayakan pencegahan dengan taat protokol kesehatan, vaksinasi dan menjaga stamina, tidak demikian halnya dengan perubahan iklim. Kerusakan lingkungan yang menyebabkan perubahan iklim adalah bencana maha dahsyat yang tak mudah ditanggulangi. Yang merasakan dampak perubahan iklim pun tak hanya dirasakan satu dua negara, tetapi seluruh dunia.

Seperti apa tanda perubahan iklim? Mengutip dari Kompas, 3 September 2021, tanda-tanda perubahan iklim adalah;

  1. Alaska mengalami suhu tertinggi
    Pada 2019, benua yang didominasi salju dan es ini pernah mencapai suhu tertinggi hingga 32 derajat Celcius. Wow, suhu yang sama dengan rata-rata suhu kota besar di Indonesia, negeri khatulistiwa.
  2. Lebih dari setengah es di Greenland mencair
    Pada Juli 2019, tercatat sebanyak 217 milyar ton es mencair dari Greenland menuju laut lepas. Pada bulan tersebut, hampir seluruh permukaan bumi pencatat suhu tertinggi yang pernah dirasakan. Pencairan ini mencatat menaikkan tinggi permukaan air laut dunia sebesar 0,5 milimeter dalam sebulan. (Kompas, 3 September 2021)
  3. Kekeringan terjadi lebih lama dan lebih ekstrem
    Kita sudah merasakannya dalam beberapa tahun belakangan bukan? Suhu kian panas, dan musim penghujan lebih pendek sehingga terjadi kekeringan di berbagai belahan dunia.
  4. Suhu air laut lebih hangat
  5. Glasier es mencair lebih cepat
  6. Tinggi permukaan air laut meningkat dan mengancam kehidupan pesisir serta keseimbangan ekosistem
  7. Bencana banjir dan gelombang panas (heatwave), akibat perubahan iklim meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir.

Jika terus dibiarkan, dampak perubahan iklim ini akan mengancam ekosistem dunia dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Dikutip dari BBC, 3 September 2021, Bill Gates menyatakan bahwa perubahan iklim sulit diatasi dibandingkan mengakhiri pandemi. Memecahkan masalah perubahan iklim menurutnya adalah hal paling menakjubkan, tetapi bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan.

Salah satu langkah besar untuk menghentikan laju perubahan iklim adalah mengurangi dan menghentikan emisi karbon. Artinya kita harus berupaya berhenti menggunakan atau setidaknya mengurangi penggunaan peralatan yang melepaskan karbon dioksida ke udara maupun menemukan teknologi untuk menyerap karbon dioksida agar kadarnya di atmosfer berada dalam jumlah wajar.

Berapa sih kadar toleransi kadar karbon dioksida di atmosfer? Menurut jurnal yang ditulis Suismono, 2011, kadar karbon dioksida di atmosfer idealnya 387 ppm. Menurut penelitian yang dilakukan Met Office, layanan meteorologi nasional Inggris, kadar karbon dioksida global saat ini telah melampaui 417 ppm.

Upaya negara-negara dunia untuk menghentikan emisi karbon tertuang dalam seruan Net-Zero Emissions (NZE). Dapat dikatakan bahwa NZE merupakan cita-cita global, kesepakatan negara-negara di dunia sejak lebih dari 25 tahun lalu di bawah naungan Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Convention on Climate Change -- UNFCCC) Lembaga ini bersidang setiap tahun melalui Committee on Parties (COP) Tahun ini, sidang COP26 diselenggarakan di Glasgow Skotlandia pada November 2021. Sebagai bagian dari 146 negara yang tergabung dalam UNFCCC, Indonesia berkomitmen mendukung Net-Zero Emissions dan diharapkan target NZE bisa tercapai secara tuntas pada tahun 2060.

Dalam sebuah artikel yang dirilis Redaksi Forest Digest (sebuah media online yang membahas kelestarian lingkungan) dibahas bahwa Net-Zero Emissions atau nol-bersih emisi tak bisa diartikan sebagai berhentinya umat manusia memproduksi emisi. Secara alamiah manusia dan dunia akan selalu memproduksi emisi karbon.

Lebih lanjut Forest Digest memaparkan bahwa yang dimaksud dengan nol-bersih emisi adalah karbon negatif. Artinya, emisi yang diproduksi manusia bisa diserap sepenuhnya sehingga tak ada yang menguap hingga ke atmosfer. Secara alamiah, emisi karbon dapat diserap oleh pohon, laut, dan tanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun