Tidak sedikit orang-orang hebat yang awalnya berjuang atas nama rakyat dan bermodal idealisme yang tinggi berujung di penjara Sukamiskin. Merintis karir bertahun-tahun dengan prestasi cemerlang “mendadak dangdut” kena operasi tangkap tangan penegak hukum. Suap, gratifikasi dan berbagai jenis “upeti” lainnya menjadi bagian tak terpisahkan dari mentalitas para tokoh publik yang awalnya dikagumi dan dipilih rakyat karena dianggap mampu menjadi solusi perbaikan negeri. Idealisme yang awalnya diterikan dengan kepalan tangan akhirnya dijual dengan “buah tangan” yang lebih menggoda.
Bila kita lihat ke masa lulu, hampir lebih tiga ratus tahun kolonialisme Belanda menguasai tanah Nusantara yang luas dan lebih besar dari negerinya, nampaknya cukup memahami mentalitas bangsa Indonesia yang senang bertengkar, konservatif dan tamak. Realitas mental bangsa Indonesia yang jauh dari pembelajar namun secara kolektif mudah diadu domba dan mudah menanggalkan idealisme demi sesuatu yang lebih menggoda terus berlanjut sampai saat ini. Tidak sedikit bangsa Indonesia yang menjadi pengkhianat lebih membela Belanda dengan menjual idealisme.
Pendidikan karakter yang digelorakan pemerintah Jokowi saat ini nampaknya hanya akan berhasil dilapangan pendidikan, terutama di pendidikan dasar. Tidaklah heran bila Mendikbud atas “perintah” Jokowi untuk lebih menekankan pendidikan karakter 70% di pendidikan dasar. Pendidikan selanjutnya lebih mengutamakan intelektualitas dan hal lainnya. Mengapa pendidikan karakter lebih mungkin disukseskan dilapangan pendidikan? Karena pendidikan karakter pada orang dewasa apalagi kepada para pejabat (legislatif, eksekutif. yudikatif) politisi, pengusaha dll. akan sangat sulit karena mentalitas mereka sudah terbentuk.
Menjual idealisme menjadi kebiasaan tokoh-tokoh publik karena karakter dan mentalitas pribadinya tidak kuat menghadapi situasi negeri yang terbiasa dengan konkalingkong. Bila tidak maling menjadi rugi karena yang lain maling. Bila tidak edan menjadi aneh karena yang lain pada edan. Menjadi orang baik dan hidup sederhana adalah pilihan yang “mematikan” dan membuat penderitaan berat di zaman yang serba materialistis pragmatis ini. Bahkan seorang politisi yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, “Korupsi, gratifikasi dan berbagai tindak kongkalingkong para pejabat karena tuntutan rakyat (konstituen) yang selalu meminta-minta kepada para pejabat”.
Benarkah rakyat dapat disalahkan sebagai pendorong terjadinya KKN?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI