Mohon tunggu...
Dudi safari
Dudi safari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Literasi

Aktif di Organisasi Kepemudaan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi

Lagi Beda Hari Idul Fitri

19 April 2023   12:13 Diperbarui: 19 April 2023   12:11 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari raya Idul Fitri segera tiba, pertanda bagi kaum muslimin akan mengakhiri puasa 1444 H. Lebaran kali ini berpotensi beda hari dalam pelaksanaan salat sunat Idul Fitri.

Pemerintah baru akan bersidang untuk menetapkan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1444 H, tanggal 20 April 2023. Keputusan ditetapkan kembali melalui sidang isbat.

Sementara Muhammadiyah telah menetapkan lebih awal untuk pelaksanaan salat Idul Fitri yakni 21 April 2023.

Tercatat dalam 25 tahun terakhir Muhammadiyah selalu berbeda dalam penetapan 1 Syawal dengan pemerintah.

Perbedaan itu terjadi pada tahun 1998, 2002, 2006, 2007 dan 2011. Muhammadiyah selalu lebih dahulu satu hari dari pemerintah dalam penetapan 1 Syawal.

Perbedaan tersebut tidak dapat dihindari  karena perbedaan kriteria perhitungan (hisab) dan pengamatan (rukyat) bulan baru kamariah.


Muhammadiyah menggunakan metode Wujudul Hilal yakni matahari lebih dahulu tenggelam daripada bulan walaupun berjarak satu menit atau kurang.

Sementara pemerintah Indonesia kini memakai kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal) dengan kriteria MABIMS yakni tinggi minimal hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat yang disingkat (3-6,4).

MABIMS merupakan gabungan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Wujudul Hilal

Wujudul Hilal bermakna juga tampaknya hilal yakni bulan sabit penanda awal bulan dalam perhitungan kamariah.

Namun wujudul hilal ini merupakan konsekuensi dari metode hisab dalam perhitungan kamariah.

Bagi Muhammadiyah metode ini dirasa paling tepat dalam menentukan awal tanggal kamariah.

Ternyata ada 9 alasan mengapa Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal.

Sembilan alasan tersebut adalah: semangat al-Quran adalah penggunaan hisab, Hadis-hadis yang memerintahkan rukyat adalah perintah berillat, rukyat bukan ibadah, melainkan sarana, rukyat tidak bisa digunakan untuk membuat kalender unifikatif, rukyat tidak dapat meramalkan tanggal jauh hari ke depan, rukyat tidak bisa menyatukan awal bulan Islam secara global, jangkauan rukyat terbatas, rukyat menimbulkan masalah dalam pelaksaan puasa Arafah dan faktor Alam seperti cuaca.

Muhammadiyah memandang alasan-alasan tersebutlah menjadi urgensi dalam penentuan awal tanggal.

Mengenai kriteria metode wujudul hilal disebutkan ada tiga sebagai berikut:

  • Telah terjadi ijtimak (konjungsi),
  • Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan
  • Pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Imkanur Rukyat

Sementara pemerintah dan beberapa ormas Islam yang tergabung di Majelis Ulama Indonesia (MUI), menggunakan metode hisab dengan kriteria imkanur rukyat. Tidak akan disebut tanggal baru sebelum benar-benar Hilal terlihat dengan mata telanjang.

Secara bahasa imkanul rukyat (IR) bermakna mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.

Sebenarnya IR digunakan sebagai metode untuk menjembatani antara hisab dan rukyat. IR merupakan metode baru yang digagas MABIMS.

Dalam perjalanannya pendekatan IR ini mulai banyak digunakan di berbagai negara.

Metode hisab dengan kriteria IR ini dapat berpotensi terus terjadinya perbedaan sampai 2050.

Muhammadiyah menyebut bahwa IR ini tidak ada landasan astronomisnya, kecuali kesepakatan-kesepakatan belaka.

Saat MABIMS menentukan minimal 3 derajat sudut ketinggian bulan dan elongasi minimal 6,4 derajat, sementara komunitas muslim Amerika minimal 15 derajat.

Namun NU membantahnya dengan menjelaskan hal ini bukan sekadar angka tawar-menawar, melainkan ada pertimbangan ilmiah.

Rukyatul Hilal

Rukyatul Hilal atau melihat langsung bulan, inilah metode tradisional yang paling pertama dalam menentukan awal bulan kamariah.

Nabi mengisyaratkan saat penentuan awal Ramadan, bahwa satu bulan itu 29 hari tapi jika bulan terhalang awan boleh digenapkan menjadi 30 hari.

Kaum muslimin di zaman nabi mereka menggunakan metode klasik ini, jika Hilal terlihat maka mereka mulai puasa. Jika Hilal belum terlihat maka bulan Syaban digenapkan menjadi 30 hari.

Bersama pesatnya kemajuan zaman, teknologi astronomi pun makin berkembang dengan ditemukannya teleskop. Pemantauan pun menjadi lebih jelas, akan tetapi jika awan terlalu tebal maka tetap saja metode rukyatul hilal ini tidak bisa dipakai.

Perbedaan metode yang ada di kalangan umat Islam hendaknya jangan berkembang menjadi permusuhan. Perbedaan di ranah fikih adalah hal biasa yang harus disikapi dengan bijak.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun