Kesetaraan gender selalu menjadi polemik klasik bagi pegiatnya.
Sejak masa kolonial emansipasi digaungkan R.A Kartini, kesetaraan antara perempuan dan pria menjadi bahan dasar dari polemik tersebut.
Jika kita boleh flash back ke masa lalu di mana kaum perempuan menjadi kasta nomor dua dalam kelas sosial. Ketimpangan dan ketidakadilan perlakuan membuat kaum perempuan merasa tertekan dan hidup dalam kungkungan intimidasi kaum pria.
Seorang perempuan dilarang bersekolah, dilarang masuk dunia politik dan pekerjaan sosial lainnya untuk menyerupai kaum pria.
Tentu secara kemanusian hal ini melanggar hak asasi perempuan sebagai seorang manusia.
Sejatinya sejarah penindasan serta ketidakadilan terhadap perempuan sudah menjadi sejarah gelap peradaban manusia.
Sejak imperium Romawi wanita hanya dijadikan budak seks saja. Bahkan sampai di abad pertengahan Eropa perlakuan terhadap kaum perempuan masih sangatlah buruk.
Era feminisme Eropa merupakan titik awal pemberontakan kaum perempuan terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan.
Tapi jauh sebelum itu Islam telah memosisikan perempuan sebagai kasta yang mulia.
Banyak statemen nabi yang memuji dan menyanjung kaum perempuan, salah satu di antaranya adalah hadis tentang surga di bawah telapak kaki ibu.
Ibu adalah seorang perempuan mulia, mengandung dan melahirkan anak manusia dalam keadaan susah payah. Setelah itu memeliharanya hingga dewasa.
Bahkan ada hadis yang spesifik bahwa nabi berpesan agar memperhatikan perempuan.
Dalam sebuah potongan hadits nabi Saw. bersabda, "Perhatikan perempuan karena awal mula datangnya fitnah bagi Bani Israil adalah dari perempuan." HR. Muslim.
Bahkan Allah selalu menempatkan posisi perempuan satu level dengan seorang pria.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."
(QS. Al-Ahzab 33: Ayat 35).
Namun para ulama ada berbeda paham mengenai kapan seorang perempuan letaknya sejajar dengan pria dan kapan seorang perempuan menempati proporsinya.
Dalam hal kesaksian menurut literatur fikih klasik para ulama sepakat bahwa kesaksian seorang pria berbanding dengan kesaksian dua orang perempuan. Berdasar firman Allah.
Para fuqaha pun sepakat tentang model kesaksian di atas pada kasus-kasus perdata.
Namun mereka berbeda pendapat ketika kesaksian itu dihadapkan kepada; kasus hukum keluarga, kasus hukum yang lazim diketahui perempuan dan kasus pidana.
Tentang perbedaan pendapat yang tajam antara Abu Hanifah yang membolehkan seorang perempuan menjadi saksi kasus hukum keluarga seperti perceraian, perkawinan dan semacamnya sementara Imam Malik tidak membolehkannya.
Adanya beda pendapat tersebut tak lepas dari cara pandang ulama terhadap perempuan kala itu.
Dimana kemampuan intelegensi mereka sangat kurang itu dapat dipahami karena perempuan saat itu masih sibuk berkutat dalam urusan domestik saja.
Lantas apakah QS. Albaqarah ayat 282 itu merupakan bentuk diskriminasi Islam terhadap kaum perempuan.
Jawabannya tentu tidak, justru Islam lahir untuk mengangkat harkat derajat manusia. Dan perempuan adalah seorang manusia.
Adapun Islam memosisikan seorang saksi laki-laki berbanding dua orang perempuan, para ahli tafsir mencoba menjelaskannya bahwa hal demikian lebih karena kemampuan intelektual perempuan saat itu belum mapan itulah salah satu pendapat Ibnu Katsir.
Sebagian dari kalangan perempuan tidak menerima alasan tersebut, mereka mencoba mencari tafsir kontekstual.
Mencari celah dari asbanuzul ayat dan asbabulwurud hadits sebagai dalil yang berkaitan dengan peran perempuan dalam persaksian.
Wal hasil tafsir kontemporer mengistinbat (menyimpulkan). Perempuan mampu sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
Karena kemampuan akal perempuan sekarang sudah sebanding dengan kaum laki-laki, perempuan sekarang memiliki kapasitas menjadi pengajar, birokrat bahkan presiden.
Artinya ayat 282 itu menjadi ayat inspirasi bagi kaum perempuan untuk meningkatkan kemampuan akalnya.
Dan tafsirnya adalah sudah tidak ada lagi perbedaan persaksian antara laki-laki dan perempuan.
Hendaknya selama tafsir itu tidak bertentangan dengan kaidah hukum tafsir sendiri maka itu sah-sah saja.
Pengetahuan Dasar Seorang Penafsir
Secara umum mufassir (ahli tafsir) harus memiliki pengetahuan dasar tentang,
- Penguasaan Bahasa Arab, meliputi nahwu, sharap, balaghah, bayan, ma'ani, badi', dan semua yang berkaitan dengannya.
- Mengetahui kapan dan di mana ayat tersebut turun. Apakah di Madinah atau di Mekah. Seorang penafsir harus mengetahuinya.
- Mengetahui asbabunnuzul (sebab turunnya ayat). Tanpa mengetahui asbabunnuzul suatu ayat maka penafsir akan kacau dalam memahaminya.
- Mengetahui rujukan dalam menafsirkan ayat al-Quran. Apakah tafsir ayat dengan ayat, ayat dengan hadis nabi, ayat dengan atsar sahabat, atau dengan penjelasan tabiin.
- Mengetahui cara membedakan ayat muhkamat dengan mutasyabihat. Seorang penafsir harus memahami apakah ayat tersebut ayat yang jelas tidak multi tafsir atau apakah ayat tersebut memerlukan beberapa pemahaman lain untuk mencapai pemahaman inti ayat tersebut.
- Mengetahui nasikh dan mansukh. Seorang penafsir harus mengetahui mana ayat yang dihapus dan mana ayat penghapus (pengganti yang dihapus).
Itulah sedikit pengetahuan dasar bagi seorang mufassir.
Dengan menguasai pengetahuan dasar tentang tafsir diharapkan dalam menafsirkan suatu ayat tidak gegabah yang akhirnya keluar dari maksud ayat sebenarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI