Tentang perbedaan pendapat yang tajam antara Abu Hanifah yang membolehkan seorang perempuan menjadi saksi kasus hukum keluarga seperti perceraian, perkawinan dan semacamnya sementara Imam Malik tidak membolehkannya.
Adanya beda pendapat tersebut tak lepas dari cara pandang ulama terhadap perempuan kala itu.
Dimana kemampuan intelegensi mereka sangat kurang itu dapat dipahami karena perempuan saat itu masih sibuk berkutat dalam urusan domestik saja.
Lantas apakah QS. Albaqarah ayat 282 itu merupakan bentuk diskriminasi Islam terhadap kaum perempuan.
Jawabannya tentu tidak, justru Islam lahir untuk mengangkat harkat derajat manusia. Dan perempuan adalah seorang manusia.
Adapun Islam memosisikan seorang saksi laki-laki berbanding dua orang perempuan, para ahli tafsir mencoba menjelaskannya bahwa hal demikian lebih karena kemampuan intelektual perempuan saat itu belum mapan itulah salah satu pendapat Ibnu Katsir.
Sebagian dari kalangan perempuan tidak menerima alasan tersebut, mereka mencoba mencari tafsir kontekstual.
Mencari celah dari asbanuzul ayat dan asbabulwurud hadits sebagai dalil yang berkaitan dengan peran perempuan dalam persaksian.
Wal hasil tafsir kontemporer mengistinbat (menyimpulkan). Perempuan mampu sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang.
Karena kemampuan akal perempuan sekarang sudah sebanding dengan kaum laki-laki, perempuan sekarang memiliki kapasitas menjadi pengajar, birokrat bahkan presiden.
Artinya ayat 282 itu menjadi ayat inspirasi bagi kaum perempuan untuk meningkatkan kemampuan akalnya.