Mohon tunggu...
DuaBahasa
DuaBahasa Mohon Tunggu... Freelancer - Words are mighty powerful; it's the Almighty's word that perfected our universe

Terus mencoba membuat alihan bahasa yang enak dibaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meliatkan Pribadi Menjadi Sang Pengasih (15): Menyimak Tidak Mudah

25 Juni 2022   00:30 Diperbarui: 25 Juni 2022   00:31 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[The Penguin International Thesaurus of Quotations - Rhoda Thomas Tripp]

Kita bisa saja berupaya atau berani melakukan hal lain, bukan berupaya atau berani menumbuhkan spiritualitas. Itulah alasannya mengapa semua upaya dan semua keberanian bukanlah cinta. Tetapi karena diri kita harus berkembang, cinta selalu mewujud entah dalam bentuk upaya atau keberanian. Jika ada perbuatan yang bukan perwujudan upaya atau keberanian, perbuatan tersebut tidak bisa disebut sebagai perbuatan cinta. Hanya itu; tidak ada yang lain.

Wujud pokok dari perbuatan cinta atau upaya mencintai adalah perhatian. Bila kita mencintai orang lain, kita memberi dia perhatian; kita membantu orang tersebut tumbuh. Bila kita mencintai diri sendiri, kita membantu diri kita tumbuh. Bila kita membantu seseorang, kita peduli pada orang tersebut. Untuk bisa membantu orang, kita harus berusaha menghentikan terlebih dulu apa yang sedang kita lakukan (seperti ulasan tentang disiplin mendahulukan prioritas dan keseimbangan atau 'bracketing'), dan mengalihkan perhatian kita.

Memperhatikan adalah perwujudan kehendak, upaya untuk melawan untuk kelembaman pikiran kita sendiri. Seperti yang dikatakan Rollo May, "Bila kita telaah apa yang dimaksud dengan kehendak menggunakan semua perangkat psikoanalisis modern, kita akan disadarkan bahwa atensi atau intensi adalah apa yang mendasari kehendak. Upaya yang dilakukan dalam melaksanakan kehendak sesungguhnya merupakan upaya memperhatikan. Yang sulit dalam melaksanakan kehendak adalah menjaga pikiran tetap jernih; ini artinya, tidak mudah membuat perhatian kita tetap terarah."*

Cara paling baik dan banyak dilakukan orang dalam memberi perhatian adalah mendengarkan. Amat banyak waktu yang kita pakai untuk mendengarkan tapi hampir semuanya terbuang percuma karena hampir tidak ada orang yang mampu mendengarkan dengan baik.

Seorang psikolog bidang ketenagakerjaan menjelaskan kepada saya bahwa banyaknya waktu yang kita curahkan untuk mengajarkan mata pelajaran tertentu kepada anak-anak di sekolah berbanding terbalik dengan seberapa sering anak-anak akan memanfaatkan apa yang dipelajarinya tersebut ketika tumbuh dewasa.

Pemimpin perusahaan meluangkan waktu kira-kira satu jam untuk membaca, dua jam berbicara dan delapan jam mendengarkan. Sayangnya, kita menghabiskan banyak waktu mengajari anak-anak cara membaca tapi sedikit sekali waktu untuk mengajari mereka cara berbicara dan biasanya malah tidak ada waktu yang kita sisihkan untuk mengajari mereka cara mendengarkan.

Saya kira tidak ada gunanya mengubah kurikulum hanya supaya apa yang diajarkan di sekolah benar-benar sesuai dengan apa yang kita kerjakan setelah lulus, tetapi ada baiknya kita mengajari anak-anak cara mendengarkan -- tujuannya bukan supaya mereka lebih mudah mendengarkan tetapi supaya mereka sadar bahwa mendengarkan itu tidak mudah.

Mendengarkan dengan seksama sama dengan memperhatikan, jadi dibutuhkan kerja keras. Orang tidak mendengarkan dengan baik karena mereka tidak menyadari hal ini atau karena mereka tidak ingin melakukan kerja tersebut.

Belum lama ini saya menghadiri ceramah yang dibawakan seorang tokoh terkenal tentang hubungan antara psikologi dan agama -- topik yang bagi saya selalu menarik. Saya lumayan menguasai pokok bahasannya karena memang minat saya di situ, dan langsung tahu bahwa penceramah tadi memang betul-betul orang yang menguasai bidangnya. Juga saya rasakan bahwa dia membawakan ceramah dengan cinta karena berbagai konsep abstrak yang sulit dimengerti oleh kami sebagai pendengar dia sampaikan dengan susah-payah dan dengan segenap hati, antara lain dengan memberi contoh.

     [bersambung ke bagian 16]

     Diterjemahkan dari buku The Road Less Traveled (Section: Love), karya M. Scott Peck

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun