Mohon tunggu...
Dr. Dedi Nurhadiat
Dr. Dedi Nurhadiat Mohon Tunggu... Dosen - Penulis buku pelajaran KTK dan Seni Budaya di PT.Grasindo, dan BPK Penabur

Manajemen Pendidikan UNJ tahun 2013. Pendidikan Seni Rupa IKIP Bandung lulus tahun 1986. Menjabat sebagai direktur media SATUGURU sejak tahun 2021 hingga sekarang. Aktif di Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) sejak tahun 2020. Menjabat sebagai kepala sekolah di beberapa SMA sejak Tahun 2009 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komite SMA3 Bahas RKAS, Kang Emil di Bully

17 November 2022   16:19 Diperbarui: 18 November 2022   06:24 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kang Emil dan penulis (foto koleksi)


Kontrol sosial terhadap dunia pendidikan, sebaiknya mengedepankan pentingnya peningkatan mutu di era persaingan global dewasa ini.  Agar sekolah yang ada itu terpelihara dan beragam pilihan mutunya. Mutu dalam pembinaan bidang seni, mutu dalam bidang olah raga, sains,  dan semacamnya. Semuanya itu, untuk mengembangkan kompetensi siswa yang realitanya  berbeda-beda. Karena bakat siswa itu begitu beragam, maka perlu wadah yang cocok untuk pengembangannya. 

Konsep manajemen dari Malcolm Baldrige yang sudah terbukti di Amerika Serikat. Kini mulai terbukti di berbagai negara setelah di terapkan di berbagai instansi, memang berhasil karena penerapannya sampai tuntas dalam iklim yang terjaga dengan baik.  Jika ingin diterapkan dalam dunia pendidikan, Iklim pendidikannya harus di jaga  dulu bersama-sama agar stabil. Kurikulum apapun yang digunakan, jika ingin melihat hasilnya secara utuh harus tuntas penerapannya.

Kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia begitu beragam. Masyarakat  pemilik SKTM harus mendapatkan perhatian utama agar mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu  demi perbaikan keadaan keluarganya kelak. Tanpa anggaran yang memadai  pencapaian mutu itu sangat mustahil bisa tercapai. Maka orang kaya harus mau membantu sekolah menerapkan subsidi silang. Tatkala pemerintah belum mampu membiayai pendidikan gratis sepenuhnya. Peran serta masyarakat kerannya harus di buka. Kebijakan Kang Emil di Provinsi Jawa Barat sudah maksimal. Tidak selayaknya untuk di bully gara-gara sebuah kasus yang belum di klarifikasi. Kini klarifikasi itu sudah bisa di baca di berbagai media. Semoga peristiwa ini tidak meruntuhkan bangunan peradaban yang selama ini sudah berdiri dengan penuh santun. Karena mutu pendidikan itu, begitu  sangat dirindui masyarakat seluruh pelosok NKRI.

Kini ada indikasi arus deras masyarakat kaum berduit untuk memilih  sekolah di luar negeri,  atau bersekolah di dalam negeri milik  yayasan orang asing dengan kurikulum milik mereka juga. Tentu karena alasan jaminan kualitasnya  begitu terukur. Sekolah demikian begitu nyata mutu pendidikannya karena bebas berinovasi hingga tuntas. Karena sekolah mereka itu  nyaris tanpa rongrongan. Karena kualitasnya itulah sehingga dicintai masyarakatnya.

Mengapa mereka begitu mencintai sekolah yang dikelola asing atau memilih sekolah di luar negeri ? Karena di dalam negeri itu hampir tidak ada pilihan lain. Suhu di dalam sekolah negeri sering naik turun tidak stabil. Bahkan banyak program berhenti di tengah jalan, karena kebijakan yang  terus berubah. Untuk bersaing dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan itu, iklim pendidikannya  harus di jaga agar stabil berkeadilan. Pelaku kontrol sosial harus ketat mengkritisi mutu dan mengkritisi keadilan. Khususnya adil bagi masyarakat yang tidak mampu dibidang ekonomi. Agar pemilik SKTM bisa duduk satu bangku dengan mereka yang hidup berkecukupan, alias konsep simbiosis mutualisme. 


Tampaknya jika melihat gambaran  kondisi di atas, begitu pentingnya ke stabilan iklim pendidikan itu. Namun sangat terasa tidak adil yang dilakukan  kontrol sosial bernama  Buya Eson @emerson_yuntho ini. Dia telah share video pembahasan RKAS di SMA3 Kota Bekasi, dengan kata pengantar begitu profokatif menyeret nama Kang Emil. Di pengantar video itu tertulis bunyinya "Sore Pak @ridwankamil masih jadi Gubernur Jawa Barat atau sudah pensiun? Ini ada pungutan di sekolah menengah negeri di Jawa Barat, sebaiknya dibiarkan atau ditindak?"

Padahal cuplikan video itu ada dugaan diambil saat rapat pembahasan RKAS. Rapat itu sesungguhnya adalah dialog mencari kesepakatan. Kalau yang upload video juga menyandingkannya  dengan suasana rapat pembahasan RKAS di tempat lainnya, bisa kita acungi jempol, begitu mulia kinerjanya.  Tapi dari satu kasus itu, yang di bully di twitter justru Kang Emil yang sedang kunjungan kerja di Karawang bersama Kadisdik. Karena video ini viral, KCD wilayah 3 langsung meluncur ke Karawang menemui Kadisdik & Gubernur Jawa Barat. Meluncur ke Karawang sambil melakukan rapat darurat lewat zoom dengan para kepala sekolah dan pengurus MKKS Kota juga Kabupaten Bekasi. Semuanya tampak seperti sangat genting, karena yang dibully netizen di twitter itu Kang Emil. Padahal itu hanya cuplikan video durasi sangat pendek dari salah satu sekolah di Jawa Barat. Mungkin jika videonya lebih panjang tidak akan seheboh itu. Karena cuplikannya tidak sempurna, terkesan berita itu begitu bombaptis, memancing lahirnya bully terhadap Gubernur Jawa Barat.

Bullying (dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai "penindasan"). Begitulah yang terjadi pada Kang Emil, adalah dampak dari ulah pengunggahan  penggalan video dengan komentar bernada provokatif, tanpa ada klarifikasi berimbang, dari sumber informasi dalam gambar. Tapi mungkin ini merupakan suatu cara atau strategi seorang pelaku kontrol sosial. Cara memancing lahirnya bully terhadap Gubernur  Jawa Barat, melalui cara upload video penggalan pembahasan RKAS yang dibahas komite sekolah. Ini hanya  satu kasus, saat  realisasi pemberlakuan SK Gubernur yang begitu lama ditunggu-tunggu.

Dalam hal unggahan ini, mengakibatkan lahirnya bully terhadap Gubernur Jawa Barat lewat Twitter, tak terhindarkan lagi. Viralnya berita itu membuat kecewa sebagian besar orangtua siswa yang menyekolahkan anak di gedung yang tidak layak huni.
Semua orangtua di atas, menunggu kesempatan penyelenggaraan rapat komite sekolah. Para orangtua siswa yang rindu anaknya berprestasi di sekolah demikian itu, rata-rata sedang menunggu kepastian waktu rapat komite sekolah yang  sudah lama terlunta-lunta.

Ironis memang ketika ada siswa belajar di lantai tanpa alas dan dibawah gubuk bertiang bambu, berlokasi di perumahan elite. Tampak  sungguh sangat mengibakan, padahal tidak semuanya benar. Sebab ada pula anak yang merasa nyaman dengan suasana demikian itu,  menganggap sebagai suasana unik di balik gemuruh kereta api yang lewat secara rutin, berjarak 30 meter di samping sekolah itu. Sekolah tak berpagar, tampak  begitu indah ketika kereta api lewat di malam hari dengan sinar lampu bagai meteor jatuh. Tapi jika siang hari sangat mengganggu perhatian siswa yang sedang belajar. "Sebaiknya segera di pagar agar siswa fokus belajar" Ujar salah seorang orangtua siswa. Untungnya tentang pagar sekolah sudah ada kabar baik dari pemerintah melalui KCD3 dan perumahan Matland. Ini suatu bukti kerja mengurusi sekolah itu tidak mudah. Jangan sampai dirobohkan oleh pihak ke tiga yang melihatnya dari jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun