Stasiun Tugu, sepuluh tahun yang lalu
Aku melihatnya melambai di barisan kursi peron nomor satu. Ia tersenyum. Ia mengenakan jaket warna hitam. Aku mengernyit sedikit ketika melihat celananya, tumben ia memakai celana yang tak menutup mata kakinya. Tapi, aku tak merasa aneh, kupikir ia mungkin terburu-buru.
Biasanya ia akan menyalamiku, merangkulku dan bertanya apakabar kota dingin yang baru saja kutinggalkan. Tidak kali ini. Ia mengulurkan tangannya untuk meraih tasku.
Tak berapa lama kami sudah melaju di jalanan kota Jogja yang penuh oleh sepeda motor. Kami menuju ringroad utara, rumah salah seorang sahabat kami yang biasa kami jadikan tempat kumpul, selain rumahnya tentu saja. Ketika aku masih asyik menikmati pemandangan kota gudeg yang telah enam bulan kutinggalkan, ia memelankan laju motor dan berkata,"Kin, ini terakhir kali aku memboncengkan kamu ya. Maafkan aku."
Aku hanya diam, mencoba menenangkan hatiku yang teramat pedih dan ingin mengekspresikannya lewat air mata. Aku sudah menebaknya. Aku sudah tahu ada yang berubah dalam dirinya. Aku tahu, cepat atau lambat ia akan pergi. Ia telah memilih jalannya.
Perjalanan berlangsung dalam diam. Sampai di rumah sahabat kami pun, ia hanya diam. Ia baru bersuara ketika Yi, sahabat kami, berteriak dari balkon lantai dua.
"Nah, sampai juga. Kok tambah kurus Mbakku?"
Aku tersenyum pada Yi. Segera aku berlari ke lantai dua, mencari kedua tangan Yi yang menyambutku dalam pelukannya. Aku rindu sekali pada Yi, dia sahabat sejatiku, hingga detik ini.
Selanjutnya, kami bertiga duduk melingkari meja kecil di kamar Yi. Aku, Yi, dan ia... si tampan yang kini kulihat bermuram durja, Le. Kami mengobrol melepas rindu, meski Le sedikit sekali bersuara. Ada tiga cangkir teh manis kental di meja kecil tersebut. Tangan Le sibuk memainkan pegangan cangkirnya. Aku tahu ia resah.
"Hmmm, aku keluar dulu ya. Jemput adikku. Le...," Yi memberikan bahasa tubuh pada Le, yang kutangkap sebagai isyarat agar Le menggunakan waktu tersebut untuk bicara padaku.
Setelah Yi pergi, Le pindah duduk, tidak lagi dihadapanku, tapi memilih menggelesor didekat jendela, seolah sengaja mengambil jarak. Ia buka pintu kamar dan jendela, juga pintu ke balkon. Aku semakin meyakini perubahan Le.