Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Soal Pilihan Ganda = Penjara untuk Sastra?

16 Mei 2015   06:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini adalah hari pendidikan nasional tepat dua hari menjelang anak-anak SMP tingkat akhir menghadapi ujian Bahasa Indonesia di ujian nasional. Hari sabtu ini ada jadwal ekstra, saya mengajar bimbel di suatu tempat dengan program super intensif UN. Disela kegiatan pembelajaran seorang peserta bimbingan bertanya kepada saya, " pak nanti soalnya sama seperti ini?" Saya diam lantas teringat ucapan si pembuat soal tersebut yang juga termasuk salah satu anggota tim penyusun soal UN bahwa soal diselaraskan atau disesuaikan dengan yang kemungkinan akan keluar di UN. Saya merespon si peserta bimbingan dengan senyuman dan tepukan di pundaknya " lebih gampang dari ini kok "

Dunia pendidikan formal memiliki formula dan tatanan -tatanan baku yang lahir dari badan pendidikan. Rumus ini rumus itu, cara ini cara itu, indikator ini indikator itu, penilian ini penilaian itu, kompetensi dasar ini kompetensi dasar itu, semuanya itu diracik demi mencapai satu garis finis, yakni hasil angka ( nilai uji) yang telah disepakati. Bagi para guru dan atau calon pendidik mau tidak mau harus patut untuk memahami sekaligus menjunjung fomula-formula yang ada, yang sudah disediakan oleh mendikbud. Seperti halnya dengan kurikulum, RPP, materi ajar baku ( buku paket ) dan sebagainya. Namun saya percaya bahwa masih ada guru yang diam-diam berpikir nakal kepada segala formalitas yang ada dalam ranah pindidikan, wabil khusus di sekolah. Pada tulisan ini saya akan membagi pikiran nakal saya atas dasar hal-hal tersebut, yang saya alami pada garis yang lebih kecil, yang lebih khusus, yaitu kegelisahan saya tentang soal Bahasa dan Sastra Indonesia yang diujikan dengan format pilihan ganda.

Tersadar dari ungkapan Emha Ainun Najib ( Cak Nun ) pada suatu ceramahnya bahwa " matematika " adalah ilmu suci. Saya pahami bahwa matematika memiliki ke-absolutan kebenaran. Misal, 5 + 5 ya 10 mau yang buat soal itu menganut ideologi komunis atau marxis atau isis ya tetap hasilnya 10. Mau siswa suka pedes atau suka permen karet ya jawabannya akan tetap itu. Maka apabila Matematika diujikan dalam bentuk pilihan ganda tidak akan terjadi masalah, karena tidak ada kemungkinan ke-bias-an kebanaran pada jawaban. Artinya siswa akan salah menjawab apabila mereka tidak pas/tepat/ keliru pada proses menghitung, karena pada pelajaran matematika tidak tersedia ruang interpretasi juga asumsi, jadi siswa telah digiring dengan rumus menuju jawaban yang sudah pasti. Sedangkan pelajaran Bahasa Indoneisa memiliki perbedaan sifat dengan matematika. Walaupun ada ilmu bahasa/linguistik ( seperti , S-P-O-K ) yang memiliki sistematika atau formula yang sudah mapan. Namun perlu diingat bahwa dalam dunia pendidikan juga pada penyusunan soal-soal ujian bahasa indonesia yang berbasis kurikulum 2013, sangat tidak mungkin untuk tidak menggunakan ilmu sastra demi mencapai nilai-nilai yang menjadi fokus kurikulum. Seperti nilai moral dan budi pekerti. Dalam hal ini mungkin telah menjadi idiom yang tidak asing bagi akademisi sastra bahwa " Sastra " adalah penghalus akal budi.

Pada titik tersebutlah timbul masalah bagi saya. Ketika membimbing program super intensif un ini saya menemukan beberapa soal latihan UN - bahasa indonesia- yang sangat tidak cocok diterapkan dengan format pilihan ganda. Misalnya, anak/ siswa diminta untuk menentukan tema yang terkandung pada sebuah puisi, siswa diminta untuk menentukan suasana dalam puisi, lalu menentukan nilai moral pada penggalan cerita pendek dan masih ada lagi soal sebagainya. Mungkin contoh soal tidak perlu saya lampirkan, contoh soal bisa dicari pada situs situs lain, dan soal-soal seperti itu mungkin sudah sering ditemukan sejak dulu. Masalahnya adalah siswa kerap kali diberikan pilihan jawaban yang tidak tajam kebenarannya. Artinya siswa bisa saja terjebak dengan pilihan jawaban soal ini, karena mereka diberi batasan oleh pembuat soal yang bisa saja bertentangan dengan jawaban menurut siswa. Artinya, soal saja belum sempurna bagaimana siswa bisa mencapai jawaban benar. Hal ini seperti anak diminta untuk merumuskan rasa nasi goreng dengan jawaban yang sudah dipilihkan oleh si koki, terlebih pilihan jawabannya se-enak bodong si koki tanpa mempertimbangkan lidah si anak. Padahal lidah anak-anak berbeda-beda, sehingga anak tidak merdeka untuk menuangkan rasa yang mereka rasakan.

Seperti yang saya sadari bahwa karya sastra itu peristiwa estetic, lebih dari sekedar peristiwa logic maupun etic. Maksud saya, suatu karya sastra apapun bentuknya dari puisi sampai novel bisa saja memiliki kandungan isi yang tidak mendasar, tapi sangat mendalam atau bahkan dangkal sekali. Sehingga apabila merespon atau menyikapi karya sastra dengan hanya menggunakan pertimbangan logic kemungkinan besar tidak akan menjangkau esensinya secara utuh. Bambang Sugiharto ( guru besar filsafat Estetika ) berpendapat bahwa estetika atau seni adalah tentang " rasa ". Apabila kita menyadari bahwa karya sastra sebagai salah satu dimensi seni, maka suatu karya sastra akan memiliki esensi dengan citra yang berbeda-beda tergantung posisinya di mana dan siapa pembacanya. Sehingga secara otomatis kita pasti akan menjalankan pertimbangan estetika atau " rasa " untuk merespon atau menyikapi karya sastra.

Masalah selanjutnya adalah apakah para elit pendidikan, guru dan akademisi sastra, sudah benar dalam menyikapi suatu karya sastra yang diposisikan dalam sebuah soal ?? Sebab pada kelas bimbingan ini saya menemukan anak-anak peserta bimbel yang memiliki ke-peka-an lebih. Ketika mereka menghadapai soal ( pg ) yang berupa puisi dengan nuansa sedih, mereka bisa merasakan haru atau bahkan lucu. Sehingga ketika diminta menentukan suasana puisi mereka menjawab dengan jawaban yang berbeda dengan kunci jawaban soal yang benar.


Pada akhirnya kita mesti pahami bahwa citra karya sastra berasal dari pantulan hati/ rasa/estetika si pembaca. Alhasil, sampai di rumah saya hanya bisa merenung-renung, tentang apa jadinya kalau soal serupa muncul di UN lusa nanti!? Dalam hati saya berucap " semoga soal di UN nanti tidak se-"distorsi" soal yang di bimbel ini "

Bekasi 2Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun