Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cara agar Kita Tak "Gila" Thrifting

23 Maret 2023   07:47 Diperbarui: 23 Maret 2023   08:25 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Thrifting. Foto: Kompas.com/Nabilla Tashandra

Pertama kali saya berkenalan dengan perilaku thrifting atau belanja pakaian bekas impor sewaktu sudah tinggal di Filipina. Tepatnya, 12 tahun lalu.

Sebagaimana di Indonesia, Filipina juga kebanjiran barang-barang bekas seperti pakaian, sepatu, dan tas. Di Filipina, istilah yang biasa dipakai tempat penjualan pakaian bekas adalah ukay-ukay.

Tempat ukay-ukay itu dikemas dalam pelbagai rupa, yang mana ada yang dijual di toko, di pinggir jalan, dan bahkan di depan rumah. Bahkan, di beberapa tempat, ada yang khusus menjajakannya dengan gaya pasar malam di tempat yang sudah disediakan pemerintah.

Tempat penjualan pakaian bekas itu selalu kebanjiran pengunjung. Motif paling umum karena faktor merek barang yang dijual.

Sudah menjadi pandangan umum bahwa merek tertentu dan lebih lagi berasal dari luar negeri pasti berkualitas. Walaupun dalam kenyataannya, barang-barang itu sebenarnya sudah pernah dipakai sebelumnya.

Saya pernah membeli sepatu bekas bermerek. Waktu itu baru tiba di Filipina. Anggaran keuangan belum cukup untuk membeli sepatu baru di mall.

Banyak sepatu bagus dan bermerek yang dipajang. Bahkan, kita bisa bingung memilih mana yang pantas untuk dibeli.

Satu hal yang saya perhatikan ketika memakai sepatu yang dibeli di tempat penjualang barang bekas adalah sepatu itu sudah pernah dipakai oleh orang sebelumnya. Hal itu nampak dari permukaan dalam sepatu.

Terasa kaki saya harus menyesuaikan permukaan sepatu dari kaki pemakai sebelumnya. Jadinya, tak nyaman untuk dipakai dalam jangka waktu yang lama. Karena pengalaman itu, saya pun berhenti membeli sepatu. Lebih baik membeli sepatu baru, walau tak begitu bermerek dan produk lokal, tetapi nyaman ketika dipakai.

Saya juga terjebak pada thrifting sebagaimana orang pada umumnya karena faktor merek. Bayangkan, harga pakaian bekas bisa dua sampai tiga kali lebih murah daripada haraga yang dijual di mall.

Tentu saja, harga yang terjangkau menjadi salah satu motif. Motif itu dibarengi dengan merek yang melekat.  

Akan tetapi, saya memutuskan berhenti dari kebiasan thrifting karena ternyata apa yang dilakukan bukan semata-mata kebutuhan, tetapi karena faktor keinginan semata. Dalam mana, saya membelinya karena pola pikir bahwa barangnya berasal dari luar  negeri, barang bermerek, dan berharga murah.

Saya berhenti juga dibarengi dengan niat untuk hidup minimalis. Hidup minimalis ini menekankan kepemilikan barang seturut kebutuhan semata. Kalau tak dibutuhkan, lebih baik diberikan kepada orang lain atau juga tak boleh dibeli.

Untuk itu, saya coba mengubah mindset. Termasuk, mindset dalam membeli pakaian bekas.  

Pertama-tama, saya selalu memikirkan bahwa setiap barang yang terjual sudah pernah terpakai. Pola pikir ini pun dibarengi dengan pikiran apakah pakaian itu aman ataukah tidak. Karena sudah terpakai, ya saya kerap menilai jika barang itu belum tentu aman.

Pola pikir ini yang selalu merem saya ketika masuk di toko penjualan baju bekas. Empat bulan lalu, saya dan dua orang teman masuk toko penjualan baju-baju bekas.

Kedua teman itu begitu antusias ketika menemukan sepatu murah dan bermerek. Keduanya membeli sepatu itu. Hanya saya tak membeli lantaran sudah terbangun pola pikir bahwa tiap barang sudah pernah terpakai dan belum tentu aman untuk kesehatan.  

Kedua, tidak semua barang bekas impor itu berkualitas. Banyak orang terjebak pada pola pikir yang salah tentang barang-barang produk luar negeri. Apalagi jika mereknya sudah dikenal luas. Gegara pola pikir ini, terasa ada niat untuk membeli dan mendapatkan barang seperti itu. Termasuk membeli baju-baju bekas impor yang bermerek.

Padahal, tak semua barang yang terjual itu masih mempertahankan kualitasnya. Tak sedikit barang yang luntur bersamaan waktu lantaran lama tak terpakai atau juga sudah pernah terpakai sebelumnya. Karena itu, daripada kita membuang uang untuk membeli baju-baju impor bekas hanya karena merek, lebih baik kita mencari barang-barang baru tetapi nyaman untuk diri sendiri.  

Ketiga, Tak boleh kumpul barang. Hemat saya, prilaku thrifing juga sangat lekat dengan kebiasaan untuk mengoleksi dan mengumpulkan barang.

Barangkali tak sedikit orang yang membeli baju-baju impor bekas faktor lifestyle daripada kebutuhan. Masalahnya, ketika hal ini sering dilakukan. Jadinya, barang itu belum tak terpakai dan hanya tersimpan di lemari pakaian.  

Karena itu, kita perlu membangun mentalitas hidup minimalis. Upayakan tak mengumpul barang.

Selain itu, kita perlu bertanya apakah kita sangat membutuhkan barang yang mau dibeli ataukah sekadar hanya koleksi dan mencari gaya semata. Ketika kita hanya membeli untuk sekadar koleksi dan bergaya, kita bisa kesulitan untuk menyimpannya. Bahkan, kita juga akan bingung memilih mana yang harus dipakai dan dimanfaatkan.

Pendek kata, kita perlu melawan gaya hidup konsumerisme. Dalam arti, kita tak sekadar membeli barang tertentu, termasuk pakaian bekas impor karena faktor gaya dan koleksi semata. Akan tetapi, kita membelinya karena kita benar-benar membutuhkannya.

Kita akan tahu bahwa apa yang kita beli sangat dibutuhkan kala kita memakainya dan memanfaatkannya secara regular dan konsisten. Jadinya, barang itu tak hanya tersimpan atau memenuhi lemari pakaian kita.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun