Memarahi di depan umum bisa menjadi biang sakit hati. Saya pernah dimarahi oleh seorang guru di depan teman-teman gara-gara kesalahan sepele.Â
Kemarahan ini membekas begitu kuat. Makanya, ketika saya melihat sosok guru yang pernah memarahi saya di depan umum, saya masih menyimpan rasa jengkel yang begitu besar.Â
Sama halnya ketika seorang pemimpin memarahi bawahannya di depan umum. Bukannya memperbaiki kelakuan bawahan, kemarahan itu bukan saja membuat bawahan menjadi malu, tetapi bisa juga menimbulkan sakit hati.Â
Ujung-ujungnya, dia juga bekerja karena tekanan batin, tak bebas mengekspresikan diri, dan kurang nyaman berada di ruang kerja.Â
Sosok pimpinan pun menjadi negatif di mata bawahan. Bukannya menjadi sosok yang dihormati dan disegani karena karisma dan kapasitas kepemimpinannya, tetapi lebih ditakuti karena otoritas yang melekat pada dirinya.Â
Tak heran, ketika otoritasnya sebagai pemimpin lenyap, rasa hormat dari bawahan juga bisa ikut hilang. Bahkan bawahan juga tak terlalu memedulikannya.Â
Karena itu, sangat perlu bagi pimpinan untuk menghindari kencenderungan memarahi bawahan di depan umum. Memarahi bawahan di depan umum lebih memberi efek rasa malu daripada memperbaiki tingkah lakunya.Â
Kalau memang ada persoalan, lebih baik emosi dikontrol dan kemarahan diatur sedemikian agar bawahan tak terlalu terluka. Bahkan kalau boleh, bawahan lebih baik dipanggil empat mata dan dinasihati secara pribadi.Â
Kedua, Tak ikut bergosip dengan bawahan tentang kelakuan bawahan yang lain.Â
Hal yang membuat pemimpin menjadi sosok yang menyebalkan ketika dia juga bergosip dengan bawahan lainnya tentang bawahan yang mempunyai masalah.Â
Seharusnya, seorang pemimpin lebih berlaku sebagai pendengar dan berposisi netral terhadap setiap cerita yang muncul dari bawahan.Â