Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bercerai sebagai Suami-Istri, tetapi Tidak Berpisah sebagai Orangtua

14 Juni 2020   08:36 Diperbarui: 14 Juni 2020   11:18 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Redtri.com (Red Trysicle.com)

Kosa kata perceraian adalah momok dalam relasi antara suami dan istri. Setiap orang pastinya ingin menghindari kosa kata ini dari sebuah relasi. Ini juga menjadi harapan banyak pihak dan elemen masyarakat.

Namun, fakta mengatakan jika perceraian itu masih saja sulit dihindari dari sebuah relasi. Terbukti, tidak sedikit pasangan yang memilih untuk berpisah sebagai suami-istri. Bercerai dan memilih jalan hidup masing-masing.

Dengan ini pula, tidak ada formulasi yang baku untuk menjauhkan pasangan dari kosa kata perceraian. Siapa pun bisa terjangkit kalau tidak waspada dan tidak terus memupuk relasi itu dengan perhatian dan cinta di antara kedua belah pihak.

Sebuah perceraian acap kali terjadi karena situasi, kenyataan, dan persoalan yang begitu serius. Hal itu menyebabkan kedua belah pihak sulit menemukan pintu damai.

Berada bersama hanya menimbulkan sakit hati pada salah satu pihak. Makanya, berpisah dipandang sebagai jalan untuk melepaskan diri dari rasa sakit hati tersebut.

Pekan lalu, saya begitu terkejut mendengar kisah tentang seorang teman. Seorang ibu guru SD. Dia memilih berpisah dengan suaminya. Keputusan sulit itu terlahir sewaktu masa karantina.

Tidak heran, tidak banyak yang tahu tentang keputusannya itu. Orang tahu saat teman ini pindah alamat ke desa lain. Rumahnya ditinggalkan.

Di balik keputusan rumit itu, tentunya bukan saja dua pihak yang merasa sedih dan kecewa. Juga, keluarga kedua belah pihak beserta orang-orang yang mendukung relasi mereka. Terlebih lagi, dampaknya bagi anak-anak mereka.

Perceraian antara kedua belah pihak bisa memengaruhi mentalitas anak-anak.

Misalnya, jika penyebab perceraian adalah pihak laki-laki, anak bisa saja mempunyai pandangan negatif terhadap figur seorang ayah. Hilang kepercayaan pada figur laki-laki sebagai sosok yang bertanggung jawab. Atau juga, menyimpan rasa benci pada sosok seorang ayah.

Sumber foto: Redtri.com (Red Trysicle.com)
Sumber foto: Redtri.com (Red Trysicle.com)
Di balik perceraian, ada juga kenyataan jika dampak perceraian itu tidak begitu lama memberikan dampak negatif pada anak-anak. Barangkali, awalnya terasa rumit. Tetapi perlahan-lahan, anak bisa menerima kenyataan itu.

Ya, banyak kali saya menjumpai anak-anak, konteksnya Filipina, yang dengan berani mengatakan jika orangtua mereka bercerai. Tanpa beban. Walau demikian, mereka tetap menjalin relasi baik dengan kedua orangtua mereka.

Penjelasan atas masalah kepada anak-anak sangatlah penting. Setelah dijelaskan anak-anak memahami dan menerima situasi yang terjadi pada orangtua mereka.

Tentunya, ini bergantung pada pemahaman dari anak-anak itu sendiri. Anak-anak sudah dibekali pemahaman tentang situasi yang sementara terjadi. Namun, awalnya pasti sulit.

Dalam salah satu acara kontes Voice Teen Filipina yang disiarkan salah satu stasiun TV, saya menonton kesaksian hidup salah seorang peserta anak remaja laki-laki. Orangtuanya bercerai.

Dia harus tinggal bersama ibunya. Sementara ayahnya pergi ke Amerika Serikat dan mempunyai keluarga sendiri di AS.

Dari penuturan peserta itu, dia masih merasa kecewa dengan ayahnya walau ayahnya tetap berkontak dengannya.

Reaksi dari presenter acara cukup menarik untuk direnungkan. Menurutnya, orangtuanya boleh saja bercerai sebagai suami dan istri, tetapi mereka tidak boleh bercerai sebagai orangtua. Dalam arti, perceraian itu menghilangkan peran orangtua kepada anak-anak.

Pernyataan ini bisa menjadi undangan bagi banyak orangtua yang memilih perceraian. Perceraian seyogianya tidak memisahkan peran mereka sebagai orangtua. Perceraian boleh saja menghancurkan ikatan antara suami dan istri. Tetapi tanggung jawab mereka sebagai orangtua, ayah dan ibu tidak berakhir, tetapi dilanjutkan.

Ini bisa saja menjadi penghiburan bagi anak. Dengan ini, mereka tidak merasakan perpisahan sebagai situasi yang rumit. Toh, mereka masih merasakan kasih sayang dari kedua belah pihak, sebagai ayah dan ibu.

Hal ini bukanlah mustahil. Banyak orang yang melakukan dan mempraktikkannya. Meski bercerai, mereka tetap memainkan peran mereka sebagai orangtua bagi anak-anak. Dengan ini, anak-anak tidak terlalu berdampak dari keputusan orangtua bercerai sebagai pasangan suami dan istri.

Ya, perceraian seringkali memberikan dampak serius bagi mentalitas anak-anak. Apalagi jika anak-anak tidak dipersiapkan untuk menghadapi situasi rumit tersebut.

Selain itu, perceraian semakin menambah beban, terlebih lagi jika salah satu pihak tidak peduli pada situasi anak. Pergi dan tidak mau tahu dengan situasi anaknya.

Ketidakpedulian ini sering menjadi beban batin yang berdiam di dalam diri anak. Karena tidak diolah dan disembuhkan, beban batin itu malah menimbulkan gangguan mental dan pandangan negatif bagi figur-figur tertentu. 

Kalau tidak diolah dan dikontrol dengan baik, beban mental itu malah bisa menghadirkan aksi-aksi negatif tertentu.

Tentunya, kita tidak mau adanya perceraian mengitari kehidupan di sekitar kita. Yang selalu kita harapkan adalah kehidupan harmonis di antara setiap pasangan.

Kehidupan harmonis ini bisa menjadi situasi mendidik dan menguatkan mentalitas anak. Persoalan sekiranya diselesaikan dan bukannya dijawabi dengan perceraian.

Tidak terlepas dari harapan ini, perceraian juga sekiranya tidak mengakhiri peran kedua belah pihak sebagai orangtua. Perpisahan boleh mengakhiri hubungan suami dan istri, tetapi itu tidak mengakhiri peran mereka sebagai orangtua bagi anak-anak.

Gobin Dd

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun