Mohon tunggu...
Gobin Dd
Gobin Dd Mohon Tunggu... Buruh - Orang Biasa

Menulis adalah kesempatan untuk membagi pengalaman agar pengalaman itu tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agak Kaget! Suami Memasak di Dapur, Istri Berbicara dengan Tamu

11 Juni 2020   16:48 Diperbarui: 11 Juni 2020   16:45 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang laki-laki memasak di dapur. Sumber foto: Pinterest.com

Pada Bulan Desember 2012 dan awal tahun 2013, saya dan seorang teman yang sama-sama asal Indonesia berkunjung ke salah satu provinsi di Filipina. Kunjungan ini atas undangan seorang teman Indonesia lainnya yang sudah menetap 2 tahun di provinsi itu.

Di hari tahun baru, 1 Januari 2013, kami memenuhi undangan sebuah keluarga. Keluarga Filipina. Kami disambut oleh seorang ibu dengan anak gadisnya. Sejam lebih, kami berbicara di ruang tamu. Berlima kami berbicara. Sementara di dapur, seorang pria sibuk.

Lantas, saya menanyakan kepada teman Indonesia yang sudah tinggal di provinsi itu selama dua tahun tentang keberadaan bapak rumah. Teman saya mengatakan jika pria yang sibuk di dapur, dialah bapak rumah. Dia sedang memasak di dapur untuk makanan siang kami. 

Saya agak terkejut. Bahkan teman saya yang satunya juga ikut terkejut. Seolah tidak bisa menerima dengan kenyataan yang terjadi. Kami berdua berasal dari budaya yang persis sama. Apalagi, kami belum setahun berada di Filipina.

Namun, teman yang sudah tinggal beberapa tahun di Filipina coba menjelaskan situasi itu. Menurutnya, hal itu sudah sangat lumrah untuk beberapa tempat di Filipina. Suami mengatur urusan rumah tangga, dan istri keluar rumah untuk bekerja bukanlah hal yang dipersoalkan. Suami memasak dan istri yang menerima tamu bukanlah situasi yang asing.

Setelah beberapa tahun di Filipina, saya mengamini apa yang disampaikan teman ini. Bahkan terjadi kalau suami lebih pandai memasak daripada seorang istri. Atau juga, suamilah yang memasak setiap hari di rumah.

Beberapa kali saya bertemu situasi pasangan seperti ini. Pernah saya bertemu pasangan suami-istri yang berprofesi guru. Mereka mempunyai 4 orang anak. Di keluarga ini, saya mendengar sendiri seorang ibu rumah sekaligus istri mengatakan jika dia masih susah memasak nasi. Sering kali tidak matang dengan baik. Suaminya hanya tertawa. Karenanya, suaminyalah yang sering memasak di rumah.   

Barangkali, kekagetan saya dipengaruhi latar belakang budaya kami. Saya berasal dari konteks budaya patriarkat. Budaya yang menempatkan peran dominan kaum laki-laki dalam sebuah konteks sosial.

Ya, sering kali saya mendengar ungkapan ibu kami jika bapak kami memberikan perintah di rumah. "Turuti saja apa yang disampaikan oleh bapak!" Tentunya, ungkapan sudah dikondisikan oleh sistem budaya sudah melekat sejak lama. Apa yang disampaikan oleh bapak kami seolah menjadi suara tunggal di rumah. Secara umum, kami menerimanya. 

Urusan dapur bukanlah urusan kaum pria. Itu urusan kaum perempuan. Seorang pria mesti bekerja di luar rumah. Makanya, saat situasi berbanding terbalik, tidak jarang terjadi ada orang yang melecehkan peran seorang pria.

Bahkan seorang teman juga mengatakan kalau menikah untuk konteks budaya patriarkat, dia harus rela mengorbankan soal selera pada makanan. Selera makanan harus mengikuti selera suami, walaupun itu tidak dikehendaki.

Budaya tertentu telah mengondisikan kaum pria dan wanita pada kotak-kotak tertentu. Berpindah kotak acap kali menyebabkan keterkejutan.

Tiap tempat mempunyai budayanya masing-masing. Kita tidak bisa asal menghakimi sebuah budaya dari perspektif budaya yang kita miliki.

Namun, di pihak lain kita perlu mengkritisi budaya yang merendahkan martabat seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam mana, budaya itu hanya cenderung merusak martabat seorang sebagai manusia.

Alasanya, budaya juga terlahir dari sebuah buah dari refleksi yang dihidupi sekian tahun. Refleksi yang terlahir dari buah pikiran dan cara pandang manusiawi. Kalau budayanya merendahkan martabat seseorang manusia, itu perlu dikritisi dan ditolak. Tetapi jika seseorang berlangkah dari budaya tertentu demi memuliakan martabat seseorang, itu pun perlu diterima secara terbuka.

Setelah beberapa tahun di Filipina, saya kerap kali menemukan situasi di mana suami yang memasak di dapur dan istri yang menerima tamu. Tidak lagi terkejut seperti di tahun-tahun awal.

Malah, saya mempelajarai bukti nyata dari sebuah emansipasi dalam konteks yang sederhana. Mulai dari keluarga. Boleh saja ini mempengaruhi peran kaum perempuan dan laki-laki dalam konteks yang lebih luas, misalnya, perannya dalam konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.

Terbukti, dari kepala desa, bupati dan gubernur di mana saya tinggal di Filipina saat ini dipimpin oleh perempuan. Belum pernah saya mendengar suara dari kaum laki-laki jika mereka dilecehkan oleh situasi ini. Situasi itu diterima sebagai situasi yang normal.

Penerimaan ini bisa saja dipengaruhi oleh cara hidup di keluarga. Tidak ada perbedaan peran antara kaum laki-laki dan perempuan. Sejauh kaum perempuan melakukan pekerjaan laki-laki, dia perlu melakukannya, tanpa terpenjara pada pola pikir yang salah, begitu pun sebaliknya.

Pendeknya, kesamaan peran dan pengaruh antara kaum laki-laki dan perempuan bisa bermula dari konteks keluarga, antara seorang istri dan suami. Kesamaan ini merupakan upaya untuk menghargai setiap orang sebagai pribadi yang sama.

Gobin Dd

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun