Pernah saya menonton pertandingan sepak bola dengan seorang teman dari Filipina. Waktu itu, kami menonton salah satu laga Piala Dunia 2018.
Teman ini tidak terlalu familiar dengan sepak bola. Dia tidak pernah sekalipun bermain sepak bola. Minatnya hanya bola basket. Menonton sepak bola waktu itu hanya karena ikut situasi yang sementara tren.
Hingga, dia begitu kecewa karena gol yang tercipta dianulir wasit. Pencetak gol sebenarnya dalam posisi offside sebelum menjebloskan bola ke gawang lawan.
Teman itu tidak terima sama sekali. Bagaimana mungkin gol itu harus dianulir. Tentunya, saya yang tahu sedikit tentang sepak bola menjelaskan letak persoalannya.
Bukannya menerima penjelasan, dia malah membandingkan metode itu dengan pertandingan bola basket. Kita umumnya tahu aturan dalam pertandingan bola basket. Tidak ada sistem offside.
Pada saat aturan bola basket dibentrokan dengan aturan sepak bola, diskusi pun menjadi mentok. Klarifikasi saya tentang keputusan wasit di pertandingan sepak bola itu menjadi sia-sia dan persoalan pun tak terpecahkan.
Teman itu tetap bertahan pada pikirannya yang bertolak dari pengetahuannya dari sistem bola basket. Menurutnya, sistem itu lebih menarik karena peluang mencetak gol semakin tinggi.
Barangkali kita juga pernah berhadapan dengan pengalaman yang sama. Kita berhadapan dengan orang-orang yang cenderung bertahan pada pikirannya sendiri, walau pikiran itu mempunyai kelemahan dan kesalahan.
Kelemahan utama dan pertama adalah teman itu berpaku pada pikirannya sendiri. Pikirannya itu terbatas pada satu lanskap tertentu, yakni dunia bola basket.
Padahal, bola basket dan sepak bola adalah dua dunia olahraga yang mempunyai aturan dan metode yang berbeda. Membandingkan boleh, tetapi memaksakan aturan dari satu dunia ke dunia lain guna membenarkan pikiran pribadi adalah persoalan besar. Diskusi dan perdebatan tidak akan menemukan titik solusi.
Bertahan pada buah pikiran sendiri tidaklah salah. Apalagi kalau buah pikiran itu mengandung kebenaran.