Mohon tunggu...
Donny Adi Wiguna ST MA CFP
Donny Adi Wiguna ST MA CFP Mohon Tunggu... Konsultan - CERTIFIED FINANCIAL PLANNER, Theolog, IT Consultant, Photographer, dan Guru bikin Kue dan Roti

Konsultan Perencana Keuangan di Bandung

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Setelah Inflasi Amerika Serikat

14 Juli 2022   23:22 Diperbarui: 19 Juli 2022   01:33 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin malam, 13 Juli 2022 pk 19:30 WIB, terbitlah laporan yang ditunggu-tunggu banyak pelaku pasar dan ekonomi di Amerika Serikat -- juga di dunia: laporan Consumer Price Indeks, CPI. Apa itu CPI? Ini adalah laporan yang menyatakan besaran INFLASI yang terjadi di bulan sebelumnya, bulan Juni. 

Perlu diketahui, bahwa laporan untuk bulan Mei cukup mengejutkan dan mengkhawatirkan, karena inflasi di Amerika Serikat terukur 8,6% year-on-year, dihitung setahun sebelumnya. Sangat, sangat tinggi. Bagaimana dengan bulan Juni?

Laporan inflasi berkaitan juga dengan laporan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang negatif di kuartal pertama 2022. Seperti apa kuartal kedua 2022? Kalau masih negatif juga, maka berarti Amerika Serikat secara teknis telah masuk dalam kondisi resesi -- demikianlah resesi dilihat dengan penurunan pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.

Kondisi inflasi tinggi membawa rasa takut besar datangnya hyper-inflasi, suatu kondisi di mana harga barang menjadi sangat, sangat tinggi sehingga tidak lagi dapat terjangkau oleh rakyat Amerika Serikat. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Saya sudah menulis ulasan tentang Quatitative Easing. Silakan disimak kembali. Pada hakekatnya, kita semua tahu bahwa ini adalah langkah pencetakan uang secara elektronik, bukan cetak uang kertas, yang digunakan untuk pembelian aset dan membuat ada dorongan ekonomi yang terus berjalan. Jumlah QE sudah mencapai $9 triliun membebani neraca The Fed.

Jika uang sejumlah ini kembali ke Amerika Serikat, maka ada bahaya kelimpahan uang sementara di sisi penyediaan barang dan jasa tidak banyak yang tersedia. Akibatnya, terjadi bisa terjadi inflasi. Maka, The Fed harus membuat kebijakan moneter untuk menyerap kembali uang yang mereka cetak.

QE berakhir tahun 2014, dan seharusnya di tahun 2015 dan seterusnya, uang dollar dinormalisasi. Tapi terjadilah pergantian kepemimpinan The Fed. Jerome Powell menduduki ketua The Fed, jadi Chairman. Powell meredam laju dari normalisasi yang baru mulai tahun 2017. Di tahun 2018, normalisasi dilakukan sangat perlahan-lahan. Kondisi ekonomi dalam negeri Amerika Serikat dianggap belum siap dengan pengetatan likuiditas.

Kemudian, Covid terjadi dan membuat kebijakan lockdown diterapkan. Untuk kehidupan rakyat, Pemerintah Amerka Serikat mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai -- praktis bagi-bagi duit kepada rakyat Amerika. 

Orang yang menganggur pun mendapat uang dalam jumlah lumayan. Tapi sepanjang waktu Covid rakyat tidak leluasa berbelanja. Belum lagi ada kehebohan kewajiban vaksinasi, yang ditolak sebagian orang. Kita tahu, secara jumlah korban, paling banyak korban ada di Amerika Serikat.

Badai Covid tidak berlangsung terus -- akhirnya, di tahun 2021 akhir jumlah pasien Covid berkurang. Rakyat bisa bernafas lega lagi. Mereka bisa pergi ke toko lagi, dan selama ini mereka menyimpan uang stimulus yang diberikan Pemerintah. Buat apa uang, jika tidak dipakai berbelanja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun