Saat ini menjelang akhir bulan Mei. Hal ini berarti hampir 3 (tiga) bulan semenjak COVID19 memasuki Indonesia. Situasi yang ada justru semakin tak terkendali. Khalayak kembali mengeluh. Masyarakat kecil menjerit sejadi-jadinya, “Kami dituntut terus di rumah lalu siapa yang mau menyokong hidup kami ?”.
Kemudian manusia kembali pada sifat dan ciri khasnya untuk mencari pembenaran bagi diri sendiri. Bagi yang mengerti dan sadar akan pentingnya memutus rantai penyebaran COVID19 akan tetap bertahan di rumah masing-masing. Sementara yang lain memutuskan untuk menyerah pada egoisme diri dan melupakan empati.
Berlaku sebagai korban dan membenarkan diri untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Kebijakan pemerintah yang memberi kesan “melonggarkan” segera dimanfaatkan. Padahal kelonggaran yang diberikan bukan bermaksud memberi lampu hijau tapi semata demi mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Tapi terdesak untuk membeli baju baru lebaran tentu tidak termasuk di dalamnya.
Tetiba pasar-pasar mulai dipadati pengunjung. Antrian mengular pun terlihat di depan pertokoan yang belum dibuka. Kerumunan manusia kembali tampak dimana-mana seakan keganasan virus corona hanyalah bualan semata. Tak elak garda terdepan sontak menangis histeris. Jiwa dan raga sudah luluh lantak tak terperikan. Dedikasinya tercurahkan tanpa pandang bulu dan basa-basi. Hanya iman dan taqwa yang kuat menjadi pegangan dalam keseharian.
Tapi, bolehkah kuingatkan kalau mereka juga manusia ? Mereka juga punya batas kesabaran dan egoisme seperti kita. Kita tak bisa memaksa mereka untuk pantang menyerah dan pantang bilang terserah. Semua itu hak asasi sebagai seorang manusia. Dan ketika mereka berteriak "INDONESIA TERSERAH", tolong jangan sebut mereka tak punya empati. Sesungguhnya saya merasa tak sebanding dengan mereka. Aksi mereka nyata di medan laga tanpa henti. Sementara saya hanya diminta untuk rebahan dan bersantai saja sudah berkoar tidak tahan setengah mati.