Mohon tunggu...
Donna Dwinita Adelia
Donna Dwinita Adelia Mohon Tunggu... Wiraswasta - Love to hide behind words

Ibu dua anak yang suka buang sampah lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Empati Manusia Diuji

22 Mei 2020   12:25 Diperbarui: 22 Mei 2020   13:30 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber kumparan.com

Dalam sekejap saya dibombardir berbagai informasi COVID19 dari segala penjuru. Semua lini massa media sosial yang saya miliki sebagian besar membahas tentang COVID19. Semua grup whatsapp maupun kontak yang terhubung dengan saya kerap saling bertukar kirim informasi. Entah mana yang fakta maupun yang HOAX saya pun tak sepenuhnya mengerti. Tapi yang jelas efek yang ditimbulkan sungguh sangat mengerikan. 

Saya yang hidup di luar Indonesia saja paniknya luar biasa. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana kondisi kawan-kawan yang hidup di Indonesia dan berada di medan perang yang sesungguhnya. Pada satu titik saya mengerti, bahwa minim informasi tidak selamanya buruk. Justru sebaliknya, minim informasi akan menimbulkan ketenangan diri. Mungkin ini juga yang menimpa saya di Jepang selama masa pandemi ini berlangsung. Selain lingkungan yang mendukung, kendala aksara dan bahasa membuat saya tak terlalu ambil pusing dengan berita-berita yang terjadi di Jepang.

Ketika Empati mengambil Peran.

Disinilah pintu hati saya mulai terketuk dan stok empati mulai tergelitik. Empati, satu kata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. 

Sebisa mungkin saya mengendalikan jemari dan lidah saya ketika berkomunikasi dengan kawan-kawan di Indonesia. Jemari yang mengetik pesan maupun komentar seringkali saya baca berulang kali sebelum akhirnya saya klik tombol “send”. Terkadang saya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan di ujung line telepon yang lain. Sebisa mungkin saya menempatkan diri sebagai warganegara Indonesia yang hidup di Indonesia dan sedang panik karena serbuan virus corona.

Kemudian saya dengar gerakan Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH) mulai diterapkan di Indonesia. Semua pihak dihimbau untuk berdiam diri dan melakukan semua aktivitas di rumah masing-masing. Jalanan mulai tampak sepi. Pasar-pasar dan pusat pertokoan turut sepi dari pengunjung. 

Hanya fasilitas layanan umum yang diijinkan untuk beroperasi. Itupun dengan jenis layanan yang terbatas. Lambat laun satu demi satu usaha perdagangan baik barang maupun jasa mulai gulung tikar. Ratusan atau bahkan ribuan pekerja terpaksa dirumahkan. Tekanan hidup meningkat dan kesabaran semakin diuji. Semua pihak sibuk mengencangkan ikat pinggang dan mulai berpikir usaha alternatif untuk menyambung kepulan asap di dapur. Tabungan mulai dikikis dan rencana-rencana yang sudah dipikirkan jauh hari harus segera direkondisi sesuai dengan situasi terkini.

Hari berganti hari. Serangan COVID19 di Indonesia bukannya mereda justru makin menjadi. Seluruh lapisan tenaga kesehatan berlaku sebagai jendral perang di garda terdepan. Dokter, perawat, bidan, tenaga farmasi dan kesehatan lainnya terus berjuang bahu-membahu dengan mengorbankan kepentingan individu dan menahan rasa rindu pada sanak keluarga. 

Tanpa pamrih mereka mempertaruhkan nyawa dan terus bertarung merawat para korban yang terluka. Tak sedikit pula yang akhirnya gugur dengan mulia. Sumpah profesi yang telah dikumandangkan sebelum gelar tersebut disematkan, sudah menjadi harga mati untuk berjuang hingga titik darah penghabisan.

Indonesia Memang Beda

Indonesia bukan Jepang, bukan pula Australia maupun Perancis. Indonesia tiada duanya. Indonesia kaya dan unik dari segala aspek. Kebijakan pemerintah yang diambil tidak mungkin asal comot dari negara lain untuk kemudian diterapkan di Indonesia. Mengapa Indonesia tidak memberlakukan kebijakan lockdown yang santer didengungkan khalayak ? Mengapa pemerintah terkesan plin-plan dalam memberikan kebijakan yang terus berubah ? 

Rentetan “mengapa-mengapa” lainnya terus menggema di benak saya. Tapi saya yakin pemerintah punya alasan kuat dibalik itu. Pemerintah hanya terus berusaha bertindak sesuai dengan kondisi yang berubah secara kontinyu. Saya yakin tidak ada satu pemimpin pun yang ingin rakyatnya hancur dan menderita. Semua berjuang sebaik-baiknya. Hanya satu pertanyaan yang menghantuinya,”Akankah semua pihak mampu bekerja sama dengan mengedepankan empatinya?”.

Disinilah empati kita diuji habis-habisan. Kemampuan untuk memakai “sepatu” orang lain. Kemampuan dan kesadaran untuk memposisikan diri pada situasi yang dihadapi orang lain. Banyak diantara kita yang sudah selayaknya bersyukur karena bisa rebahan sembari bermain dengan layar HP sepanjang hari. Pun tak perlu kuatir akan makan apa esok hari karena layanan gofood masih setia menemani. Yang lain bisa jadi bersyukur karena mendadak punya waktu berlimpah bersama keluarga dan kembali menekuni hobi yang lama ditinggalkan karena kesibukan. Bagi kaum dengan stok empati yang melimpah, mereka akan dengan senang hati berdiam diri di rumah dan berbagi apapun yang dimiliki untuk meringankan beban saudara yang membutuhkan pertolongan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun