Mohon tunggu...
Doni Osmon
Doni Osmon Mohon Tunggu... -

“Senang akan dokumentasi.” Menulis, keinginan untuk berbagi. Ini menyehatkan. Saya percaya itu. Bahasa motivator abad kini: akan membuat kaya. “Sedekah”, demikian kata Nabi.\r\n\r\n\r\nSetiap apa pun, hampir pasti ada bagian yang bisa diambil manfaatnya. Lihatlah, tidak semua pohon adalah pohon kelapa. Bahkan, di antaranya ada yang pohon berduri. Sekalipun begitu, mudahkanlah! Inilah mengapa saya menulis Iman dalam Secangkir Kopi–publikasi pertama dalam bentuk buku dari dokumentasi yang saya miliki.\r\n\r\n\r\nMemang relatif ‘soliter’, tetapi tidak membatasi diri pada pengetahuan apapun. Bagi saya, pasti ada sisi menariknya. Mengerjakan naskah-naskah tentang hobi, manajemen keuangan, pendidikan anak dan kesehatan diri. Tidak menunggu sempurna, di sinilah ada ruang satu sama lain di antara kita saling mengisi celah dalam bentuk kerja sama. Bukan ‘soliter’ sejati kan? Nah, selamat berteman dengan saya.\r\n\r\n\r\nSebenarnya, melukis juga bidang yang saya senangi. Ini juga kegiatan ‘halus’, sebagaimana menulis. Selain itu, menyenangi pula orang yang bisa men-desain. Visualisasi itu penting. Satu gambar, lebih dari satu kata. Tapi, saya tetap percaya, suatu perubahan bisa dimulai hanya dari satu kata.\r\n\r\n\r\n“Kalimat-kalimat itu selain memberi informasi, juga mesti memancing emosi” itulah barangkali yang disebut menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negara Mengambang dan Negara Berkembang

26 Oktober 2013   06:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:01 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Negara agraris Indonesia sekarang ini pengimpor sejumlah bahan pangan. Negara eksportir bagi Indonesia, di antaranya negara maju Amerika Serikat. Julukan negara agraris dan industri untuk masing-masingnya sepertinya bisa dipertukarkan. Hanya saja, khusus untuk Indonesia, julukan apapun yang tersematkan, tetap menimbulkan tanda tanya.Semisal disematkan negara agraris, untuk urusan perut saja mengandalkan dari luar negeri. Semisal disematkan negara industri, mulai dari kendaraan bermotor hingga pesawat yang terbang tinggi, rata-rata buatan luar negeri. Memang, relatif sulit memberi julukan bagi Indonesia. Setiap hari kita hanya disuguhkan berita korupsi dan korupsi, mulai dari (kuota impor) daging sapi sampai bunda daging yang hingga kini misteri.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Dari dulu kita atau bapak kita paling jago bikin istilah-istilah, di antaranya darurat pangan.

Saya termasuk yang tidak mengerti. Darurat itu keadaan yang di luar perhitungan. Misal terjadi bencana alam besar, sawah-sawah tenggelam. Cuaca ekstrim yang sebelumnya tidak pernah terjadi, kemudian ia terjadi. Itu baru darurat. Pada kenyataannya, seperti banjir yang bersiklus di Jakarta, begitupun cuaca di Indonesia. Masa sih hal yang sudah berulangkali terjadi, tidak bisa diantisipasi. Sstt... itulah hebatnya Indonesia: setiap masalah rakyat adalah peluang usaha. Kita bisa berbisnis daging sapi, kedelai, beras dan lainnya, kata pengusaha. Hubungi saja politikusnya. Kalaupun ada jenggot nggak usah takut. Ia tetap manusia, punya anak keluarga dan pasti ada sisi bodohnya. Sst... jangan terus-terang begitu. Bilang ini usaha untung sama untung. Bukankah ia menjadi lebih baik, berpartai lebih meriah, bisa beli baliho dan mobil gagahan untuk kampanye.

Kalaupun diungkap kasus korupsi, ribut kekuasaan sesama mereka lebih meriah dalam berita (mulai dari profesor hingga dosen muda, lancar menggoreskan penanya: korupsi buruk. Suatu hal bisa dilakoni adik-adik kita di SMA, tinggal diberi kesempatan saja oleh media yang 'cerdas' atau redakturnya). Lihatlah presidennya, responnya cepat untuk urusan pribadi atau partainya, untuk urusan rakyatnya, geraknya lamban selamban gerak badannya. Tentu, kalau bukan cerminan rakyatnya, ini cerminan para pejabat bawahannya. Gerak yang tangkas pun bisa menipu, sengaja tidak pada sasaran menembakkan peluru. Sstt...

Masing-masing politikus, seperti artis aji mumpung, buru-buru menerbitkan buku, pastinya ada foto diri di cover-nya. Berharap terasosiasi sosok negarawan. Atau setidaknya golongan yang punya pemikiran. Rakyat pun berebutan. Seiring pamornya surut, bukunya ditaruh meja obral, tetap tak ada yang membeli. Gambaran kita seperti Vicky, menenteng kata-kata serapan yang sebenarnya masih ada padanan, untuk tak mau mengakui betapa kita semua: bodoh. Ini lho, list judul buku yang saya punya di rumah.

Seperti remaja, terjajah masih bisa bergaya. Mereka lah nanti calon-calon pemimpin kita, dengan terlebih dahulu memasukan dirinya kepada golongan berwarna dan yang tak sewarna dengan dirinya dipilah sebagai golongan putih (padahal jujur, yang seperti ini saya yakin mereka buta warna atau pura-pura buta), yang perannya dinihilkan sekalipun di antara mereka para profesional: peneliti, dosen, dokter dan tentu saja: petani yang makan dari hasil keringat sendiri.

Menurut saya, hendaklah kita rakyat ini tidak mau diadu-domba untuk kepentingan kursi mereka. Baik atas nama agama, jenggot ataupun golongan-golongan  atas nama warna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun