Mohon tunggu...
Doni Osmon
Doni Osmon Mohon Tunggu... -

“Senang akan dokumentasi.” Menulis, keinginan untuk berbagi. Ini menyehatkan. Saya percaya itu. Bahasa motivator abad kini: akan membuat kaya. “Sedekah”, demikian kata Nabi.\r\n\r\n\r\nSetiap apa pun, hampir pasti ada bagian yang bisa diambil manfaatnya. Lihatlah, tidak semua pohon adalah pohon kelapa. Bahkan, di antaranya ada yang pohon berduri. Sekalipun begitu, mudahkanlah! Inilah mengapa saya menulis Iman dalam Secangkir Kopi–publikasi pertama dalam bentuk buku dari dokumentasi yang saya miliki.\r\n\r\n\r\nMemang relatif ‘soliter’, tetapi tidak membatasi diri pada pengetahuan apapun. Bagi saya, pasti ada sisi menariknya. Mengerjakan naskah-naskah tentang hobi, manajemen keuangan, pendidikan anak dan kesehatan diri. Tidak menunggu sempurna, di sinilah ada ruang satu sama lain di antara kita saling mengisi celah dalam bentuk kerja sama. Bukan ‘soliter’ sejati kan? Nah, selamat berteman dengan saya.\r\n\r\n\r\nSebenarnya, melukis juga bidang yang saya senangi. Ini juga kegiatan ‘halus’, sebagaimana menulis. Selain itu, menyenangi pula orang yang bisa men-desain. Visualisasi itu penting. Satu gambar, lebih dari satu kata. Tapi, saya tetap percaya, suatu perubahan bisa dimulai hanya dari satu kata.\r\n\r\n\r\n“Kalimat-kalimat itu selain memberi informasi, juga mesti memancing emosi” itulah barangkali yang disebut menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Caleg atau Calon Walikota Termiskin di Dunia

1 November 2013   07:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:44 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Calon legislatif (caleg); suatu profesi di abad ini, berlaku seperti pengemis. Musiman. Di waktu-waktu tertentu mereka datang ke rakyat banyak, untuk kemudian menghilang. Di musim berikutnya demikian.

Boleh jadi ini kritik kepada caleg sendiri, tetapi bisa juga penolakan terhadap demokrasi yang dianggap (sebagian kalangan) sebagai sistem yang terbaik saat ini. Silakan lanjutkan perdebatan soal ini, masyarakat akan melihat siapa yang mengandalkan kuatnya argumentasi.

Terkait dengan sebutan pengemis, mengingatkan saya pada apa yang kemaren terbaca. Suatu link kepada artikel di jurnalisme warga. Menceritakan tentang suatu calon walikota, dengan judul termiskin di dunia. Digambarkan jumlah anak, dan berapa uang ada di rekening masing-masing anak. Semuanya kuliah.

Terlepas itu bagian dari kampanye sesama mereka, kita diingatkan kepada para pengemis tadi. Selain tentu saja memperlihatkan wajah miskin, tidak sedikit pengemis yang mengeksploitasi kecacatan atau kekurangannya secara berlebihan, bahkan saya dengar-dengar ada yang dibuat-buat.

Bagi kita, miskin atau kaya itu bukan patokan dalam pengurusan negara. Jika dengan usahanya, semisal pebisnis yang berhasil, sesuai syariat, bukan suatu kecacatan. Lihatlah Rasulullah Saw sendiri, sebagai pedagang yang sukses, beliau tidak bisa disebut miskin. Sahabat beliau yang menjadi khalifah, juga di antaranya terkenal dengan kekayaannya.

Menjadi pemimpin di negara demokrasi yang menyamakan orang bodoh dan orang yang berpikir, dipaksa mengandalkan pencitraan. Munculnya pengemis seperti ini, berharap dukungan kita, tidak lepas dari diterapkannya demokrasi perwakilan, dimana setiap orang mesti ada wakilnya; artis ada wakilnya di parlemen, pelawak ada wakilnya di parlemen, preman ada wakilnya di parlemen, sampai-sampai perlu orang miskin ada wakilnya di parlemen. Namun, apakah benar ini secara otomatis ini solusi dari masalah yang sedang dihadapi?

Ada yang wanita di parlemen tidak lah berkaitan pemecahan masalah bagi perempuan di negara ini, begitupun adanya orang miskin atau mengedepankan kemiskinannya (oleh para pendukungnya). Hal yang diperlukan adalah pemahaman politik. Hanya ijazah 'miskin' atau ijazah 'jujur', tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, jika hanya modal ijazah, juga masalah.Lihatlah presiden RI yang sekarang, bukankah ia doktor pertanian? Berbagai bahan impor, bahkan termasuk pangan?

Ijazah 'miskin' apakah kemiskinan dan ketimpangan akan terselesaikan dengan kapitalisme yang diterapkan dan imperialisme yang diterima yang secara ikhlas menempatkan diri sebagai negara berkembang?

Mari kita menghindari diri dari mereka yang selalu membodohi rakyat, sekalipun mereka mengatakan sedang melakukan perbaikan. Itulah tipuan yang mungkin saja mereka tidak sadar, yang juga dibumbui dengan bahasa-bahasa agama. Pemerintah sekarang, berkolaborasi dengan agamawan, kaum jenggotan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun