Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Caleg atau Calon Walikota Termiskin di Dunia

1 November 2013   07:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:44 421 0
Calon legislatif (caleg); suatu profesi di abad ini, berlaku seperti pengemis. Musiman. Di waktu-waktu tertentu mereka datang ke rakyat banyak, untuk kemudian menghilang. Di musim berikutnya demikian.

Boleh jadi ini kritik kepada caleg sendiri, tetapi bisa juga penolakan terhadap demokrasi yang dianggap (sebagian kalangan) sebagai sistem yang terbaik saat ini. Silakan lanjutkan perdebatan soal ini, masyarakat akan melihat siapa yang mengandalkan kuatnya argumentasi.

Terkait dengan sebutan pengemis, mengingatkan saya pada apa yang kemaren terbaca. Suatu link kepada artikel di jurnalisme warga. Menceritakan tentang suatu calon walikota, dengan judul termiskin di dunia. Digambarkan jumlah anak, dan berapa uang ada di rekening masing-masing anak. Semuanya kuliah.

Terlepas itu bagian dari kampanye sesama mereka, kita diingatkan kepada para pengemis tadi. Selain tentu saja memperlihatkan wajah miskin, tidak sedikit pengemis yang mengeksploitasi kecacatan atau kekurangannya secara berlebihan, bahkan saya dengar-dengar ada yang dibuat-buat.

Bagi kita, miskin atau kaya itu bukan patokan dalam pengurusan negara. Jika dengan usahanya, semisal pebisnis yang berhasil, sesuai syariat, bukan suatu kecacatan. Lihatlah Rasulullah Saw sendiri, sebagai pedagang yang sukses, beliau tidak bisa disebut miskin. Sahabat beliau yang menjadi khalifah, juga di antaranya terkenal dengan kekayaannya.

Menjadi pemimpin di negara demokrasi yang menyamakan orang bodoh dan orang yang berpikir, dipaksa mengandalkan pencitraan. Munculnya pengemis seperti ini, berharap dukungan kita, tidak lepas dari diterapkannya demokrasi perwakilan, dimana setiap orang mesti ada wakilnya; artis ada wakilnya di parlemen, pelawak ada wakilnya di parlemen, preman ada wakilnya di parlemen, sampai-sampai perlu orang miskin ada wakilnya di parlemen. Namun, apakah benar ini secara otomatis ini solusi dari masalah yang sedang dihadapi?

Ada yang wanita di parlemen tidak lah berkaitan pemecahan masalah bagi perempuan di negara ini, begitupun adanya orang miskin atau mengedepankan kemiskinannya (oleh para pendukungnya). Hal yang diperlukan adalah pemahaman politik. Hanya ijazah 'miskin' atau ijazah 'jujur', tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, jika hanya modal ijazah, juga masalah.Lihatlah presiden RI yang sekarang, bukankah ia doktor pertanian? Berbagai bahan impor, bahkan termasuk pangan?

Ijazah 'miskin' apakah kemiskinan dan ketimpangan akan terselesaikan dengan kapitalisme yang diterapkan dan imperialisme yang diterima yang secara ikhlas menempatkan diri sebagai negara berkembang?

Mari kita menghindari diri dari mereka yang selalu membodohi rakyat, sekalipun mereka mengatakan sedang melakukan perbaikan. Itulah tipuan yang mungkin saja mereka tidak sadar, yang juga dibumbui dengan bahasa-bahasa agama. Pemerintah sekarang, berkolaborasi dengan agamawan, kaum jenggotan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun