Semua ulama sepakat bahwa makan dan minum dapat membatalkan puasa. Pendapat ini berpijak dari Alqur'an surah Al-Baqarah ayat 187.Â
Darinya, ulama kemudian menarik sebuah kesimpulan bahwa yang paling esensi dari makan dan minum sehingga dapat membatalkan puasa adalah masuknya benda (ain) ke dalam rongga dalam. Rongga semacam ini, Â dalam term fikih disebut jauf.
Namun secara konseptual, ulama berbeda pendapat perihal jauf. Otomatis, secara tahtiqul manath perbedaan ini berimplikasi terhadap beragam pendapat ulama tentang perbuatan-perbuatan yang dapat membatalkan puasa selain makan dan minum.
Ada ulama yang melakukan generalisasi. Mereka memahami jauf sebagai segala macam bentuk rongga dalam organ tubuh manusia. Tidak soal apakah organ tersebut tersambung secara langsung ke lambung atau tidak.
Atas konseptualisasi jauf yang demikian ini, wajar jika kemudian  ulama semisal Ahnaf menyebutkan bahwa ada 57 perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Andaikan beliau dan murid-muridnya masih hidup sekarang, mungkin bisa lebih itu.
Bias atas konseptualisasi jauf semacam ini pula, sebagain ulama mengatakan bahwa puasa seseorang bisa batal lantaran cita rasa  pomade  di rambut seorang cowok atau celak yang digunakan seorang muslimah terasa di tenggorokannya.
Namun sebagian ulama bermazhab Syafi'yah dan juga ulama-ulama kontemporer secara konseptual merumuskan bahwa jauf yang dimaksud tidak mencakup semua rongga dalam diri manusia.
Bagi mereka, disebut  jauf bilamana memenuhi dua unsur. Pertama ia adalah rongga yang tersambung secara langsung ke lambung. Kedua, rongga tersebut bisa mencerna makanan.
Hemat mereka, inilah pendapat  yang sesuai secara medis. Dampak dari konseptualisasi ini adalah puasa seseorang tidak batal lantaran telinga kita atau kemaluan kita kemasukan suatu benda.
Jika pendapat kedua ini diikuti, tentu tidak banyak hal yang dapat membatalkan puasa.
Terus kita mau ikut yang mana?