Mohon tunggu...
Doni Arief
Doni Arief Mohon Tunggu... Dosen - Faqir Ilmu

Pencari dan penikmat kebenaran paripurna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Urgensi Maqosid Syariah di Masa Pandemi

13 Juni 2020   18:31 Diperbarui: 13 Juni 2020   18:28 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam sebagai agama lintas jaman yang berperan "rahmatan lil 'alamin", semakin mengonfirmasi kebenaran ajarannya di tengah pandemi yang terjadi sekarang. Ketika dunia secara global, mulai berteriak sekaligus memaksa tentang pentingnya menjaga kebersihan agar terhindar dari covid-19, maka Islam sejak 15 abad yang lalu, sudah memperkenalkan bahwa kebersihan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari iman dan pengamalan ibadah. Misal, sebelum beribadah kepada Alloh swt, umat Islam harus membersihkan dirinya terlebih dahulu melalui wudu'.

Anggota tubuh yang dibersihkan ketika wudu', adalah bagian dari tubuh yang paling banyak berinteraksi dengan lingkungan luar, mulai dari tangan, lubang hidung, wajah, ubun-ubun kepala, rongga mulut, lubang telinga dan kaki. Bahkan, untuk meningkatkan imunitas tubuh, Nabi Muhammad saw, memberikan teladan agar rutin berolah raga, menjaga pola diet yang ideal, mengonsumsi makanan bergizi yang mengandung anti-oksidan, seperti madu dan kurma, dan mengajarkan tentang pentingnya tersenyum, berbagi, berbaik sangka serta bersyukur, yang merupakan pra-syarat untuk memperoleh kebahagiaan jiwa. Bahkan, Nabi Muhammad saw, memotivasi umat Islam, melalui hadisnya, "bersuci itu sebagian dari iman (H.R. Muslim)".

Di dalam Alquran, Alloh swt, memuji dan mencintai orang yang bertobat dan selalu menyucikan dirinya (Q.S Al-Baqarah: 222). Sikap utama Islam ditengah pandemi adalah mencegah (preventif) agar tidak terjadi penularan. Langkah kongkritnya adalah dengan menambah iman dan meningkatkan imun. Kedua hal tersebut, adalah hal paling utama yang harus dilakukan untuk menghadapi pandemi yang berkepanjangan.

Belakangan ini, masalah fiqih aktual yang terjadi di kalangan umat Islam adalah boleh atau tidaknya melaksanakan solat berjamaah di Mesjid, yang di dalamnya terjadi akumulasi massa, sehingga diprediksi akan memudahkan penyebaran covid-19. Untuk menjawabnya, maka dibutuhkan analisis terhadap maqosid syariah, sehingga bisa disusun hierarki kebutuhan sesuai dengan skala prioritasnya.

Tidak dipungkiri, hukum melaksanakan solat adalah wajib, tetapi hukum melaksanakan solat berjamaah adalah sunnah, kecuali hukum solat jum'at bagi seorang laki-laki. Melihat tingginya angka positip covid-19, yang sangat tinggi di Indonesia -sampai tulisan ini dirilis hampir 1000 orang positip setiap harinya-, maka sangat beresiko, apabila tetap dilakukan akumulasi massa di suatu tempat, termasuk solat berjamaah.

Maka, dalam situasi seperti ini, yang harus diprioritaskan paling utama adalah menjaga keselamatan nyawa atau jiwa (nafs), dibandingkan harus memaksakan diri untuk solat berjamaah di Mesjid. Islam tidak pernah menyulitkan, tetapi selalu memudahkan umat Islam dalam beribadah, sehingga Islam selalu memberikan kemudahan (rukhsah) terhadap persoalan yang mengandung unsur kedaruratan. Ketika solat tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara berjamaah di Mesjid, maka hukumnya "boleh" untuk dilaksanakan di rumah. Termasuk solat jum'at yang sifat dasarnya adalah wajib, tetapi bisa dilaksanakan secara munfarid dengan menggantikannya menjadi solat zuhur di tengah pandemi.

Fakta di lapangan, terutama di beberapa daerah di Indonesia, ada yang sudah dikategorikan zona merah dan hitam, dengan angka kematian lebih dari 5 orang yang sudah terjadi di daerah tersebut. Terkait tentang kondisi pandemi ini, Nabi Muhammad saw, menyatakan, "Apabila terjadi wabah di suatu daerah, sedangkan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar.

Apabila kalian sedang berada di luar, maka janganlah masuk ke dalamnya". Dengan demikian, untuk menjaga kebaikan (kemashlahatan) dan keselamatan bersama, di daerah yang kasus positip dan kematiannya tinggi, maka setiap aktifitas sosial yang beresiko meningkatkan mata rantai penularan sebaiknya ditiadakan dan ditunda sampai pandemi hilang. Dalam konteks ini, menjaga keselamatan nyawa, menjadi prioritas paling tinggi dalam maqosid syariah.

Untuk menekan laju penularan, Islam mengajarkan agar orang-orang yang teridentifikasi positip covid-19, harus jujur terhadap kondisi dirinya dan segera melakukan karantina mandiri. Nabi Muhammad saw, menyatakan, "Janganlah orang yang lagi sakit didekatkan dengan orang yang sehat". Pembacaan konteks terhadap hadis ini adalah apabila orang yang sakit tersebut berpotensi untuk menularkan penyakitnya kepada orang lain. Untuk menjaga kemashlahatan orang-orang di sekitarnya, maka orang yang positip mengidap covid-19 harus melakukan karantina mandiri selama 14 hari, sampai dirinya dinyatakan sembuh.

Ketika "langit" sudah memberikan solusi menghadapi pandemi, maka sudah selayaknya harus terjadi kerja sama yang baik di antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus mengayomi dan memberikan jaminan kehidupan kepada rakyat di masa "work from home", sebaliknya rakyat harus memiliki kesadaran dan kedisiplinan yang kuat untuk melaksanakan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sinergi yang baik di antara semua kalangan, InsyaAlloh akan mengantarkan kita sebagai pemenang di tengah badai pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun