Entah apa yang melatar belakangi Dwi Hartanto sehingga melakukan pembohongan publik. Kebohongan demi kebohongan ia lakukan dan mendapat dukungan media massa. Ia mendapat kampanye gratis sebagai ilmuwan yang digadang-gadang sebagai the next Habibie.
Publik akhirnya pantas kritis terhadap setiap informasi yang disajikan media. Kejadian sekaligus peringatan kepada media massa agar lebih teliti, sehingga tidak merugikan publik sebagai konsumen informasi.Â
Kebohongan Dwi terungkap, Itupun atas inisiatif kolega Dwi yang masih punya hati nurani dan pengakuannya di website PPI (8/10/2017). Andai saja kebohongan dilakukan berjama'ah maka hingga kini publik masih percaya dengan bualan Dwi.
Kita ketahui bersama Dwi pernah mengatakan bahwa ia pemenang lomba dalam bidang riset Spacecraft Technology, padahal ia tak pernah mengikuti lomba tersebut. Ia juga mengatakan dirinya pemenang lomba riset teknologi antar lembaga penerbangan dan antariksa dari seluruh dunia di Cologne, Jerman.
Dwi tidak sepenuhnya salah, ia menjadi terkenal karena ada media massa yang percaya padanya. Proses investigasi tidak dilakukan media kita, harusnya mereka mencari informasi dari lembaga-lembaga yang pernah dikatakan Dwi. Namun yang terjadi media massa langsung memberitakan.
Kasus Dwi menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Media massa sebagai sumber informasi harus jeli dan pembaca pun harus kritis. Entah kebohongan mana lagi yang diberitakan dan kita tidak mengetahuinya hingga kini.
Kelengahan Media Massa dalam kasus Dwi menjadi catatan penting. Kredibelitas Media dipertanyakan, publik butuh informasi yang benar bukan yang dibenar-benarkan. Wajar saja bila bangsa ini mudah terpecah karena pemberitaan dari media. Hal itu diperparah dengan pembaca media yang tidak kritis terhadap sebuah informasi yang didapat.
Publik tentu berharap media melakukan pembenahan, bukan hanya mengejar laba. Media besar bukan hanya karena para donatur akan tetapi karena ada pembaca. Tanpa pembaca media tidak akan mampu berbuat banyak, jangan khianati pembaca dengan berita-berita yang tidak benar.
Dahulu media dipercaya karena membongkar ketidakbenaran, sekarang media malah memberitakan yang tidak benar. Menjadi aneh memang ketika media hanya mengambil satu orang sebagai narasumber tanpa proses benar tidaknya yang disampaikan. Apalagi yang dikatakan tentang dirinya sendiri.
Indonesia patut malu atas pemberitaan yang tidak benar ini. Bila dunia sains saja bisa bohong konon lagi dunia politik. Apakah ini sudah saatnya kita tinggalkan media? Tidak, kita tidak akan tinggalkan media akan tetapi kita terus mengawasi kinerja media. Fungsi pembaca bukan hanya meng-iya-kan semua informasi, kita harus melakukan seleksi.
Seleksi atas informasi media akan menyehatkan media, mereka akan lebih berhati-hati lagi kedepannya. Mereka akan lebih teliti agar tidak dipermalukan pembacanya. Elektabilitas sebuah media tergantung apa yang disajikan.Â