Krisis Keteladanan
Di sinilah persoalan terbesar bangsa ini: krisis keteladanan. Kita kehilangan tokoh bangsa yang mampu menjadi “muazin” moral. Tokoh-tokoh seperti Hatta, Agus Salim, Gus Dur, Nurcholish Madjid, Buya Syafii Maarif, hingga IJ Kasimo dulu mampu memberikan arah moral yang jelas, bahkan dalam situasi sulit. Kini, bangsa seakan berjalan tanpa cahaya penuntun.
Krisis keteladanan ini menimbulkan efek domino. Rakyat kehilangan kepercayaan, elite kehilangan arah, dan demokrasi berubah menjadi pertunjukan tanpa jiwa. Apa jadinya sebuah bangsa yang hanya mengandalkan prosedur hukum tanpa nilai moral? Jawabannya adalah kekacauan, saling curiga, dan ketidakpastian.
Menghidupkan Kembali Reformasi
Melihat situasi ini, satu-satunya jalan adalah menghidupkan kembali semangat reformasi. Reformasi bukan sekadar jargon masa lalu, tetapi harus dipahami sebagai kompas moral bangsa. Kita perlu kembali merefleksikan enam tuntutan reformasi 1998, lalu memeriksa: sudahkah kita menjalankannya, atau malah menyelewengkannya?
Presiden, DPR, partai politik, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sipil harus berhenti bermain sandiwara. Sumpah jabatan tidak boleh lagi dianggap sebagai formalitas. Etika bernegara tidak boleh lagi menjadi teks mati. Hukum tidak boleh lagi menjadi alat tawar-menawar bagi elite.
Kita membutuhkan tokoh-tokoh baru yang berani melawan arus, yang mampu mengembalikan kepercayaan rakyat. Tetapi lebih dari sekadar tokoh, kita membutuhkan sistem yang menjamin transparansi, partisipasi rakyat, dan supremasi hukum.
Kita perlu kembali merefleksikan enam tuntutan reformasi 1998, lalu memeriksa: sudahkah kita menjalankannya, atau malah menyelewengkannya?
Penutup: Dari Teks Mati ke Aksi Nyata
Reformasi yang lahir dari darah dan air mata rakyat tidak boleh dibiarkan terkunci di panggung sandiwara politik. Sudah saatnya kita menagih janji, bukan hanya janji para pemimpin, tetapi juga janji reformasi itu sendiri.
Jika tidak ada keberanian untuk berbenah, kita hanya akan terus hidup dalam siklus ketakutan, sandiwara, dan krisis yang tak pernah usai. Bangsa ini bisa saja tumbuh secara fisik dengan gedung tinggi, jalan tol panjang, dan proyek megah. Tetapi tanpa etika, keadilan, dan keteladanan, semua itu hanya ilusi pembangunan.