Sebab, permasalahan yang dihadapi bangsa ini sudah bukan sekadar teknis pembangunan, melainkan menyentuh inti moralitas dan keberanian politik para pemimpin. Saat ini yang rusak bukan hanya alam, lingkungan, dan ekonomi, tetapi juga kesadaran etika pejabat yang mestinya menjadi teladan. (1)
F. Rahardi dalam artikelnya Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu membuka mata kita bahwa masalah besar negeri ini sering dianggap sebagai bahan lelucon. Ia menyinggung fenomena ketika anggota parlemen dalam sidang paripurna justru sibuk menonton konten pornografi. Di hadapan publik, tragedi moral ini berubah menjadi kelakar, dianggap hiburan semata. Padahal, di balik tawa getir itu tersembunyi kenyataan pahit: bangsa ini sedang sakit, dan sakitnya ada pada jantung moralitas.
Apa yang disampaikan Rahardi bukan sekadar kritik spontan. Ia merefleksikan bagaimana perusakan lingkungan, krisis ekonomi, dan politik yang carut-marut telah menjadi panggung “dagelan nasional.” Rakyat digiring untuk menertawakan masalah serius, sementara elite terus bermain sandiwara. Ketika ketakutan diciptakan dan dibesar-besarkan, muncullah fobia baru—fobia untuk menghadapi kenyataan, fobia untuk memperbaiki sistem.
Pagar Laut: Drama dengan Naskah Buram
Fenomena “dagelan politik” itu semakin gamblang saat kita menengok kasus pagar laut ilegal di pesisir utara Kabupaten Tangerang, Banten. Editorial Tempo menulis dengan tegas: penanganan kasus ini penuh ketidakjelasan, lamban, bahkan berpotensi menyalakan bara konflik sosial.
Bayangkan, sejak 2023, bambu sepanjang 30,16 kilometer ditancapkan di laut, jelas-jelas menyalahi aturan tata ruang laut. Pekerjaan itu melibatkan banyak orang, dari pekerja lapangan hingga konsultan proyek. Logikanya, jika aparat mau serius, pelaku utama bisa segera terungkap. Tetapi alih-alih menyelesaikan, institusi negara malah sibuk berdebat:
Menteri Kelautan menilai pembongkaran tidak tepat karena bambu itu barang bukti.
TNI AL mengklaim pembongkaran dilakukan atas perintah Presiden.
Polisi menyatakan belum ada tindak pidana, sambil menunggu sikap kementerian.
Alhasil, publik hanya menyaksikan drama dengan naskah buram. Negara terlihat seperti penonton bingung, padahal seharusnya menjadi sutradara yang mengendalikan alur. (2)
Yang lebih mencengangkan, Tempo mengungkap dugaan keterlibatan taipan besar di balik proyek ini, terhubung dengan pembangunan Pantai Indah Kapuk 2 Tropical Coasland. Proyek yang sudah sejak awal kontroversial ini bahkan sempat dijadikan proyek strategis nasional. Di sinilah publik mulai bertanya: apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua orang, ataukah hukum hanya berlaku bagi yang lemah, sementara para pengusaha superkaya selalu bisa mencari celah?
Kita pun kembali pada inti persoalan: negara terlihat kalah di hadapan kepentingan segelintir elite. Drama pagar laut ilegal ini bukan hanya soal bambu di laut, melainkan simbol dari rapuhnya wibawa hukum di negeri ini.
Apakah hukum benar-benar berlaku untuk semua orang, ataukah hukum hanya berlaku bagi yang lemah, sementara para pengusaha superkaya selalu bisa mencari celah?
Budiman Tanuredjo dalam kolomnya Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati mengingatkan kita tentang hal yang lebih mendasar yaitu sumpah jabatan. Setiap anggota DPR ketika dilantik mengucapkan sumpah untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi maupun golongan. Mereka berjanji bekerja sesuai konstitusi dan berlandaskan Pancasila.
Namun, sumpah itu nyaris tak lagi punya makna. Banyak anggota dewan justru aktif membuat kebijakan yang jelas-jelas melanggar semangat konstitusi. Contohnya revisi UU Pilkada yang berusaha mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi. Untung saja, masyarakat sipil bergerak dan menggagalkan upaya itu.
Seharusnya, sumpah adalah ikatan moral yang hidup dalam setiap keputusan politik. Namun, sumpah kini hanya tinggal teks mati. Bahkan Ketetapan MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang seharusnya menjadi panduan moral, tak lebih dari ornamen di rak buku.
Sejak Reformasi 1998, rakyat menuntut enam hal: pemberantasan KKN, penegakan hukum, otonomi daerah, amandemen konstitusi, dan pencabutan Dwifungsi ABRI. Namun, 26 tahun berlalu, apa yang berubah? Korupsi tetap menjalar, hukum masih tumpul ke atas, ketidakadilan ekonomi makin lebar, dan keteladanan pemimpin semakin hilang. (3)
Bahkan Ketetapan MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, yang seharusnya menjadi panduan moral, tak lebih dari ornamen di rak buku
Krisis Keteladanan
Di sinilah persoalan terbesar bangsa ini: krisis keteladanan. Kita kehilangan tokoh bangsa yang mampu menjadi “muazin” moral. Tokoh-tokoh seperti Hatta, Agus Salim, Gus Dur, Nurcholish Madjid, Buya Syafii Maarif, hingga IJ Kasimo dulu mampu memberikan arah moral yang jelas, bahkan dalam situasi sulit. Kini, bangsa seakan berjalan tanpa cahaya penuntun.
Krisis keteladanan ini menimbulkan efek domino. Rakyat kehilangan kepercayaan, elite kehilangan arah, dan demokrasi berubah menjadi pertunjukan tanpa jiwa. Apa jadinya sebuah bangsa yang hanya mengandalkan prosedur hukum tanpa nilai moral? Jawabannya adalah kekacauan, saling curiga, dan ketidakpastian.
Menghidupkan Kembali Reformasi
Melihat situasi ini, satu-satunya jalan adalah menghidupkan kembali semangat reformasi. Reformasi bukan sekadar jargon masa lalu, tetapi harus dipahami sebagai kompas moral bangsa. Kita perlu kembali merefleksikan enam tuntutan reformasi 1998, lalu memeriksa: sudahkah kita menjalankannya, atau malah menyelewengkannya?
Presiden, DPR, partai politik, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sipil harus berhenti bermain sandiwara. Sumpah jabatan tidak boleh lagi dianggap sebagai formalitas. Etika bernegara tidak boleh lagi menjadi teks mati. Hukum tidak boleh lagi menjadi alat tawar-menawar bagi elite.
Kita membutuhkan tokoh-tokoh baru yang berani melawan arus, yang mampu mengembalikan kepercayaan rakyat. Tetapi lebih dari sekadar tokoh, kita membutuhkan sistem yang menjamin transparansi, partisipasi rakyat, dan supremasi hukum.
Kita perlu kembali merefleksikan enam tuntutan reformasi 1998, lalu memeriksa: sudahkah kita menjalankannya, atau malah menyelewengkannya?
Penutup: Dari Teks Mati ke Aksi Nyata
Reformasi yang lahir dari darah dan air mata rakyat tidak boleh dibiarkan terkunci di panggung sandiwara politik. Sudah saatnya kita menagih janji, bukan hanya janji para pemimpin, tetapi juga janji reformasi itu sendiri.
Jika tidak ada keberanian untuk berbenah, kita hanya akan terus hidup dalam siklus ketakutan, sandiwara, dan krisis yang tak pernah usai. Bangsa ini bisa saja tumbuh secara fisik dengan gedung tinggi, jalan tol panjang, dan proyek megah. Tetapi tanpa etika, keadilan, dan keteladanan, semua itu hanya ilusi pembangunan.
Reformasi adalah jalan panjang. Jalan itu memang berliku, tetapi harus tetap kita tempuh. Karena hanya dengan itulah bangsa ini bisa keluar dari krisis moral dan politik yang menghantui.
Saatnya sumpah dihidupkan kembali, etika ditegakkan, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, dan keteladanan menjadi nyata. Jika tidak, reformasi akan mati, dan bangsa ini hanya akan menyisakan panggung kosong: panggung sandiwara yang memuakkan.
Saatnya sumpah dihidupkan kembali, etika ditegakkan, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, dan keteladanan menjadi nyata. Jika tidak, reformasi akan mati, dan bangsa ini hanya akan menyisakan panggung kosong: panggung sandiwara yang memuakkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI